Belajar Dari Palestina

Belajar Dari Palestina

Palestina negara yang kita anggap sebagai model sempurna tanah jihad islam mampu mengakomodir pemimpin perempuan yang kristen dan pemimpin komunis yang sekuler. Lalu anda sekalian masih meributkan soal islam dan tidak islamnya pemimpin kita?

Belajar Dari Palestina

Di Ramalah, sebuah kota di Palestina, pernah dipimpin oleh perempuan non muslim bernama Janet Mikhael. Seorang nasrani yang tinggal dan memimpin di sebuah kota yang mayoritas penganutnya beragama muslim. Kita tahu meskipun mayoritas penduduk Palestina beragama Muslim (98%), sedangkan Kristen hanya 1,3% Kristen, Palestina bukan negara yang dihuni despot dan bigot yang menolak pemimpin hanya karena agamanya berbeda.

Palestina bukan melulu tentang negara yang bergejolak akibat perang melawan Zionisme. Pada satu titik ia merupakan sebuah negara yang berdasar pada prinsip demokrasi. Pemimpin dipilih berdasarkan pemilu dan kelompok kelompok minoritas seperti, Druidz, Samaritan, atau bahkan sebagian kecil Yahudi diakomodir dan dilindungi oleh otoritas pemimpin setempat.

Merupakan kebebalan yang maha hebat ketika kita memperlakukan keberadaan Palestina sebagai negara islam. Mayoritas penduduk negara ini memang islam, tapi toh di kota ini setiap keyakinan dan perilaku penduduknya dibiarkan sebebas-bebasnya. Ramalah misalnya setiap bulan oktober selalu menyelenggarakn festival bir yang bertajuk Taybeh beer festival. Apakah ini islami?

Menarik bagaimana di tanah air kita, Indonesia, kelompok kelompok sektarian semacam front pembela anu dan hizbut anu, kerap menjual Palestina sebagai dagangan. Menjual duka, menjual solidaritas yang kerap kali didasarkan pada simpati keagamaan. Agak jengah juga melihat bahwa mereka yang merasa paling islam, merasa paling muslim, lalai melihat Ramallah di Palestina sebagai model rujukan berpikir.

Di Indonesia Ahok hendak digulingkan dari kursi Gubenur melulu karena ia Kristen, hal serupa juga dialami oleh lurah Susan. Pada tataran yang paling makro, HT hendak mengganti idiologi negara dengan kilafah, sesuatu yang bahkan tidak laku di Palestina. Berapa kali HT menjual ide dan menjual simpati tentang Palestina dengan bungkusan “Kilafah solusinya?”

Kebebalan ini tidak berhenti sampai di sini.

Khaldoun Barghouti, wartawan senior harian Alhayat Aljadida yang terbit di Al-bireh, Ramallah, Palestina bercerita bagaimana saat Desember tiba, Ramallah berubah menjadi kota yang penuh dengan hiasan Natal. Apakah kota ini kota kristen? Tidak. Kota ini memang banyak memiliki penduduk kristen, namun saat ini penduduk muslim merupakan warga mayoritas akibat konflik menahun di Gaza.

Di sisi lain, ketika pengosongan kolom Agama di sebut sebagai upaya kembalinya komunisme. Palestina sekali lagi mengejutkan kita dengan keberadaan Hizb al-Sha’b al-Filastini. Atau partai rakyat Palestina yang berhaluan komunis. Ketika ulama ulama, ustadz ustadz dan tokoh agama kita sibuk memusuhi Komunis. Hizb al-Sha’b al-Filastini telah berupaya membantu kemerdekaan Palestina dari cengkraman Israel.

Apakah itu saja? Tidak. Pada 2007 Bassam as-Salhi pimpinan Partai yang berhaluan komunis ini dipercaya Presiden Palestina untuk jadi mentri kebudayaan. Ya mentri kebudayaan, yang mengakomodir pengembangan kebudayaan dan pendidikan di Palestina. Apakah anda bisa membayangkan itu?

Palestina negara yang kita anggap sebagai model sempurna tanah jihad islam mampu mengakomodir pemimpin perempuan yang kristen dan pemimpin komunis yang sekuler. Lalu anda sekalian masih meributkan soal islam dan tidak islamnya pemimpin kita?