Di antara persoalan yang kerap dihadapi oleh remaja dan bakan orang dewasa adalah ledakkan hasrat seksual (sexual desire) yang, umumnya, dianggap selesai dengan mekanisme pernikahan. Padahal menikah itu tidak selamanya bicara tentang saluran seksualitas semata. Islam pada dasarnya telah memberi alternatif bagi mereka yang menemui gejala tersebut. Salah satunya adalah dengan melakukan puasa.
Hanya saya, elan vital puasa sebagai pengendalian diri hari ini rupanya tidak cukup populer bagi masyarakat yang terlampau heterogen dan berjejaring satu sama lain. Wacana puasa sebagai salah satu solusi yang lumrah ditempuh untuk meredakan ketegangan seksual berhadap-hadapan dengan diskursus onani atau mafhum disebut masturbasi.
Dalam circle tertentu perbincangan mengenai masturbasi sering kali mengandaikan bahasan yang tabu dan privat. Dalam diskursus medis, melakukan masturbasi masih menjadi objek perdebatan apakah itu sehat atau tidak. Dalam wacana keagamaan, diskursus mengenai onani secara menarik melahirkan ragam sudut pandang.
Tulisan ini melihat ragam perspektif wacana tentang masturbasi dari dua tradisi keagamaan, Islam dan Budha. Secara umur, Budha sudah lahir jauh sebelum Islam ada. Budha bahkan mendapat predikat sebagai agama dunia tertua yang pernah dipeluk oleh umat manusia. Budha, bersama sang pendiri Siddharta Gautama, lahir di abad ke-6 SM di Nepal. Sedangkan Islam lahir beratus-ratus abad setelahnya, yaitu abad ke-6 Masehi melalui Nabi Muhammad.
Salah satu perbincangan menarik yang dibahas dalam kedua tradisi agama itu adalah tentang onani. Sama halnya dalam diskursis medis, pendapat tentang kebolehan onani juga menjadi perdebatan seru dalam wilayah doktrin kegamaan.
Dalam perspektif Islam, jumhur ulama memvonis haram aktivitas ini, namun sebagian ada yang menghukumi haram bersyarat, makruh dan bahkan ada pula yang berpendapat mubah. Salah satu yang mengharamkan adalah as-Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh as-Sunnah, beberapa ulama Malikiyah, termasuk Imam Malik, beberapa ulama Syafi’iyyah, termasuk Imam Syafi’i, dan madzhab Zaidiyah.
Ada beberapa ulama yang mengharamkan onani dalam waktu-waktu tertentu, namun membolehkan di keadaan yang lain jika ada alasan untuk itu. Sudut pandang ini didukung oleh golongan ulama bermadzhab Hanafi dan sebagian Hanbali. Alasan yang dimaksud itu misalnya karena tidak atau belum memiliki istri atau budak, jika mengacu konteks masa lalu, sedang syahwatnya begitu membara. Istimna` bahkan bisa menjadi wajib jika takut terjatuh dalam zina. Imam Mawardi termasuk salah satu ulama yang membolehkan onani ketika dalam perjalanan (sedang istrinya di rumah) untuk menghindari godaan perzinaan selama perjalanan.
Sedang makruhnya hukum onani berasal dari Ibnu Hazm, Ibnu Umar, dan Atha’. Ibnu Hazm, dalam kitab At-Tasyri’ Al-Jina`i Fi Al-Islam, menjelaskan bahwa onani itu dimakruhkan karena ia tidak termasuk kemuliaan akhlaq dan bukan termasuk keutamaan.
Sedangkan salah satu ulama yang membolehkan onani adalah Ibnu Abbas, al-Hasan, al-Ala’i bin Ziyad, adh-Dhahhak bin Mazahim, dan sebagian ulama Tabi’in serta Ahmad bin Hanbal menurut salah satu riwayat. Imam al-Qurthubi mengatakan dalam tafsirnya mengatakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal yang dikenal wara‟ membolehkan onani, dengan argumen tindakan onani itu seperti mengeluarkan kelebihan dari badan, maka diperbolehkan ketika diperlukan, seperti bolehnya melakukan pembedahan dan perbekaman.
