Banyak kekeliruan dalam memahami keutamaan mati syahid. Kekeliruan itu disebabkan pemahaman agama yang dangkal tentang beberapa hadits Rasulullah yang menjelaskan keuatamaan mati syahid.
Pertama, hadits tentang anjuran berdoa dijadikan akhir hayatnya mati syahid seperti yang dilakukan Ummu Haram (HR. Bukhori dan Muslim). Padahal ada banyak hadits yang lebih rinci yang meyebutkan: “Barangsiapa meminta mati syahid dengan sungguh-sungguh maka pahala mati syahid akan diberikan kepadanya walaupun ia mati di atas tempat tidur” (HR. Muslim). Hadits serupa dengan redaksi berbeda juga terdapat pada HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasai. Dengan kata lain mati syahid itu tidak semata-mata melalui perang tapi mati di atas tempat tidurpun bisa mendapat pahala mati syahid.
Kedua, hadits tentang menjaga rahasia rencana berperang yang dipahami melegalkan menyerang musuh dengan bunuh diri. Padahal hadits yang diriwayatkan Qais b. Ubad al-Tabii sebenarnya menjelaskan perjalanan para sahabat Nabi sewaktu perang dengan berdiam diri (HR. Abu Dawud) supaya menjaga stabilitas wilayah yang dilaluinya. Begitu pula hadits yang diriwayatkan oleh Kaab b. Malik yang menganjurkan pimpinan perang bersama pasukan supaya merahasiakan rencana penyerangan (HR. Bukhori Muslim). Tujuannya adalah agar mendahulukan diplomasi daripada berperang.
Dalam hadits riwayat dari Abdullah b. Abi Aufa yang menceritakan detik-detik perang Hunain, Rasulullah Saw bersabda; “Hai kalian manusia, janganlah kalian berharap (terobsesi) bertemu musuh (di medan tempur). Mintalah selamat kepada Allah. Maka bersabarlah kalian saat bertemu musuh..” (HR. Bukhori dan Muslim)
Berdasarkan hadits-hadits di atas tampaknya tidak dibenarkan mencari mati syahid dengan cara melalukan serangan bunuh diri. Apalagi dalam hadits yang diriwayatkan Baridah: Rasulullah berpesan, “Peranglah dengan nama Allah di jalan Allah, jangan merampas hak musuh, jangan merusak, jangan tiru kebiadaban musuh, jangan membunuh orang tua yang tak berdaya.
..” (HR. Muslim).
Spirit hadits adalah menghindari perang yang salah sasaran, jatuh korban banyak, dan merendahkan martabat lawan. Otomatis seranganan bunuh diri bertolak belakang dengan tuntunan Rasulullah.
Dalam hadits yang lain Rasulullah Saw dan sahabatnya itu menjunjung tinggi patriotisme sebagaimana dijelaskan dalam cerita perang Hunain. Rasulullah bersabda: “Tidak bohong, Akulah Muhammad! Akulah cucy Abdul mutolib”. Hal yang sama juga dilakukan Ali b. Abi Thalib saat perang Khaibar: Inilah Aku yang disebut ibuku dengan nama Haidarah”. (HR. Bukhari muslim). Jadi tidak dibenarkan menyerang lawan dengan sembunyi-sembunyi tanpa terus terang. Apalagi bukan di wilayah perang dan yang diserang bukan lawan.
Terakhir untuk membedakan mati syahid dengan mati sangit, ada satu hadits Rasulullah yang menceritakan salah seorang pasukan Nabi yang gagah berani. Sekujur tubuhnya terdapat banyak luka sayatan maupun tusulan. Tetapi pemuda itu tetap bersemangat menghabisi nyawa lawannya. Sahabat lain yang melihatnya takjub dengan nekadnya pemuda itu sampai akhirnya ia mati di medan laga. Anggaban sahabat bahwa pemuda itu masuk surga. Namun setelah dilaporkan kepada Rasulullah, beliau menjawab: “pemuda itu mati sia-sia” (HR. al-Dailami)