Sebuah kemarahan cenderung mencipta kemarahan-kemarahan baru. Apalagi, jika kemarahan itu, meluap begitu kuat, baik yang terucap melalui kata-kata maupun kemarahan yang hanya bergemuruh di dada.
Sebagai sebuah energi negatif, kemarahan akan mereproduksi langgam kehidupan yang negatif. Relasi sosial menjadi renggang, silaturahmi menjadi putus. Tidak ada lagi canda dan tawa.
Kemarahan mencipta prasangka dan stigma negatif. Tidak ada ruang dialog yang jernih, yang terjadi adalah kekuatan saling “membenarkan diri-sendiri”.
Dan, tahukah kawan, hari-hari ini, di negeri zamrud khatulistiwa ini, kemarahan sedang dipesta-rayakan. Baik kemarahan yang ducap maupun yang disimpan dalam dada. Begitu banyak manusia mengumbar kemarahan.
Di media sosial, misalnya, bahasa kemarahan itu sangat mudah ditemui. Kubu A marah pada kubu B, yang direspon marah juga oleh kubu B. Saling silang sengkarut kemarahan ini tidak menghasilkan apa-apa selain buang-buang energi.
Saling ledek, saling caci, saling kutuk, saling merendahkan dan seterusnya.. Apa untungnya? Ruang dialog yang jernih, faktual, dan bermartabat menguap laksana embun pagi yang punah diterpa mentari.
Sungguh, bangsa yang pemimpin dan rakyatnya sangat gemar mengumbar kemarahan dan menepikan dialog, bangsa itu tinggal menunggu waktu menjemput ajal.
Satu-satunya harapan kebangkitan negeri ini, Indonesia, adalah lahirnya generasi baru yang mencintai dialog dari hati ke hati daripada berprasangka, lebih mencintai fakta dengan jernih ketimbang propaganda menyesatkan. Generasi baru yang di dalam dirinya meluap-luap rasa cinta dan pemaafan, bukan aura kemarahan dan dendam kesumat.
Entahlah, apakah kita sanggup berhijrah dari bangsa pemarah menjadi bangsa yang adil dan beradab? Karena tidak ada keadilan dan keberadaban dalam setiap kemarahan