Begini Sejarah Masuknya Islam ke Kolaka, Kota Seribu Hafiz Al-Qur`an dari Provinsi Sulawesi Tenggara

Begini Sejarah Masuknya Islam ke Kolaka, Kota Seribu Hafiz Al-Qur`an dari Provinsi Sulawesi Tenggara

Kabupaten Kolaka merupakan daerah yang menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Tenggara. Bagaimana sejarah masuknya Islam ke Kolaka?

Begini Sejarah Masuknya Islam ke Kolaka, Kota Seribu Hafiz Al-Qur`an dari Provinsi Sulawesi Tenggara
Masjid Khaera Ummah, simbol Islam di Kolaka. Foto: TripTrus.

Kabupaten Kolaka adalah sebuah daerah yang terletak di bagian barat jazirah tenggara Pulau Sulawesi. Sejak berdirinya Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 1964, kabupaten Kolaka pun menjadi bagian darinya. Kabupaten ini memiliki luas sebesar 3.283 km2 dan beribukota di Kecamatan Kolaka. Kabupaten yang merupakan eks Kerajaan Mekongga dan resmi berdiri menjadi daerah otonom sejak 1960 ini memiliki total penduduk sebesar 266.070 jiwa dengan 84,61% di antaranya beragama Islam. Masuknya Islam ke Kolaka memang telah terjadi sejak lama.

Umat muslim yang menjadi kelompok mayoritas di Kolaka berkontribusi secara positif bagi perkembangan Islam di Indonesia. Bagaimana tidak, Kolaka menjadi salah satu daerah penyumbang hafiz-hafizah yang telah mengharumkan nama bangsa Indonesia di berbagai musabaqah tingkat Internasional. Terlebih lagi, para pemenang musabaqah ini adalah para anak muda yang berusia dibawah 30 tahun.

Selain itu, kabupaten yang terletak di pesisir Teluk Bone ini dipimpin oleh seseorang yang memiliki wawasan keislaman yang baik. Beliau adalah H. Ahmad Safei, SH., MH., yang telah menjabat sebagai Bupati Kolaka selama 10 tahun terakhir. Beliau adalah lulusan Universitas Muslim Indonesia dan dikenal toleran dan moderat. Hal itu dapat dilihat dari beberapa kebijakannya, seperti menempatkan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama di Lingkup Kabupaten Kolaka tanpa memandang latar belakang suku, agama, dan golongan yang bersangkutan. Pada November 2021 lalu, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (BIMAS) Islam Kementerian Agama RI menganugerahi Bupati Kolaka sebagai Kepala Daerah Teladan dalam Penguatan Moderasi Beragama.

Masuknya Islam ke Kabupaten Kolaka

Proses masuknya Islam ke Kolaka bisa dibilang cukup berbeda dengan proses masuknya Islam ke berbagai daerah lainnya di Sulawesi Tenggara. Jika di daerah lain masuknya Islam dipengaruhi oleh eksistensi Kesultanan Buton yang aktif dalam penyebaran Islam, maka di kabupaten Kolaka, masuknya Islam dipengaruhi oleh Kerajaan Luwu (sekarang Kedatuan Luwu) yang berkedudukan di Palopo, Sulawesi Selatan.

Berdasarkan catatan sejarah, Islam masuk ke Kerajaan Luwu pada awal abad ke-17, tepatnya 1603 M dibawa oleh seorang mubaligh asal Minangkabau bernama Datuk Sulaeman. Setelah 2 tahun, Datu Luwu kemudian memeluk agama tauhid ini tepat pada hari Jumat tanggal 15 Ramadan 1013 H yang bertepatan dengan 4 Februari 1605 M. Dengan masuknya Datu Luwu ke agama Islam, maka sosok yang bernama asli La Patiware Daeng Parabu itu diberi gelar Sultan Muhammad Waliyul Mudharuddin Matinroe ri Ware.

Selain itu, peristiwa masuk Islamnya Datu Luwu saat itu menjadi pertanda awal dimulainya ekspedisi pengislaman kerajaan sekutu dari Kerajaan Luwu, termasuk Kerajaan Mekongga (wilayahnya saat ini mencakup Kabupaten Kolaka, Kabupaten Kolaka Utara, dan Kabupaten Kolaka Timur). Ekspedisi tersebut merupakan perintah langsung dari Datu Luwu yang terimplementasikan dalam pengiriman para muballigh ke wilayah kerajaan sekutu dari Kerajaan Luwu.

Proses masuknya Islam ke Kolaka diawali oleh ketertarikan Lalemala (anak bokeo/raja Mekongga saat itu) terhadap ajaran Islam yang bermula dari pemberian bendera berwarna merah dan putih oleh Datu Luwu saat itu, yakni Datu Alimuddin Settia Raya. Bendera tersebut memiliki ukuran sebesar 20 cm x 63 cm dan bertuliskan dua kalimat syahadat serta tahun diberikannya bendera tersebut pada Lalemala. Pada bendera tersebut juga dijumpai beberapa gambar.

