Hari itu pertama kalinya saya bertemu dengan Kurnia Widodo, salah satu tim kampanye perdamaian di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tempat saya bekerja beberapa bulan silam. mantan teroris
Tak ada yang aneh, ia terlihat biasa saja, lelaki dengan logat sunda yang sederhana. Namun siapa sangka, di balik wajah teduhnya, Kurnia Widodo ternyata menyimpan pengalaman pahit. Ia pernah bergabung dengan kelompok teroris dan sempat terlibat dalam aksi teror di beberapa wilayah Indonesia.
Kurnia Widodo mulai terpengaruh ajaran radikal setelah pindah ke Lampung, saat masih duduk di kelas 2 SMA. Ia mengaku mendapatkan ajaran itu dari teman sekelasnya, juga dari buku-buku tentang jihad yang tak diajarkan di sekolah.
Sebagai lulusan teknik kimia di perguruan tinggi terkemuka Indonesia, dapat dimengerti bila Kurnia Widodo akhirnya mampu menguasai jurus merakit bom. Meskipun tak mudah, sebab beberapa kali bom yang dirakitnya justru mengancam nyawanya.
Saat melakukan kampanye perdamaian, Kurnia Widodo menyampaikan ciri-ciri kelompok ekstrem, beberapa di antaranya:
- Pintu masuk kelompok ini adalah baiat
- Mengkafirkan pemerintah, menurut mereka Indonesia adalah negara thaghut (setan), sedangkan pemerintah adalah ansharut thaghut (penolong setan).
- Mengharamkan penggunaan simbol-simbol negara thagut seperti bendera merah putih dan lagu kebangsaan, juga tidak diperkenankan ikut upacara bendera.
- Menurut mereka Indonesia bukan agama berlandaskan Islam. Siapapun yang menggunakan sistem demokrasi dianggap kafir dan halal darahnya, meskipun orang Islam. Mereka hanya menganggap mereka “Islam KTP” saja
- Mencapai tujuan dengan cara perang (menurut mereka jihad)
- Menggunakan hadis-hadis panji hitam
- Merasa kelompoknya paling benar
- Penyebaran ajarannya paling masif melalui media sosial
Ali Fauzi
Selain Kurnia Widodo, ada pula Ali Fauzi. Saya memang belum pernah bertemu langsung dengannya, hanya melihat kampanye perdamaiannya melalui dokumentasi kegiatan yang dilaksanakan LSM kami, serta dari buku dan berbagai referensi lainnya. Namun ada begitu banyak pelajaran yang dapat saya ambil dari seorang mantan teroris ini.
Nama Ali Fauzi mungkin tak asing lagi bagi sebagian orang, ia adalah adik bungsu dari beberapa jajaran teroris ternama, Ali Gufran, Amrazi, dan Ali Imran, ketiganya pernah terlibat dalam kasus bom Bali 2002 silam.
Kedua kakaknya, Ali Gufran dan Amrazi telah divonis hukuman mati di Nusakambangan 2008 silam. Sedangkan Ali Imran dihukum jeruji seumur hidup.
Lantas bagaimana dengan Ali Fauzi? Nasib baik, kini ia justru membantu polri memberantas terorisme di bumi pertiwi, bersama kakaknya, Ali Imran.
Nama Ali Fauzi tak hanya dikenal jemaah teroris Indonesia, melainkan juga dunia internasional. Ia telah melalang buana dalam jaringan terorisme luar negeri seperti Malaysia dan Filipina.
Hasibullah Satrawi dalam “Ibrah dari Kehidupan Teroris dan Korbannya” menuliskan, salah satu ciri yang berkembang di dunia pelaku terorisme adalah mengganti nama setiap kali berpindah lokasi. Ali Fauzi sendiri memiliki beberapa nama samaran, di antaranya Salman, Abu Ridho dan Ikrimah.
Lelaki yang sering menjuluki dirinya Manzi ini mengatakan, penggunaan banyak nama sengaja dilakukan untuk mengelabui aparat yang berwenang, juga supaya tak mudah dikenali masyarakat umum.
Pria asal Lamongan ini menyatakan pernah menjadi mantan kepala instruktur bom kelompok Jamaah Islamiyah. Ia mampu merakit bom mulai yang berukuran kecil, hingga besar, dari yang seberat 1 kg hingga 1 truk. Ajaibnya, ia dapat menyusunnya hanya dari bahan-bahan material rumah tangga yang bisa dibeli di pasaran.
Dalam video wawancara yang diunggah Surya TV, Ali Fauzi bahkan mengaku, baginya lebih mudah merakit bom daripada membuat layang-layang.
