Beribadah merupakan kebutuhan manusia sebagai makhluk Allah. Beribadah merupakan rasa syukur manusia atas berjuta kenikmatan yang telah diberikan kepadanya. Sungguh tak layak bagi manusia meninggalkannya.
Selain wujud rasa syukur kita kepada Allah Sang Pencipta, ibadah juga mempunyai nilai pahala yang kelak akan dinikmati di akhirat nanti. Pahala yang didapat pun tidak sebanding dengan nikmat yang ada di dunia ini. Maka dari itu, manusia dituntut untuk memaksimalkan ibadah di dunia demi memperoleh kebahagiaan di akhirat nanti.
Akan tetapi, memaksimalkan ibadah tidak berarti berlebihan dan boros dalam beribadah. Maksud ‘Beribadah’ di sini tentunya beribadah yang berdimensi vertikal, yang berkaitan langsung dengan Allah swt. Seperti salat, puasa, dan lainnya. Dengan kata lain beribadah di sini berhubungan dengan pemenuhan hak Allah saja.
Nabi Muhammad menuntun umatnya untuk memenuhi hak atas segala hal yang berkaitan dengannya. Riwayat dari Imam Bukhari, Wahb bin Abdullah berkata, “Nabi Muhammad telah mempersaudarakan Salman dan Abu Darda’. Suatu ketika Salman berkunjung kerumahnya. Pada saat berada di sana, Salman melihat Ummu Darda’ memakai pakaian harian yang lusuh. Lalu Salman bertanya, “Bagaimana keadaanmu?” Lalu Ummu Darda’ menjawab, “Abu Darda’, saudaramu itu, tidak ada keinginan duniawi sama sekali”.
Tak berselang lama, Abu Darda’ datang. Kemudian Abu Darda’ membuatkan makanan kepada Salman. Setelah itu Abu Darda’ berkata, “Makanlah! Aku puasa.”
“Aku tidak akan makan sehingga kamu ikut makan,” Salman menanggapi. Akhirnya Abu Darda’ ikut makan.
Ketika sudah beranjak malam, Abu Darda’ hendak melaksanakan ibadah. Lalu Salman lekas meresponnya, “Tidurlah!” Abu Darda’ pun mengiyakan. Setelah agak lama, Abu Darda’ bangun untuk beribadah yang terunda itu. Lalu Salman menyuruh untuk tidur lagi, dan Abu Darda’ pun menuruti perintah saudaranya itu.
Setelah berada di penghujung malam, Salman berkata, “Sekarang bangunlah, mari salat bersama”. “Sesungguhnya Tuhanmu mempunyai hak atas dirimu, dan tubuhmu juga mempunyai hak atas dirimu, keluargamu juga mempunyai hak yang sama atas dirimu. Maka berikanlah hak-hak itu secara merata.”. kemudian Abu Darda’ mendatangi Nabi dan menceritakan apa yang telah dialaminya dengan Salman. “Benar apa kata Salman,” jawab Nabi.
Baca juga: Pesan Rasulullah SAW yang Membuat Sahabatnya Menangis
Menurut Syekh Wahbah dalam kitab Akhlaq al-Muslim Alaqatuhu bi al-Khaliq, Agama Islam adalah agama yang sedang dan tidak berlebih-lebihan. Segala sesuatu yang bersifat sunnah (tidak wajib dilakukan) boleh saja ditinggalkan atau ditunda ketika mengakibatkan akan terabaikannya kepentingan kehidupan. Entah itu berhubungan dengan diri sendiri atau berhungan dengan orang lain.
Hadis ini juga diperkuat dengan hadis yang mencerikatan Bahwa Handzalah, sang juru tulis Nabi Muhammad. Ketika itu, Handzalah mengeluhkan ketika bersama Nabi Muhammad, dia mengingat surga dan neraka nampak seakan-akan melihat dengan mata telanjang. Tapi ketika sudah berkumpul dengan anak, keluarga, dan pekerjaan, dia lupa dengan hal-hal itu. Lalu Nabi memberi nasihat “Sa’atan wa sa’atan.” Nabi mengulang kalimat tersebut tiga kali.
Maksud dari kalimat tersebut adalah ‘ada saatnya untuk beribadah, ada saatnya untuk menunaikan kebutuhan manusia. Entah itu makan, minum, hiburan yang diperbolehkan’. Karena Islam adalah agama fitrah dan realistis. Bersifat sedang dan moderat, yang dapat mengumpulkan antara tuntutan jiwa dan raga, dan antara kemaslahatan dunia dan akhirat.
Selain itu, ada riwayat hadis lain yang meceritakan bahwa beribadah pun tidak perlu dipaksakan. Beribadah seharusnya dilakukan sesuai kemampuannya. Dalam arti, melaksanakan ibadah yang tidak memberatkan untuk dirinya.
Riwayat di Sayyidah ‘Aisyah, bahwa Nabi Muhammad masuk ke dalam ruangannya. Sementara di dalamnya ada seorang perempuan. Lalu Nabi Muhammad bertanya, “Siapa ini?”. ‘Aisyah ra. Menjawab, “Dia ini adalah fulanah yang menceritakan tentang salatnya. Lalu Nabi Muhammad merespon, “Jangan begitu, kerjakan apa yang kamu sanggupi. Demi Allah, Allah tidak akan bosan sehingga kalian merasa bosan. Sungguh beragama yang disukai-Nya adalah sesuatu yang dilakukan secara kontinyu.”
Syekh Wahbah Zuhaili memberi komentar terhadap hadis ini, bahwa Allah tidak akan memutus pahala dan balasan dari perbuatan hamba-Nya. Dengan catatan, hamba tersebut melakukan sesuatu yang tidak membosankan. Jika melakukan hal yang membosankan, lantas hamba tersebut merasa bosan, akhirnya meninggalkannya. “Sebaikanya kalian mengerjakan amal yang kalian sanggupi yang bersifat kontinyu, sehingga pahala dan keutamaan akan mengalir terus menerus tanpa henti,” begitu kata Syekh Wahbah.
Baca juga: Kisah Cinta Salman Ditikung Abu Darda
Menurut Syekh Wahbah, hadis ini menunjukkan 3 hal. Pertama, melakukan ibadah secara sedang-sedang saja. Maksudnya tidak berlebih-lebihan dan tidak boros. Kedua, terlalu banyak beribadah merupakan suatu hal yang tidak baik, karena dapat borpotensi menimbulkan rasa penat dan bosan. Ketiga, amal ibadah yang paling disuka Allah adalah amal yang dilakukan secara terus-menerus, meskipun amal tersebut tak seberapa.
Dari paparan hadis di atas bisa diambil kesimpulan, bahwa manusia tidak dituntut untuk melaksanan ibadah secara berlebihan, sehingga menghabiskan seluruh waktu di hidupnya. Beribadah merupakan amal baik yang tentu seharusnya dipenuhi. Tetapi dengan catatan, tak lupa bahwa hamba Allah juga sebagai pribadi yang mempunyai hak dan kewajiban horizontal, baik itu kepada masyarakat, keluarga, bahkan dirinya sendiri. (AN)
Wallahu a’lam.