Latar belakang pemberian bendera tersebut tidak terlepas dari situasi politik di Sulawesi saat itu. Pada 1666, meletus peperangan antara Kerajaan Gowa-Tallo melawan VOC. Kerajaan Luwu yang saat itu dipimpin oleh Datu Alimuddin kemudian ikut membantu Gowa dalam peperangan tersebut. Kontribusi Datu Alimuddin dalam peperangan tersebut kemudian membuat ia harus diasingkan oleh VOC ke Pulau Buton selama hampir 2 tahun (hingga ditandatanganinya Perjanjian Bongaya oleh Sultan Hasanuddin pada 1667).

Posisi Datu Luwu selama Datu Alimuddin diasingkan kemudian diduduki oleh Opu Patunru yang sebelumnya menjabat sebagai perdana menteri. Hal ini menimbulkan perang saudara di Kerajaan Luwu. Datu Alimuddin kemudian meminta bantuan pasukan pada Bokeo/Raja Mekongga saat itu, yakni Bokeo Teporambe. Berangkatlah Lalemala bersama 40 pasukan Tabutualo dan Tamali. Selain itu, Lalemala bersama pasukannya juga diminta untuk membersamai pasukan Kerajaan Luwu dalam memerangi kekacauan di Kerajaan Suppa. Berkat bantuan tersebut, Datu Alimuddin berhasil memenangkan perang-perang tersebut. Lalemala sebagai pemimpin pasukan dari Mekongga kemudian diberi sebuah bendera berwarna merah dan putih yang bertuliskan dua kalimat syahadat dan membuatnya sangat tertarik untuk mendalami agama Islam.

Sosok Lalemala dan Bendera Merah Putih Bertuliskan Kalimat Syahadat

Dari gambar-gambar yang berada di bendera merah putih itu, Lalemala bertanya dengan penuh penasaran pada Datu Luwu mengenai makna dan arti dari gambar-gambar tersebut. Datu Luwu kemudian menjelaskan bahwa gambar yang ada di bendera tersebut merupakan makna hidup manusia dan perjalanan hidup manusia dalam menuju kesempurnaan. Rasa penasaran dan ketertarikan terhadap agama Islam itu kemudian difasilitasi oleh Datu Luwu dengan mengirimkan dua orang muballigh, yakni Opu Daeng Massuro/Opu Daeng Massara dan Lamatona Opu Daeng Mapuji. Dua orang muballigh ini kemudian menjadi penyiar agama Islam di Kerajaan Mekongga.

Bokeo/Raja Mekongga saat itu, Bokeo Teporambe, menolak permintaan Datu Luwu melalui muballigh yang ia kirimkan untuk memeluk agama Islam. Hal ini ia lakukan karena alasan usia yang sudah sepuh dan sukar untuk meninggalkan tradisi dan kepercayaan yang ia yakini seumur hidupnya. Lalemala sendiri memeluk Islam di hari Jumat, tidak lama setelah kedatangan dua muballigh utusan Kerajaan Luwu pada 1669 M. Peristiwa itu kemudian menjadi tonggak awal persebaran Islam di Kolaka.

Hari Jumat dipilih Lalemala untuk menyatakan keislamannya disebabkan oleh anggapan bahwa hari Jumat merupakan hari yang baik. Tanpa babibu, Lalemala langsung melaksanakan salat Jumat setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dengan demikian, Lalemala kemudian berganti nama menjadi “Ladumaa”, yang mana “La” bermakna ada atau laki-laki, sedangkan “Dumaa” bermakna hari jumat. Karena anaknya telah memeluk agama Islam, Bokeo Teporambe kemudian meminta agar istana raja dibagi dua dengan hijab (pembatas). Satu sisi ditinggali oleh Bokeo Teporambe, sedangkan sisi lainnya ditinggali oleh Lalemala bersama para muballigh utusan datu Luwu.

Pada 1699, Bokeo Teporambe yang menjabat sebagai Bokeo/Raja Mekongga, mangkat dengan gelar “Sangia Nilulo” yang berarti “Raja yang Dihibur dengan Tarian Lulo”. Sepeninggal ayahnya, Ladumaa kemudian dilantik menjadi Bokeo dengan gelar “Sangia Nibandera” yang berarti “Raja yang Diberi Bendera”. Di masa pemerintahan Sangia Nibandera, Kerajaan Mekongga berada di masa keemasannya. Menurut tradisi sejarah lisan masyarakat lokal, Sangia Nibandera pernah membuat masjid di masa pemerintahannya. Namun, masjid tersebut telah hilang tanpa jejak, karena terbuat dari bahan yang cepat rusak dan mudah lapuk.

Sangia Nibandera kemudian wafat pada 1748 dan dikebumikan secara tradisi Islam. Makamnya terletak di Kelurahan Silea, Kecamatan Wundulako, Kabupaten Kolaka. Hingga hari ini, masih banyak peziarah yang datang mengunjungi makam tersebut. Selain itu, bendera merah putih yang diberikan Datu Luwu pada Sangia Nibandera juga masih dirawat oleh anak keturunannya hingga hari ini. [NH]

 

REFERENSI

Hafid, Anwar. (20019). SEJARAH DAERAH KOLAKA. Bandung: Humaniora. ISBN 979-778-102-X.