Ungkapan tentang menerapkan hukum Allah (hakimiyyatullah) yang multi interpretatif, memang pernah dipakai oleh tokoh pergerakan Islam Al-Maududi, untuk membedakan antara darul Islam dan darul harb/darul kufr—yang boleh, bahkan harus diperangi dalam kondisi tertentu. Menurut Al-Maududi, negara atau masyarakat yang menerapkan hukum Allah disebut negara Islam, dan yang tidak menerapkan hukum Allah disebut negara non Islam.
Hingga hari ini, masih ada kalangan umat Islam yang beranggapan bahwa pernyataan Al-Maududi tersebut telah bersesuaian dengan al-Quran surat al-Ma’idah, 5: 50,“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”
Padahal, salah satu hadis yang diketengahkan oleh Ibn Katsir sehubungan dengan ayat di atas dalam tafsirnya adalah sabda Rasulullah SAW:“Orang yang paling dimurkai oleh Allah SWT adalah orang yang menginginkan tuntunan jahiliyah dalam Islam, dan orang yang menuntut darah seseorang tanpa alasan yang dibenarkan, yaitu yang hanya semata-mata ingin menghalalkan darahnya.” (HR. Thabrani)
Secara alamiah, manusia adalah makhluk yang senantiasa bergerak ke arah kebebasan. Ini samasekali bukan upaya untuk menafsirkan Qs. 5:50 di atas, namun sekadar melakukan refleksi tentang adakah hukum Allah yang lebih terang benderang dan langsung bisa dirasakan oleh seluruh umat manusia melebihi keberadaan sunnatullah? Dan, setiap manusia sesungguhnya terlahir dalam keadaan bebas (fithrah), kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Majusi, Yahudi, atau Nasrani. Demikian sebuah hadis menegaskan.
Keguncangan Imam Ghozali
Dalam al-Munqidz minadl-Dlalaal, Al-Ghazali mengisahkan bahwa adanya penegasan hadis tersebut, ia telah mengalami keterguncangan maha hebat dalam hal pemikiran. Pada saat dirinya telah ditahbiskan sebagai guru besar di Universitas Nidhamiyah, di mana semua pernyataannya yang berhubungan dengan syari’ah diterima masyarakat sebagai “hukum Allah” ia justru meragukan dirinya sendiri.
Pada sebuah sore, di sela-sela waktu rehatnya, Al-Ghazali melihat anak-anak kecil yang bermain dengan riangnya. Mereka larut dalam permainan bersama tanpa ada ganjalan sedikit pun tentang hukum kehidupan macam apa yang tengah mereka jalani. Mereka bermain sebagaimana umunya sunnatullah yang berlaku atas semua kanak-kanak di seluruh dunia. Riang dan gembira tanpa terbebani oleh pikiran apa pun selain menikmati indahnya permainan itu sendiri.
Ketika anak-anak itu telah bubar dari permainannya, dan kembali ke rumah orangtuanya masing-masing, Al-Ghazali pun berpikir. Anak yang terlahir dari keluarga Majusi, tentu akan mendapatkan pendidikan secara Majusi dalam rumahnya. Begitu pula dengan anak-anak yang berasal dari keluarga Yahudi dan Nasrani, tentu akan mendapatkan pendidikan sebagaimana yang dianggap benar oleh orangtuanya masing-masing.
Pada saat itulah Al-Ghazali terguncang. Ia meragukan dirinya sendiri. Jangan-jangan, dirinya tumbuh menjadi seorang muslim, lalu tertahbiskan menjadi seorang faqih yang berhubungan dengan hukum-hukum syar’iy. Itu semua terjadi karena dari kecil ia telah terdidik secara muslim. Seandainya ia berasal dari keluarga non muslim, apakah pemahaman agamanya bisa persis yang dialaminya pada saat itu?
Karena keterguncangannya itu, Al-Ghazali pun menderita sakit berkepanjangan dan nyaris tak bisa disembuhkan. Lalu ia pun uzlah, meninggalkan semua hiruk pikuk urusan dunianya, termasuk sebagai guru besar di Universitas Nidhamiyah. Hingga pada suatu hari Al-Ghazali mengalami ketercerahan (inkisyaf/mukasyafah).
Ketercerahan itu dilukiskan bahwa ia telah menemukan kebenaran yang tak lagi menyisakan keraguan sedikit pun di dalam batinnya. Di dalam meneguhi kebenaran hakiki yang telah ditemuinya itu, Al-Ghazali tetap bersikap terbuka bahkan semakin objektif dalam mengapresiasi kelebihan orang lain.
