Ketupat adalah sesuatu yang melekat dalam perlambangan Hari Raya Idhul Fitri di Indonesia. Makanan ini menjadi tanda khusus bagi Idhul Fitri dan tidak ditemukan simbol ini pada perayaan keagamaan apapun. Ketupat bukan makanan yang disyariatkan dalam perayaan hari raya, sehingga ia juga termasuk dalam golongan bid’ah.
Selain tergolong bid’ah ketupat juga lebih banyak madharat-nya ketimbang manfaatnya dari sisi efektivitas, nasi putih terbilang cepat dalam proses dan penyajian ketimbang ketupat yang melalui proses panjang dan sulit pra dan pascaproduksi. Belum lagi dalam penyajiannya untuk dihidangkan yang harus mengupas dahulu, kurang begitu efisien.
Tetapi inilah tradisi atau turats, yang telah melegenda sejak ratusan tahun silam, dalam terminology Hassan Hanafi bisa disebut turats qadim (tradisi lama). Ketupat tidak hanya dipandang dari sisi efektivitas dan perlambangan semata, melainkan memiliki bahasa nonverbal yang cukup mendalam. Bahkan jika diurai satu persatu makna dari perlambangan ini, semuanya bagiannya akan berbicara mewakili entitas atau kondisi tertentu, bahkan satu part bisa multitafsir.
Ketupat merupakan perlambangan dari sikap ksatria yang mencoba ditanamkan kepada masyarakat Islam Indonesia oleh para leluluhurnya. Konon Sunan Kalijaga merupakan orang yang paling bertanggungjawab atas ketupat dan tradisi yang terikat didalamnya. Ketupat atau kupat dalam Bahasa Jawa merupakan bentuk akronim dari ngaku lepat (mengaku bersalah). Para pendahulu mengajak untuk selalu bersikap ksatria dengan mengakui kesalahan yang dilakukan dan kemudian meminta maaf kepada orang yang disalahi.
Sikap ksatria ini merupakan resolusi konflik paling awal sekaligus ujung dari dialektika konflik, baik konflik personal maupun intrapersonal. Ketika individu yang berkonflik telah mencapai pada kesadaran ngaku lepat, dan kemudian meminta maaf untuk mengakhiri konflik, maka dinamika konflik mencapai ide absolut dalam bahasa Hegel.
Meski demikian, orang yang bersikap ksatria sebagaimana makna dari ketupat ini nampaknya belum terlalu kuat muncul. Budaya saling menyalahkan dan saling mencari pembenaran terus saja terjadi. Demikian juga tradisi minta maaf saat lebaran, hanya berlaku formalitas tanpa disertai dengan kesadaran penuh ngaku lepat. Sebagian lain bahkan cukup berpuas silaturahmi maaf hanya melalui broadcast pesan di media sosial, yang parahnya merupakan copy paste.
Proses ngaku lepat harus didasari dengan kesadaran penuh. Sebab ketupat terbuat dari janur kelapa, dimana makna filosofis yang terkandung dalam terminology janur adalah jatining nur atau hati nurani. Permintaan maaf yang disampaikan harus didasari dari hati nurani dan tentu pertaubatan untuk tidak kembali melakukan pengulangan terhadap kesalahan.
Bentuk ketupat dari daun kelapa yang dianyam juga merupakan perlambangan dari eratnya persaudaraan antar sesama, dimana satu sama lain saling menguatkan dan menutupi untuk mencapai kesempurnaan. Anyaman ketupat melambangkan kesalehan kolektif. Dari sini pula budaya silaturahmi dari rumah ke rumah untuk ngaku lepat memiliki korelasi. Menjaga kesalehan sosial melalui peningkatan silaturahmi. Dengan tingkat silaturahmi yang tinggi dan sifat ksatria, maka tidak lagi konflik mudah tersulut, apalagi dalam skala besar.
Jika beras (nasi) dilambangkan sebagai nafsu duniawi, maka janur kelapa adalah jatining nur atau hati nurani. Nafsu duniawi harus mampu dibungkus dengan hati nurani sehingga dapat dikendalikan. Tidak menebar keinginan yang tidak didasari norma dan etika. Bentuk ketupat yang segiempat dengan ujung juga memberi makna filosofis jawa yang dikenal kiblat papat kalimo pancer, dimana makna yang terkandung didalamnya sangat mendalam.
Jika menggunakan teori psikodinamika konflik sebagaimana yang diutarakan Sigmund Freud, maka nafsu duniawi adalah bentuk ide, yang akan dilakukan dalam bentuk tindak kejahatan (ego). Janur ketupat sebagai nurani adalah superego yang diibaratkan orang tua yang menasehati anaknya agar tidak melakukan ide (nafsu dunia) dan memaksakan ego (tindakan strategis dari ide).
Kembali ke turats qadim, sejak Abad ke-15, tepatnya di zaman Kerajaan Demak, hampir seluruh wilayah kerajaan ini memiliki budaya bodho kupat. Yakni, perayaan pesta ketupat pada hari ketujuh bulan syawal. Tradisi ini masih tertanam hingga sekarang. Maka dari itu, jika di banyak tempat ketupat disajikan pada hari pertama Idhul Fitri, maka masyarakat eks-Kerajaan Demak menyanjikan ketupat pada hari ketujuh.
Dalam ajaran Islam, setelah hari pertama Idhul Fitri, disunahkan puasa syawal selama 6 hari. Jika hari pertama merupakan hari tasyrik (larangan berpuasa), maka enam hari berikutnya dilakukan puasa sunah, sehingga pada hari ketujuh Idhul Fitri merupakan kemenangan dari puasa wajib dan puasa sunah sehingga digelarlah bakdo ketupat. Sebuah ungkapan kemenangan hal yang wajib dan yang sunah, kemenangan teologis seseorang dalam menguji daya tahan lapar haus serta pengendalian hawa nafsu.
Dengan demikian, tentu saja bid’ahnya ketupat bukan berarti bid’ah yang buruk, melainkan bid’ah hasanah yang penuh dengan berkah dan pembelajaran. Tidak berarti tidak efektif karena didalam mencari pembelajaran dibutuhkan perjuangan. Ketupat dan hal lain yang mengikatnya adalah pembelajaran penting dari penanaman tradisi berbasis teologi. Dan sebongkah ketupat mampu menyajikan perdamaian bagi penyelesaian konflik dan perwujudan perdamaian. []
Abaz Zahrotien, Alumni Studi Agama dan Resolusi Konflik, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta