Belajar dari Pembebasan Kota Mekah (Fathu Makkah)

Belajar dari Pembebasan Kota Mekah (Fathu Makkah)

Belajar dari Pembebasan Kota Mekah (Fathu Makkah)

Pada tahun 2007, media massa Mesir digegerkan dengan salah satu pendapat Syekh Ahmad Thayib yang menyatakan bahwa pembebasan kota Mekah (Fath Makkah) terjadi pada tahun 10 hijriah. Saat itu, Syekh Thayib masih menjabat sebagai Rektor Universitas al-Azhar. Pendapat Syekh Thayib ini mengamini orientalis Inggris, Karen Armstrong.

Padahal beberapa literatur klasik menyebutkan bahwa Fath Makkah terjadi pada tahun 8 hijriah. Artikel itu berjudul al-Islam wal Adyan yang ditulis secara berseri di Al-Ahram. Namun sayang, al-Ahram hanya menampilkan seri kedua yang merupakan lanjutan dari seri pertama. Saya menduga seri pertama sudah dihapus dari laman al-Ahram.

Selain perbedaan riwayat terkait tahun Pembebasan Mekah di atas, pernyataan Syekh Thayib yang membuat geger media massa Mesir adalah pernyataannya terkait foto Bunda Maryam yang sedang menggendong Nabi Isa.

Saat peristiwa pembebasan Mekah, Nabi memerintahkan para sahabat untuk membuang dan menghapus gambar-gambar berhala yang menjadi sesembahan kaum musyrik Mekah. Namun, Nabi meminta sahabat untuk membiarkan gambar Maryam yang sedang menggendong Nabi Isa tersebut. Riwayat ini terdapat dalam Akhbar Makkah karya al-Azraqi di bawah ini:

Diriwayatkan dari Ibn Syihab yang menyatakan bahwa saat Nabi memasuki Mekah di hari pembebasannya, Nabi mendapati gambar-gambar malaikat, Nabi Ibrahim, dan Maryam. Kemudian Nabi mengambil gambar Maryam, dan memerintahkan sahabat untuk membuang selain gambar Maryam.

“Riwayat ini memang masih dapat diperdebatkan bila meninjau sanad dan matannya secara keseluruhan. Namun spirit yang disampaikan Syekh Ahmad Thayib dalam artikelnya tersebut merupakan seruan bahwa Islam dan agama samawi lainnya ada keterikatan sejarah yang sangat kuat. Kami meyakini bahwa Islam merupakan agama penyempurna agama-agama sebelumnya.”

Namun demikian, tidak sedikit umat Islam Indonesia yang masih tidak menyadari hubungan erat antara Islam dan agama sebelumnya dan bahkan sinis terhadap agama lain. Salah satu ayat Alquran yang sering dijadikan argumen untuk tidak menghargai dan menghormati umat agama lain adalah surah Al-Baqarah ayat 120, wa lan tardha anka  al-Yahudu wa la an-Nshara hatta tattabi’a millatahum.

Dalam redaksi ayat tersebut, untuk menegasikan keridhaan umat Yahudi dan Kristiani terhadap ajaran Nabi Muhammad Saw. Padahal Allah membedakan keduanya dengan menggunakan lan untuk umat Yahudi dan la untuk Nasrani.

Dalam bahasa Arab, titik tekan lan dan la digunakan dalam konteks yang berbeda. Lan menunjukan arti penegasian yang sifatnya selamanya, sementara la digunakan untuk penegasian yang sifatnya temporal. Artinya, sikap Yahudi dan Nasrani terhadap Muslim memang antipati. Namun, sikap antipati Yahudi lebih besar daripada Nasrani terhadap Muslim.

Bila membaca ayat tersebut secara tekstual, ada kesan bahwa umat Yahudi dan Nasrani begitu membenci umat Islam. Ayat itu hanya menyatakan bahwa umat Yahudi dan Nasrani enggan menerima ajaran Islam. Bukankah kita umat Muslim juga demikian? Kita sering mengatakan bahwa Islam adalah agama yang paling benar di mata Allah.

Oleh karena itu, Syekh Thahir bin Asyur, penulis Tafsir at-Tahir wat-Tanwir, pembedaan penggunaan lan dan la ini untuk menyatakan bahwa ayat tersebut mengindikasikan umat Nasrani lebih toleran terjadap Muslim daripada Yahudi. Apalagi, Alquran menegaskan, “Muhammad, Anda akan selalu menyaksikan kedekatan umat Nasrani terhadap orang-orang beriman lebih hangat dan lebih toleran” (QS Al-Maidah [5]: 82).

Alangkah lebih baiknya kita sesama umat beragama mencari titik temu daripada menyibukkan diri mencari kekurangan agama lain. Hal demikian dilakukan agar tetap terjalin kerukunan antar umat beragama. Karenanya, Syekh Ahmad Thayib menyebutkan dalam artikelnya tersebut bahwa Islam merupakan saudara kandung agama-agama samawi lainnya yang pernah diajarkan oleh Nabi Ibrahim, Nuh, Musa, dan Isa.

Wallahu a’lam bis shawab.