Terus terang saya tidak kenal dan belum sekalipun bertemu langsung dengan orang yang bernama Nur Sugik, atau Gus Nur. Saya hanya mendengar namanya dari para pemuda NU yang melaporkan sepak terjangnya kepada saya. Saya juga tidak pernah dengar langsung ceramah-ceramah agamanya. Saya hanya sempat beberapa kali mendengar ceramahnya yang dipublikasikan di media sosial.
Ceramahnya kebanyakan hanya berisi sumpah serapah yang dialamatkan kepada siapa saja yang tidak dia sukai. Ceramahnya yang menghujat Banser, menyerang kehormatan NU, dan mendiskreditkan pemerintahan RI, khususnya kehormatan Presiden RI. Saya tidak tahu apa motif, niat, di balik ceramah-ceramah agamanya yang emosional, provokatif, tidak beradab, berisi omong kotor, dan saya yakin tidak menenangkan jiwa para pendengarnya.
Untuk mengetahui kekeliruan isi ceramah agamanya yang kasar dan jauh dari sopan santun itu, rasanya tidak perlu memiliki ilmu agama yang cukup mendalam. Lebih-lebih lagi jika yang sempat mendengarkannya adalah orang yang sangat mendalam ilmu agamanya.
Memerhatikan ucapan dan tindak tanduknya saat berceramah saja, kesan bahwa ia bermasalah dengan dirinya sendiri tampak begitu nyata. Sepertinya ia ingin menunjukkan kelebihan-kelebihan dirinya di hadapan para pengagumnya, tetapi sesungguhnya semua itu hanyalah kamuflase untuk menutupi segudang kekurangannya. Arogansinya tampak begitu jelas, tak bisa ditutup-tutup dengan kepura-puraan. Sepertinya ia ingin menutupi keangkuhannya, sedangkan semua orang telah mengetahuinya.
Dalam ceramahnya yang saya dengar dalam sebuah video, ia secara terang-terangan mengaku sebagai mantan maling, mantan preman, tidak bisa baca kitab kuning (berbahasa Arab gundul), tidak pernah mengaji di Pondok Pesantren, tetapi ia yang memberi makan orang yang bisa membaca kitab kuning. Karena menurutnya, yang penting ia merasa telah mendapatkan hidayah dan bisa memberikan manfaat.
Agaknya ia lupa, bahwa sungguh bekalnya untuk terjun di medan dakwah sangatlah jauh dari cukup. Bagaimana tidak? Bacaan al-Qurannya saja tidak fasih, berkali-kali keliru menerjemahkan ayat, apalagi menafsirkannya. Belum lagi kesalahan lain di mana ia meletakkan ayat dan hadis sebagai dalil untuk suatu persoalan yang tidak memiliki relevansi sama sekali. Ia juga mendapatkan protes keras secara langsung dari seorang ibu yang merasa tersinggung karena menyebut para pendukung pak Jokowi dengan sebutan “kecebong”, dan lalu ia minta agar ibu itu membuka Qs. al-Isra’ ayat 176, padahal jumlah ayatnya hanya 111 saja.
Selanjutnya ia pun membacakan ayat yang terdapat dalam surat lainnya dan diterjemahkan dengan sangat keliru serta ditafsirkan dengan penafsiran berdasarkan hawa nafsunya, suatu penafsiran yang sangat menyesatkan. Ayat yang dibacakannya hanyalah dalih pembenaran atas kekeliruan ucapannya untuk tujuan menipu orang-orang awam yang terlanjur menjadi pengagumnya.
Siapa saja yang memberikan jawaban tanpa ilmu, maka ia tersesat dan menyesatkan orang lain. Siapa saja yang menyeru kepada kesesatan maka ia menanggung dosa dan ia juga menanggung dosa orang yang tersesat (karenanya) tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun.
Sudah seharusnya Gus Nur mulai belajar untuk melakukan introspeksi diri, menyadari batas kemampuannya, belajar lebih banyak lagi kepada para ahlinya, merasa malu dan berendah hati kepada para ulama yang sangat mendalam ilmu agamanya dan luas pula wawasan kebangsaannya. Ulama yang sesungguhnya adalah mereka mendalam ilmu agamanya, selalu jujur, cerdas, amanah, menebarkan kedamaian, menghormati perbedaan pandangan, menenteramkan batin manusia, rendah hati di hadapan para pengikutnya dan jauh dari semua sifat yang mengakibatkan rusaknya hubungan persaudaraan antara sesama anak bangsa.