Jika masturbasi dibicarakan dalam konteks fiqh dan hukum muamalah dalam Islam, Budha memasukkan hukum onani dalam diskursus hierarki keagamaan. Masturbasi, di luar dari perdebatan “halal-haram”, di dalam Buddha berfungsi sebagai instrumen untuk menegaskan strata keagamaan, terutama dalam konteks kehidupan biksu-biksu di vihara dan orang awam di luar lingkaran vihara.
Tradisi Budha bahkan memiliki bahasan secara implisit tentang masturbasi dalam Vinaya Pitaka, bagian pertama dari tiga bagian Tripitaka, kitab suci agama Budha. Dalam Sanghadisesa: 1, bagian dari Vinaya Pitaka, menyatakan bahwa para biksu dilarang untuk melakukan masturbasi mengingat kewajiban biksu yang harus menjalankan praktik asketik (pertapaan).
Praktik pertapaan itu meniscayakan para biksu untuk mendedikasikan lebih banyak waktu untuk belajar dan bermeditasi. Mereka tidak mencari makanan dengan cara bekerja. Mereka menerima makanan dari sumbangan umat. Dengan demikian, masturbasi seorang biksu merupakan hal yang tidak dapat diterima.
Perlu dicatat bahwa tradisi Budhis memiliki pembedaan aturan keagamaan yang tegas antara para biksu dan orang awam. Kehidupan para biksu mensyaratkan standar-standar aturan moral yang lebih ketat sedangkan orang awam tidak dituntut untuk melaksanakan aspek-aspek kehidupan keagamannya dengan sempurna.
Penganut Buddha dari kalangan awam memiliki aturan yang lebih fleksibel terkait praktik masturbasi. Dalam tradisi Budha, orang awam hanya diharuskan mengikuti lima prinsip dalam Pancasila Budha yaitu: menahan diri dari membunuh, menahan diri dari mengambil apa yang tidak diberikan, menahan diri dari penyalahgunaan indera (termasuk perzinahan), menahan diri dari ucapan yang salah (atau berbohong), dan menahan diri dari zat yang memabukkan (seperti alkohol).
Perzinahan, dalam tradisi Budha, memiliki definisi yang jelas yaitu hubungan seksual di luar ikatan pernikahan. Oleh karenanya, masturbasi menjadi hal wajar di kalangan umat Budhia awam (laymen).
Dalam Budha, menjaga jarak dari masturbasi serta jenis aktivitas seksual lainnya tidak sekadar dilihat sebagai aktivitas penyucian jiwa. Akan tetapi, praktik itu juga sebagai upaya pembentukan kesucian institusi dan legitimasi moral para otoritas agama di tingkat yang lebih tinggi dalam komunitas keagamaan. Implikasinya, orang awam cenderung memandang para asketis seperti biksu Budha sebagai orang suci.
Argumentasi tersebut mengarah pada alasan mengapa orang Budha perlu untuk memuliakan para biksu. Mereka diposisikan sebagai purified people (orang yang disucikan). Dengan berpantang dari praktik-praktik tersebut, mereka dipersepsikan bukan lagi manusia biasa, melainkan laiknya malaikat dalam bentuk manusia suci.
Istilah kata, orang yang masih melakukan pernikahan, hubungan seksual, dan masturbasi berarti masih terikat dengan kepentingan dunia sebagaimana yang dilakukan oleh orang awam. Biksu, dalam tradisi Buddha, dianggap suci dan melampaui manusia awam. Oleh karena itu, untuk menjaga reputasi itu, biksu dilarang untuk melakukan hal-hal duniawi yang berbau seksualitas, termasuk masturbasi.
Baca Juga, Setelah Masturbasi, Haruskah Mandi Junub?
Agama Islam tidak membincang hukum masturbasi secara gamblang dalam kitab sucinya. Dalam tradisi Islam, masturbasi diperdebatkan dalam diskursus ilmu fiqh atau muamalah. Tidak ada standarisasi khusus bagi figur-figur agama dalam Islam terkait masturbasi.
Sementara tradisi Budha membincang masturbasi melalui dua sudut pandang sekaligus. Di satu sisi, masturbasi diperbincangkan sebagai bagian dari hasrat seksualitas manusia. Di sisi lain, masturbasi dibahas dalam wacana penegasan seorang biksu yang suci dan orang awam yang tidak terikat norma.