Persebaran virus Corona di penjuru dunia meruntuhkan egoisme manusia. Ribuan orang meninggal dunia dari berbagai negara, tidak peduli negara kaya atau miskin, negara modern ataupun berkembang. Semuanya mengalami kesulitan menghadapi ancaman mematikan dari Covid-19. Seluruh dunia sedang berduka, alam raya sedang mengalami transisi menuju keseimbangan.
Di berbagai negara, kita bisa menyimak info kematian yang bertubi-tubi. Di China, Italia, Iran, Spanyol, Amerika Serikat, hingga India. Begitu juga dengan Indonesia: kabar duka kita terima dari beranda rumah, dari beranda media sosial. Tiba-tiba, kita kehilangan orang-orang yang kita kenal secara dekat, orang-orang baik yang selama ini berada di lingkaran sosial.
Kabar duka juga disusul dengan kesulitan ekonomi, yang memukul warga kecil. Efek kebijakan social/physical distancing, mendorong orang-orang agar diam #dirumahaja. Sekolah ditutup, ibadah dari rumah, jumatan ditiadakan, taman-taman bermain digembok. Maka, pelambatan ekonomi terjadi secara mutlak. Warga Indonesia merasakan betul, bagaimana sulitnya bekerja di tengah krisis akibat serangan virus.
Efek kejut virus Corona semakin mengkhawatirkan di media sosial. Di antara perbincangan tentang penanganan medis, perlindungan diri, cara bertahan di tengah kelesuan ekonomi, serta proses membangun solidaritas sosial, kita menemukan gelombang kebencian terhadap orang-orang China. Arus kebencian ini menumpangi pemberitaan yang membanjiri kita tentang pandemi Covid-19.
Ironisnya, arus kebencian ini merata di berbagai negara. Kebencian yang berkelindan dengan kebingungan menghadapi Covid-19. Ditambah lagi, platform diskusi media sosial yang terbanjiri oleh postingan-postingan kebencian dari mereka yang gelap mata, miskin nurani.
Sebagaimana kita ketahui, virus Corona pertama kali muncul di Wuhan, China. Desember 2019 menjadi ingatan kelabu bagi warga Wuhan, yang ditutup total oleh pemerintah China untuk penanganan medis sangat cepat. Beberapa teman saya yang kebetulan kuliah dan berdomisili di Wuhan menceritakan detail hari demi hari selama proses karantina.
Cerita getir yang menyeret tangis pilu. Sebagian warga Indonesia yang terjebak di Wuhan, kemudian dibawa pulang pemerintah Indonesia dengan fasilitas militer, serta mendapatkan perawatan intensif di Pulau Natuna. Saat ini, beberapa teman yang menjadi saksi sejarah karantina Wuhan, sudah kembali ke keluarganya.
Meski virus Corona tidak mengenal ras dan negara, nyatanya kebencian terhadap China tidak memudar. Pada kisaran Januari-Maret 2020, beredar banyak sekali postingan dari media sosial yang menyudutkan China, menebar kebencian terhadap orang Tionghoa.
Di Jepang, beredar hastag #ChineseDon’tComeToJapan yang trending di Twitter. Di Korea Selatan, Hongkong dan Vietnam ditemui beberapa peringatan bahwa konsumen dari China tidak boleh masuk. Di Singapura, 10.000 warganya mengajukan petisi online agar pemerintah menolak warga China masuk ke negeri itu.
Sementara, di Prancis, media-media menggunakan tajuk “yellow alert” untuk menyebarkan ancaman terhadap orang-orang China. Dalam hal ini, ‘yellow allert’ dimaksudkan terhadap orang-orang China yang dianggap sebagai penyebar virus Corona.
Saya bisa merasakan betul bagaimana kebencian terhadap orang China terjadi di tengah pandemi. Di Southampton, kota tempat tinggal saya selama di United Kingdom, pelajar-pelajar dari China mengalami serangan psikologis selama pemberitaan Covid-19 meluas.
Bahkan, pernah terjadi sebuah insiden pelajar China diserang dengan makian dan kecaman. Tentu saja, hal itu menambah kecemasan bagi pelajar-pelajar China di UK. Polisi kemudian bergerak cepat, dengan mengamankan pelaku serangan etnis. Pemerintah Inggris sangat konsern dengan isu xenophobia dan anti-China, karena ratusan ribu mahasiswa China belajar di UK. Jumlah mahasiswa China di United Kingdom paling besar, jika dibandingkan dengan prosentase mahasiswa internasional.
Di Indonesia, sentimen dan kebencian terhadap orang-orang Tionghoa meluas di tengah merebaknya Covid-19. Memori kebencian ini dibangkitkan oleh kepanikan, kekeliruan pemahaman, serta aneka rupa hoax yang beredar tanpa batas.
Bahkan, sempat beredar pesan berantai melalui whatsapp untuk membuang handphone produk China. “Buang handphone merek Xiaomi, karena diduga menyebarkan virus Corona,” demikian broadcast yang menjadi viral diperbincangkan di media sosial.
Arus kebencian ini memancing memori gelap betapa orang-orang Tionghoa mengalami persekusi dan diskriminasi sepanjang sejarah Indoensia. Pada masa kolonial Belanda, masa pergerakan kemerdekaan, hingga kekuasaan Orde Baru, serta puncak krisis pada 1998. Sentimen anti-China seakan mudah dibangkitkan sebagai kambing hitam.
Kebencian di media sosial tidak kalah berbahaya dari virus Corona. Sentimen rasial dan kepongahan dalam memahami pandemi, turut mengancam ketahanan tubuh warga Indonesia. Kita telah melihat teman-teman di lingkaran sosial tumbang karena Covid-19. Menjernihkan pikiran dan hati juga penting agar tubuh kita lebih fresh, lebih siap bertarung melawan virus.
Jangan sampai ketahanan tubuh dan kekuataan imun dan iman kita, hancur lebur digerogoti kebencian. Jangan sampai kemanusiaan tumbang karena kesalahpahaman dan kengeyelan