Terhadap seseorang yang memiliki kemampuan mengubah tongkat menjadi seekor ular misalnya, Al-Ghazali tidak segan-segan mengaguminya. Namun, jika dengan kemampuannya yang demikian itu, orang tersebut lantas berusaha mengubah pemahamannya bahwa bilangan tujuh nilainya lebih besar dibandingkan sepuluh, maka upaya yang dilakukan oleh orang yang dikaguminya itu akan sia-sia belaka.
Ya, karena kebenaran yang telah ia teguhi bahwa sepuluh lebih besar nilainya dibandingkan tujuh tidak akan pernah goyah lagi. Dalam suasana batin yang telah menemukan kebenaran hakiki itulah Al-Ghazali kemudian menyusun kitab Ihya’ Uluwmuddiyn, dan penyakit maha berat yang dideritanya pun telah sembuh dengan sendirinya.
Kitab Ihya’ Uluwmuddiyn terdiri dari empat bagian. Bagian pertama membahas al-‘Ibadaat; hukum-hukum yang berhubungan dengan laku ibadah, dimulai dari pembahasan tentang keutamaan ilmu, kaidah-kaidah yang berhubungan dengan tauhid, rahasia bersuci, rahasia shalat, dst. Bagian kedua menguraikan al-‘Aadaat; hukum-hukum yang terkait dengan aktivitas sosial seperti tata cara makan, pernikahan, profesionalitas, halal-haram, dst. Bagian ketiga mendedah al-Muhlikaat; hal-hal yang dapat merusak kualitas ibadah, dimulai dari penjelasan tentang keajaiban hati, mengendalikan hawa nafsu, bahaya-bahaya lisan, marah dan kedengkian, dunia seisinya, dst. Bagian terakhir membabar al-Munjiyaat; hal-hal yang terkait dengan spiritualitas, dimulai dari bertobat, sabar dan bersyukur, segan kepada Allah dan penuh harap kepada-Nya, fakir dan kezuhudan, dst.
Tak dipungkiri bahwa Ihya’ Uluwmuddiyn merupakan magnum opus Al-Ghazali yang kemudian membuatnya digelari sebagai Hujjatul Islam karena pelbagai argumentasinya dalam “membela” Islam. Namun demikian, Al-Ghazali tidak pernah sekalipun menyatakan secara eksplisit bahwa apa yang termaktub di dalam Ihya’ Uluwmuddiyn adalah hukum-hukum Allah, meskipun sumber utamanya adalah Al-Quran dan Al-Hadits.
Belajar dari pengalaman Al-Ghazali, secara sederhana dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang bersifat jahiliyah, yaitu pelbagai diktasi bahkan indoktrinasi yang kita terima dengan begitu saja dari para pendahulu, dapat dipastikan akan bermuara pada keterkungkungan yang menyiksa batin saat dikritisi. Dengan demikian maka dapat disimpulkan pula bahwa segala bentuk pengkondisian yang bermuara pada keterkungkungan adalah hukum jahiliyah. Artinya, di sisi lain jika kita membincang hukum Allah maka outputnya mestilah sesuatu yang membebaskan.
Tekait dengan hukum Allah yang senantiasa melahirkan kebebasan itu, seorang Sufi kelahiran Iskandariyah Mesir pada abad 13 Masehi, Syaikh Ibn Athaillah, dalam sebuah aforismanya yang terangkum dalam kitab Al-Hikam mewejangkannya dengan ungkapan yang khas, “Satu hal yang bisa menunjukkan kepadamu atas besarnya kekuasaan Allah adalah Dia menghalangimu dari-Nya dengan keberadaan sesuatu yang sesungguhnya tidak pernah ada.” (Mimma yadulluka ‘alaa wujuwdi qahrihi subhaanah, anna hajabaka ‘anhu mimma laysa bimawjuwdin ma’ah).
Nah, ketika ada sekelompok orang yang meyakini bahwa menegakkan hukum Allah adalah sebuah keharusan, dan itu hanya dapat dicapai dengan mendirikan negara Islam, apakah keyakinan yang demikian itu sesungguhnya bukan merupakan hijab dari-Nya? Wallahu a’lam bishshawwab.[]
Muhaji Fikriono adalah penulis buku Al-Hikam untuk Semua dan Puncak Makrifat Jawa. Bisa ditemu di akun twitter @Hikam_Athai