Islam sebagai agama universal, menganggap aspek-aspek dalam kehidupan manusia saling berkaitan satu sama lain. Sebagai agama yang meliputi segala aspek kehidupan, Islam meletakkan aspek-aspek tersebut sesuai porsinya masing-masing.
Dalam banyak hal, Islam mengatur dengan rinci hal-hal – misalnya ibadah – tersebut dengan mendalam, dan di bagian lainnya, hanya memberikan prinsip-prinsip dasarnya. Itu terjadi bukan karena Islam tidak membicarakannya, melainkan memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengatur hal-hal tersebut.
Di antara hal-hal yang hanya diberikan prinsipnya oleh Islam adalah politik. Politik, baik di dalam Al-Quran maupun Sunah tidak dijelaskan secara mendetil perihal tata cara dan pelaksanaannya. Mengingat manusia hidup di letak geografis yang berbeda-beda, pun latar belakang beragam, maka pelaksanaan dan tata caranya diserahkan kepada ijtihad manusia, dengan tetap memberikan prinsip-prinsip luhur dan universal mengenai berpolitik.
Pengertian Siyasah Syar’iyyah
Politik dalam bahasa arab memiliki padanan kata siyasah. Kata siyasah tidak ditemukan, baik di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Menurut bahasa, siyasah berarti ar-riyasah alias kepemimpinan. Sedangkan menurut terminologis, seperti diungkapkan Ibnu ‘Uqail adalah : “Perbuatan apapun yang bertujuan untuk mendekatkan manusia kepada kesejahteraan dan menjauhkannya dari kerusakan, meskipun tidak diatur oleh rasulullah maupun wahyu dari Allah”. Adapun Fathi Ad Darini mendefinisikannya sebagai: “ Komitmen untuk mewujudkan kemaslahatan”.
Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan siyasah syar’iyyah sebagai : “Pengaturan urusan-urusan umum di sebuah negara berpenduduk islam guna mewujudkan kesejahteraan dan menghindarkan kerusakan melalui tindakan yang tidak melampaui batas-batas syariah dan prinsip-prinsip universal ajararannya, meskipun tidak sama persis dengan perkataan ulama”.
Dari definisi di atas, setidaknya bisa kita tarik kesimpulan bahwa muara dari tindakan politik adalah kemaslahatan umum sebuah masyarakat dengan ukurannya sendiri-sendiri, dan karenanya cara-cara itu diserahkan sepenuhnya kepada negara ataupun wilayah tertentu selama tidak bertentangan dengan syariat. Dalam pandangan ushul fikih, hal ini masuk dalam wilayah maslahah mursalah, yakni wilayah kemaslahatan yang tidak dijelaskan anjuran atau larangannya oleh syariat.
Jenis-jenis Tindakan Nabi
Nabi muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diberi anugerah istimewa berupa perkataan-perkataan dan tindakan-tindakan yang pantas dijadikan teladan bagi umatnya. Hal-hal tersebut kemudian menjelma menjadi sunah, dengan segala ketentuan yang meliputinya untuk ditiru oleh umatnya. Para ushuliyyin menegaskan, bahwa tidak semua tindakan dan perkataan nabi harus diikuti oleh umatnya, karena ada hal-hal yang hanya boleh dilakukan oleh beliau secara khusus.
Tindakan-tindakan Nabi yang dikenal sebagai Tasharrufat ar Rasul, menurut Sadedin al Othmani dalam bukunya Ad Din wa as Siyasah : Tamyyizun la Fashla (Agama dan Politik : Dibedakan bukan dipisahkan), terbagi dalam beberapa kategori. Secara umum, tindakan Nabi terbagi menjadi dua: Pertama, Tasharrufat at Tasyri’iyyah, yaitu tindakan yang berimplikasi hukum, dan kedua, Tasharrufat Ghairu at Tasyri’iyah, tindakan yang tidak berimplikasi hukum.
Yang pertama tadi terbagi lagi menjadi umum dan khusus. Yang umum terbagi menjadi tasharrufat bit tabligh (ajaran yang harus disampaikan), dan futuya (fatwa), dan Yang khusus terbagi tiga, yaitu tasharrufat bil qadla (putusan hukum), imamah (kepemimpinan) dan putusan-putusan khassah, berkenaan dengan kejadian-kejadian tertentu.
