“Ketika banyak orang membangun dinding-dinding, Gus Dur justru membangun jembatan sebagai penghubung antar perbedaan,” tutur Hairus Salim dalam sesi Dialog dan Diskusi Mengenai Gus Dur dan Kemanusiaan. Sesi itu merupakan satu dari rangkaian acara Malam Puncak Resepsi Haul Gus Dur XIII di Hall Syantikara, Yogyakarta (26/2).
Lebih lanjut, pengurus Yayasan LKiS tersebut merujuk sebuah konteks di mana umat beragama, khususnya saat ini, saling menutup diri terhadap pemeluk agama lain. Katanya, mereka seolah membangun sekat-sekat tinggi yang menciptakan prasangka-prasangka.
Dalam benak Gus Dur, seperti yang dijelaskan Hairus, agama tidak boleh lupa dengan esensinya, yaitu keselamatan dan perdamaian. “Jembatan itu dimaksudkan untuk menghancurkan kecurigaan di antara umat beragama.”
menurut Hairus, sikap Gus Dur sangatlah konsisten. Ia tegas menolak sakralisasi simbol-simbol keagamaan secara berlebihan yang rentan melahirkan sosok relijius namun nir nilai-nilai kemanusiaan.
Gus Dur merupakan keturunan dari dua tokoh besar yang sangat terhormat di Indonesia. Ayahnya adalah KH. Wahid Hasyim, salah satu pahlawan nasional, dan kakeknya adalah KH. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama. Meski demikian, identitas nasab itu seolah tak tampak ketika Gus Dur berjumpa dengan orang lain.
“Ketika Gus Dur bertemu dengan orang lain, sekat sosial itu tiba-tiba hilang. Gus Dur sangat merangkul seakan ia seperti bagian dari mereka. Terkadang, sikap tawadhu itu yang justru membuat lawan bicaranya merasa sungkan,” jelas Hairus Salim.
Karakter itulah yang membentuk Gus Dur menjadi sosok yang dicintai banyak orang. Ia tidak terikat dengan simbol-simbol agama yang saklek. Dalam relasi lintas agama, Gus Dur menunjukkan bahwa hubungannya telah jauh melampaui level persaudaraan itu sendiri.
“Gus Dur merupakan satu-satunya sosok yang bisa lepas bercanda dengan yang berbeda agama, itu tidak lebih karena hilangnya simbol-simbol yang melekat padanya,” tutur Hairus.
Gus Dur mampu menghilangkan “keseriusan” dalam beragama. Sikap yang justru menjadikan umatnya tidak manusiawi dan kaku. Aspek ini yang terus ditegaskan oleh Gus Dur.
Sebagai sosok yang kerap berinteraksi dengan Gus Dur, Hairus Salim mengingatkan bahwa sebagai umat beragama kita jangan kehilangan sensitifitas untuk bercanda dan tertawa.
Seni bercanda ala Gus Dur mungkin saja dianggap berlebihan oleh orang lain. Tetapi justru model guyon itu yang menyiratkan persaudaraan tingkat tinggi. Ketika orang sudah berhasil menghilangkan sekat-sekat sosial satu sama lainnya, maka itu adalah puncak dari persaudaraan.
Sejalan dengan nilai-nilai Gus Dur itu, Haul Gus Dur XIII menggandeng berbagai komunitas dan masyarakat sipil. Aksi ini diharapkan memberikan dampak sosial dalam merekatkan kerja-kerja kemanusiaan yang selama ini menjadi fokus komunitas Gusdurian Yogyakarta.
Berbagai organisasi/masyarakat sipil yang terlibat dalam acara ini. Beberapa di antaranya adalah LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), Srikandi Lintas Iman, Syantikara Youth Center, AISNU (Arus Informasi Santri Nusantara) Jogja, GKI (Gereja Kristen Indonesia) Gejayan, Srikandi Lintas Iman, Puanmenulis, YIPC (Young interfaith Peacemaker Community), Vihara Karangdjati, JAI (Jemaah Ahmadiyah Indonesia) Yogyakarta, dan Rausyanfikr Institute.
Dengan demikian, Haul Gus Dur XIII ini menjadi semacam ruang perjumpaan berbagai komunitas di jogja setelah pandemi sehingga menjadikan mereka lebih solid. Semangat ini mewujud dalam tagar acara, yaitu #JogjaRumahBersama.
Di sesi yang sama, Elga Sarapung mengafirmasi paparan Hairus Salim. Direktur Interfidei ini tersebut mengatakan bahwa soal agama, bercanda itu harusnya biasa. Namun, sebelum itu, kita harus mempunyai komitmen terhadap integritas kita sebagai manusia. Justru, candaan adalah pintu masuk menuju percakapan yang hangat di antara umat beragama. Selera humor juga merupakan modal besar untuk menghadapi dunia media sosial yang lekat dengan ketersinggungan.
Selain itu, Gus Dur juga dikenal sebagai sosok manusia yang manusiawi. Ia cepat dan tanggap dalam hal membantu orang lain, terutama soal merawat perbedaan.
Pernyataan tersebut tegas. Era modern banyak melahirkan manusia yang tidak humanis, pun juga Muslim yang tidak Islamis. Jembatan yang dibuat Gus Dur juga berlaku dalam konteks ini. Membentuk manusia yang humanis, membentuk Muslim yang islamis.
“Saya suatu hari diundang Gus Dur di forum musyawarah ulama di Lombok. Saya kaget, isinya orang-orang pakai sarung, pakai peci, semua perempuan berjilbab dan hanya dua yang tidak berjilbab. Saya satu-satunya Kristen yang hadir di situ. Saya berpikir, untuk apa saya diundang ke sini,” cerita Elga.
“Setelah saya renungkan, undangan Gus Dur itu menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama untuk umat Islam saja, namun juga untuk semua manusia,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia merefleksikan bahwa agama harusnya membebaskan dan dibebaskan. Agama tidak boleh dikunci dalam kerangkeng, ia tidak boleh terpenjara. Agama bukan hanya seputar masuk gereja, shalat Jum’at, puasa, atau misa, namun agama juga soal bagaimana memanusiakan manusia dan manfaatnya bagi sesama.
Agama bukan juga soal ritual, melainkan termasuk aspek sosial. Elga mengaku banyak belajar dari Gus Dur soal prinsip “beragama yang memanusiakan” ini.
Dalam closing statement, Hairus Salim mengakumulasi nilai-nilai gusdur dalam satu frase pendek, “to be religious is to be interreligious”.
Elga Sarapung menambahkan bahwa Gus Dur adalah sosok yang tidak hanya bergerak di wilayah wacana, tapi juga aksi nyata dengan segala keberaniannya.
“Saya adalah perempuan Kristen dari Gorontalo. Namun identitas saya itu tidak membuat sikap Gus Dur berbeda. Siapa pun itu, Gus Dur pasti merespon dan menanggapi,” pungkas Elga.
Acara tersebut ditutup dengan Deklarasi Lintas Iman. Sebuah resolusi seluruh umat di Bumi demi memastikan hak dan kewajiban yang sama untuk menjaga persaudaraan dan perdamaian. Sebuah peringatan bahwa satu tindakan yang menciderai persaudaraan dan perdamaian akan mengakibatkan penderitaan bagi semua umat manusia yang berada di Bumi. Pun sebagai penegasan bahwa intoleransi, ketidakadilan, dan diskriminasi menjadi bencana yang terjadi disebabkan oleh sikap abai terhadap sesama dan keserakahan umat manusia terhadap kepentingan pribadinya.