Saat mengisi Short Course Jurnalis yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai di Surakarta, (8/12/2019). Ali Fauzi menjelaskan, paham-paham ekstrem disebarkan melalui berbagai media, baik manual maupun digital.
Penyebaran manual bisa melalui buku-buku, risalah dari penjara, institusi pendidikan, daurah, kajian ilmiah, pondok pesantren, pendakian gunung, outbond, perkemahan, hingga iktikaf.
Beberapa buku yang dijadikan rujukan kaum ekstemis di antaranya, “Mimpi Suci di Balik Jeruji Besi” karya Ali Ghufran. “Aku Melawan Teroris” karya Imam Samudera. Ada pula buku “Kami Jihadis Bukan Teroris.” Mereka juga menggunakan media sosial, dari mulai Facebook hingga link-link video yang disebarkan melalui grup whatsApp.
Reintegrasi
Banyak orang yang hanya mengutuk aksi teror, tanpa masuk lebih dalam dan mencoba mengerti aksi yang dilakukan mereka. Faktanya, alasan seseorang terlibat dalam jaringan terorisme memang amat beragam dan tak bisa disamakan.
Bagi seorang mantan teroris, reintegrasi tentu bukan hal yang mudah. Bagaikan bola, mereka bisa ditendang ke sana ke mari. Sudah dicap kafir oleh kelompoknya, mereka juga dihujam stigma negatif dari masyarakat.
Ali Fauzi mengungkapkan, setelah keluar dari penjara, ia sempat kesulitan mendapat pekerjaan. Apalagi jika saat interview ia mengaku pernah terlibat dalam jaringan terorisme dan memiliki keahlian merakit bom.
Munculnya skeptisisme terhadap seorang mantan narapidana teroris (napiter) merupakan hal niscaya. Pasalnya, salah satu faktor di balik aksi teror adalah ideologi, sedangkan ideologi yang sudah bertahun-tahun tertanam di pikiran seseorang tentu tak mudah goyah.
Meskipun demikian, bukan hal mustahil bagi seorang napiter untuk berubah. Perubahan ini tentunya membutuhkan dorongan dari keluarga dan masyarakat.
Belajar dari pengalaman mantan teroris
Kurnia Widodo dan Ali Fauzi hanya dua di antara sekian banyak mantan teroris dan simpatisan ISIS yang menyadari kesalahan mereka.
Berdasarkan pengakuan Kurnia Widodo, saat melakukan aksi kekerasan, ia sama sekali tak memikirkan dampaknya bagi masyarakat dan negara. Kelompoknya hanya menganggap bahwa aksi tersebut adalah jihad.
Faktor yang menyadarkan para mantan teroris juga beragam, Kurnia Widodo misalnya, ia mulai bertaubat setelah mulai membuka diri dan mengaji dari ustadz-ustadz di luar kelompoknya. Sedangkan Ali Fauzi mulai hijrah karena dorongan kakaknya, Ali Imran dan sahabatnya yang lebih dulu menyadari kesalahan perbuatan mereka.
Akan tetapi ada faktor yang paling menguatkan para mantan napiter, termasuk Kurnia Widodo dan Ali Fauzi untuk bertaubat dan mengubah langkahnya menuju perdamaian, yakni pertemuan-pertemuan mereka dengan para korban pengeboman, yang harus menderita karena trauma dan cacat seumur hidup. Juga penderitaan keluarga yang ditinggalkan, misalnya menjadi janda karena kematian suami yang jadi korban pengeboman.
Setelah melalui hijrah panjang pertaubatan dan penyesalan, Kurnia Widodo dan Ali Fauzi kini banting setir menjadi tim perdamaian. Menebar islah melalui perjalanan kelam mereka di jalur ekstremisme. Saat ini Ali Fauzi aktif merangkul para mantan napiter dan membangun Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan.
Berdasarkan berita berjudul “Ali Fauzi dkk Dirikan Yayasan Lingkar Perdamaian di Lamongan” yang dimuat Detikcom, yayasan ini berperan mendidik anak-anak, janda, serta para istri yang suaminya masih dipenjara karena kasus terorisme.
“Terorisme adalah penyakit komplikasi, maka butuh dokter spesialis dan kampanye pencegahan dari orang-orang yang pernah mengalami penyakit ini. Saya Ali Fauzi Manzi, saya bukan dokter spesialis, namun saya pernah mengalami penyakit ini. Sekarang saya bisa sembuh dan menyembuhkan,” ucap Ali Fauzi saat mengisi Short Course Jurnalis di Surakarta, (8/12/2019).