Adapun Tasharrufat ghairu tasyri’iyah, tindakan yang tidak bertujuan sebagai sesuatu yang mesti diikuti oleh umatnya, terbagi menjadi lima yaitu :
Jabaliyah, berkaitan dengan tindakan dan perkataan nabi sebagai manusia biasa.
‘Adiyah, berkaitan dengan tindakan nabi berdasar kebiasaan masyarakat di sekitarnya seperti makan, minum, berpakaian dan lainnya.
Dunyawiyah, tindakan nabi dalam hal-hal pekerjaan manusia, seperti bercocok tanam, kerajinan tangan, kedokteran dan lainnya.
Irsyadiyah, arahan-arahan nabi mengenai apapun yang bertujuan mendapatkan manfaat duniawi. Perintah-perintah nabi dalam hal ini tidak memiliki status hukum baik wajib, sunah dan seterusnya.
Al-khassah bihi, tindakan-tindakan yang hanya dilakukan oleh nabi, dan tidak bisa diikuti oleh seluruh umatnya.
Klasifikasi mengenai tindakan-tindakan Nabi di atas sangat menentukan bagi cara pandang umat Islam dalam menyikapi hadis-hadis Nabi. Banyak dari kita mengira, bahwa perkataan dan perbuatan nabi hanya satu jenis saja dan satu tingkatan saja, sehingga tidak jarang menempatkan dan menerapkannya dalam situasi dan kondisi yang tidak tepat.
Kedudukan Politik dalam Islam
Nabi dalam bertindak sebagai kepala negara (imamah), menurut Al-Qarafi, adalah “status tambahan yang diberikan selain sebagai nabi, rasul, mufti, dan hakim”. Menurut beliau, posisi Nabi Muhammad sebagai pemimpin adalah mengatur kebijakan politik yang bersifat umum, menentukan kebijakan untuk kesejahteraan masyarakat, mencegah terjadinya kerusakan, dan lain sebagainya. Dan hal-hal ini dipisahkan dari status Rasulullah sebagai pemberi fatwa, nabi, hingga pemberi risalah karena konteks yang berbeda satu sama lain.
Karena tindakan ini bersifat khusus, maka senantiasa berkaitan dengan dimensi ruang dan waktu siyasah itu dijalankan, lebih-lebih konteks yang terjadi di dalamnya. Dalam hal ini Ibnu Qayyim menegaskan bahwa politik yang dijalankan berkaitan dengan siyasah juz’iyyah, yaitu politik yang berkaitan dengan “kemaslahatan sebuah komunitas di waktu, tempat dan kondisi tertentu”. Oleh sebab itu, politik, siyasah, atau apapun tindakan Nabi sebagai pemimpin, bukanlah sesuatu ‘tindakan hukum yang bersifat umum’ yang harus ditegakkan sama persis di seluruh belahan dunia.
Ungkapan-ungkapan tersebut menunjukkan bahwa tindakan Nabi dalam siyasah adalah ijtihad yang berorientasi duniawi. Sedangkan prinsip dasar dari siyasah adalah hikmah dan maqashid. Piagam Madinah adalah contoh nyata tentang orientasi kemaslahatan umum dalam kehidupan bersama antar umat beragama dalam berbangsa dan bernegara.
Pemahaman terhadap tindakan politik Nabi yang ‘tidak menentu’, memberi kesimpulan mengenai kebebasan menentukan kebijakan-kebijakan politik suatu masyarakat, termasuk sistem yang dianut. Maka Islam, secara garis besar membuka lebar-lebar kesempatan bagi umatnya untuk menunjukkan potensinya dalam mencapai kesejahteraan hidupnya melalui kesepakatan bersama, berlandaskan nilai-nilai luhur Islam seperti adil, jujur, amanah, dan musyawarah.
Ketika kita benar-benar memahami bahwa tindakan Nabi dalam hal berpolitk adalah jenis tindakan bersifat khusus meski punya implikasi hukum, hal tersebut semestinya membuat kita lebih berhati-hati dalam memahami konteksnya, karena tindakan-tindakan tersebut senantiasa memerhatikan konteks ketika Nabi melakukannya, dan itu sejatinya menunjukkan prinsip-prinsip umum tentang politik, bukan spesifikasi tindakan dan keharusan tindakannya.
Wallahu A’lam.