Menyeru menuju kebaikan adalah bagian dari perintah Allah kepada umat manusia. Tidak hanya wajib bagi para ulama dan tokoh-tokoh agama, melainkan pula menjadi kewajiban seluruh manusia untuk saling mengingatkan kepada kebaikan. Karena menyeru kepada kebaikan bagian dari ibadah, maka seiring dengan itu, menyeru untuk mencegah kebatilan juga merupakan bagian dari kewajiban manusia terhadap sesama. Hal ini merupakan inti dari proses dakwah.
Dakwah sendiri tidak hanya harus dimaknai secara populis, di mana seseorang berbicara melalui mimbar dan didengarkan ribuan orang, atau seseorang di balik layar televisi yang tengah disaksikan jutaan pemirsa. Pemahaman terkait dakwah dapat dimulai dari hal sederhana, seperti memperingatkan teman kita yang akan berbuat nakal atau mengingatkan saudara yang lupa belum mengerjakan ibadah wajib. Dengan makna yang lebih sederhana ini, maka setiap orang memiliki peluang untuk menjadi pendakwah.
Tingkat penggunaan teknologi komunikasi yang semakin maju dalam beberapa dekade terakhir ini juga patut menjadi ruang dakwah. Media sosial terbuka menjadi majelis dakwah tanpa ada halangan yang berarti. Kita bisa menjadikan media sosial sebagai ruang dakwah, tetapi juga sebaliknya, bisa menjadikan ruangan itu sebagai media uforia dan fitnah. Sebagaimana pisau, kita bisa memanfaatkan untuk mengupas buah dan bisa pula untuk membunuh.
Jelang Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019 beserta Pilpres, media sosial juga menjadi ajang kampanye yang sangat massif. Tingkat komunikasi politik mencapai level tertinggi dalam siklus lima tahunan untuk merebut simpati publik. Sliweran informasi mengatasnamakan data-data tertentu, dasar hukum dan bahkan ajaran agama memadati timeline media sosial. Sebagian dari informasi itu berangkat dari kebenaran, namun sebagian lainnya terkadang data yang kurang valid.
Parahnya, terkadang kita kurang begitu berhati-hati dalam menerima informasi itu, tabayun terhadap isi informasi lalai untuk dilakukan. Apalagi jika informasi tersebut mendukung keinginan kita, searah positif dengan partai politik yang kita pilih dan atau sejalan dengan tokoh idaman kita, terkadang langsung menyebarkan informasi tersebut dengan tanpa pertimbangan yang berarti. Dan saat itu pula ada dua kemungkinan, kita menjadi pendakwah jika informasi itu benar, sebaliknya, kita menjadi ahl fitnah jika informasi tersebut ternyata berisi data dengan tingkat kebenaran yang negatif.
Banyak sudah tulisan-tulisan dan anjuran untuk melakukan klarifikasi data oleh para tokoh dan analis. Bahkan pemerintah sendiri menganjurkan untuk tidak menyebarkan informasi palsu serta menegaskan konsekuensi dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Dampaknya, tidak hanya satu dua orang, namun telah banyak yang berakhir di balik jeruji besi karena menyebarkan informasi yang bernuansa ujaran kebencian.
Benang tipis antara dakwah dan fitnah ini pembedanya hanya pada satu titik, yakni tabayyun, tindakan klarifikasi yang banyak diabaikan. Jika langkah ini dilakukan, maka akan menemukan simpulan apakah informasi yang diterima adalah informasi yang baik atau sebaliknya informasi tersebut berisi pesan-pesan yang tidak sesuai dengan fakta. Simpulan itu juga menjadi pilihan jalan yang tegas jika hendak meneruskan informasi, apakah kita akan menapaki jalan dakwah atau jalan yang fitnah.
Namun sayangnya, loyalitas kita terhadap agama ternyata acapkali lebih rendah dibanding loyalitas kita terhadap partai politik, organisasi dan atau tokoh idaman kita. Jika informasi dinilai menguntungkan bagi pilihan politik kita, maka kita mengabaikan pesan-pesan agama untuk tabayyun dan mengambil tindakan penyebaran sebagai upaya untuk pilihan kita mendapatkan banyak pengikut dan semakin banyak simpatisan.
Dalam hal ini, semakin jelas apa yang telah difatwakan Nabi Muhammad SAW belasan abad lalu, dimana akan banyak fitnah bersliweran tanpa dapat dikontrol. Dimana fitnah tersebut dapat jadi diangga sebagai kebenaran, bahkan kebenaran yang mutlak. Parahnya, fitnah yang disampaikan itu dianggap sebagai dakwah, dakwah untuk memuliakan nama agama.
Sebelum mendakwahkan kepada orang lain tentang informasi yang kita terima, sebaiknya kita mendakwahkan pada diri kita sendiri, melakukan klarifikasi data dan tabayyun sebelum mendakwahkan informasi tersebut. Berhati-hati pula dalam menerima informasi, karena sekarang tidak hanya informasi yang difitnahkan, tetapi kitab kuning sebagai kitab ajaran agama juga telah dipalsukan isinya, bahkan konon banyak hadits-hadits yang isinya diarahkan untuk kepentingan tertentu.