Bal’am bin Baura dan Tesis Kemunduran Integritas Ulama

Bal’am bin Baura dan Tesis Kemunduran Integritas Ulama

Bal’am bin Baura dan Tesis Kemunduran Integritas Ulama

Syahdan, ada seorang ahli hikmah dari kalangan Bani Israil bernama Bal’am bin Baura. Ia hidup pada akhir masa kerasulan Musa as. Firman Allah dalam Q.s. al-A’raf [7]: 175 oleh beberapa mufasir dinilai merupakan penggambaran dari profilnya.

Allah swt. berfirman (yang artinya), “dan bacakanlah (wahai Muhammad) kepada mereka berita orang yang telah Aku berikan kepadanya ayat-ayat-Ku, kemudian dia melepaskan diri pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat”.

Yang dimaksud “āyātinā” dalam ayat tersebut adalah al-ismu al-a’dzam. Imam At-Thabari menyebut, “wa kāna ‘āliman ya’lamu al-isma al-a’dzama al-maktūm”. Bal’am adalah satu di antara sedikit orang yang mengetahui al-ismu al-a’dzam; nama Allah yang agung. Ia adalah hamba terkasih, orang pilihan.

Akan tetapi, suatu ketika ia menyelisihi jalan kebenaran. Dikisahkan bahwa atas perintah sang raja, Bal’am berdoa kepada Allah agar Nabi Musa dan pengikutnya tidak dapat memasuki kota Balqa, Kanaan. Mulanya ia sadar bahwa tindakannya akan mengundang murka Allah, tetapi lambat laun imannya goyah. Bisikan setan menggerogoti imannya.

Kedatangan Musa bersama pengikutnya ke Balqa adalah dalam rangka menempati kota tersebut. Sang raja yang khawatir singgasananya diduduki lalu meminta Bal’am berdoa untuk keburukan Musa. “Celakalah kamu!” kata Bal’am. Ia tahu bahwa Musa bin Imran adalah utusan Tuhan; bersamanya para malaikat dan orang-orang beriman. Setidaknya dalam hal keimanan, keduanya berada di pihak yang sama. Intinya, Bal’am menyelisihi perintah raja.

Mendengar jawaban itu, raja pun murka. Ia segera menyiapkan tiang salib untuk menghukum sang ahli hikmah. Mengetahui niat sang raja, mental Bal’am menjadi ciut. Imannya mendadak rapuh. Ia segera menyiapkan keledainya untuk dikendarai mendaki bukit, tempat di mana ia dapat melihat perkemahan Bani Israil. Sayangnya, keledai yang ia tunggangi menolak patuh. Bal’am yang hilang kesabaran lalu memukulnya.

Atas izin Allah, keledai itu dapat berbicara dan “mengutuk” perbuatan tuannya. Katanya –sebagaimana dikisahkan Muqatil bin Sulaiman–, di depannya ada malaikat yang memalingkan wajahnya dari jalan yang sedang dituju Bal’am. Kondisi ini menegaskan bahwa tindakan Bal’am sejatinya tidak mendapat restu dari Allah. Meski begitu, ia tetap memilih tunduk pada perintah raja dan melepas jubah kebijaksanannya.

Masyhur disebutkan bahwa Allah akan mengukir setitik noda di hati seorang hamba yang berbuat dosa (nukitat fī qalbihī nuktatun). Noda tersebut akan bersih jika hamba tersebut memohon ampun dan bertobat. Sebaliknya, jika hamba tersebut menolak bertobat dan memilih terus berbuat dosa, Allah akan menambah titik itu hingga menutupi hatinya.

Singkat cerita, Bal’am lantas berdoa. Di sela-sela doanya itu ia sematkan al-ismu al-a’dzam. Doanya pun segera mendapat jawab: Bani Israil gagal menempati Kota Balqa. Kegagalan itu membuat Nabi Musa penasaran. Sebelum mengembuskan napas terakhir, sang Nabi mengajukan tanya kepada Tuhannya tentang apa sebab di balik kegagalan tersebut.

Pahamlah Nabi Musa bahwa semua kejadian yang menimpa ia dan kaumnya adalah disebabkan doa Bal’am. Nabi Musa lalu memunajatkan doa agar Bal’am mendapat balasan setimpal atas perbuatannya. Allah menjawab doa Nabi Musa dengan melucuti ilmu dan iman Bal’am, sehingga ia wafat dalam keadaan sesat dan tergolong ahli neraka.

Allah mengibaratkan tindakan Bal’am seperti seekor anjing (kamatsali al-kalbi). Selayaknya seekor anjing, segala tindakannya didasarkan pada keinginan untuk mendapatkan makanan atau kepuasan. Dengan perumpamaan ini, Allah hendak memperingatkan ke siapa saja yang mengikuti jejak Bal’am –yakni mereka yang menanggalkan iman lalu condong kepada hawa nafsu—tak ubahnya seperti anjing.

Ulama dan Kekuasaan

Kisah Bal’am bin Baura dan Nabi Musa tersebut di atas adalah implikasi negatif yang timbul ketika seorang ulama terlalu dekat dengan kekuasaan. Bal’am, dalam konteks ini, terjebak di dalam gemerlap panggung kekuasaan dan melupakan posisinya sebagai seorang ahli hikmah dan/atau aktor intelektual yang mesti memperjuangkan kebenaran alih-alih kepentingan penguasa.

Jauh sesudah itu, pengalaman umat Islam menunjukkan bahwa aliansi ulama dan kekuasaan menjadi akar pokok kemunduran Islam yang terjadi sejak abad ke-11. Kedekatan –untuk tidak menyebut ketundukan—pada kekuasaan membuat banyak ulama menjadi tidak independen, tidak berani bersuara kritis, dan tidak mampu melahirkan ide-ide kreatif. Aliansi ini, kata Ahmet T. Kuru, mula-mula menyebabkan umat Islam mengalami stagnansi intelektual, lalu mewujud menjadi otoritarianisme, dan berujung pada kemunduran peradaban Islam.

Harus diakui bahwa ada perbedaan menyangkut detail tindakan Bal’am dengan tesis Kuru. Meskipun begitu, ada benang merah yang menghubungkan keduanya. Pertama, kedekatan ulama/intelektual ke kekuasaan berpotensi membuat mereka terlena. Kedua, pilihan untuk menjauh dari kekuasaan berpotensi membuat ulama/intelektual mengalami persekusi.

Di tengah situasi tersebut, dibutuhkan jalan alternatif yang menghindarkan ulama/intelektual menjadi “anjing” kekuasaan dan pada saat yang sama membuat suara mereka punya daya tawar di lingkaran kekuasaan. Pemisahan ulama-kekuasaan dalam konteks ini juga bukan pilihan yang tepat.

Rekomendasi dari Kuru, “Muslim memerlukan kaum intelektual yang kreatif dan borjuasi independen, yang dapat mengimbangi kekuasaan otoritas ulama dan negara” (h. 411). Barangkali, hanya dengan jalan inilah ulama/intelektual dapat menggemakan suara kebenaran dan keadilan tanpa harus khawatir dipersekusi.