Dari ribuan ahli sufi yang ada di muka bumi, hanya beberapa saja yang namanya mungkin sering kita dengar. Di antaranya adalah Jalaluddin Rumi, Abdul Qadir al-Jailani, Abu Hamid al-Ghazali, Abul Hasan asy-Syazili, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i bin Idris, Ahmad bin Hanbal, al-Hallaj, Ibnu Arabi, Ibnu Athaillah, Junaid al-Bagdadi, Abul Hasan al-Mawardi, dan lain sebagainya. Mereka adalah para sufi yang masyhur namanya, sebab Allah Swt. telah menganugerahi mereka hikmah dan keutamaan. Berbeda dengan Bahauddin An-Naqsyabandi yang agak asing di telinga bahkan jarang kita jumpai.
Padahal, dalam sejarah Islam, nama Bahauddin An-Naqsyabandi dapatlah disejajarkan dengan nama-nama tenar semacam al-Junaid, al-Bisri, al-Jailani, dan al-Ghazali. Pasalnya, ia termasuk ulama sufi garda depan. Tarekat Naqsabandiyah (tarekat yang didirikannya) termasuk salah satu tarekat yang paling berpengaruh di kawasan Asia dan Afrika. Tak pelak dan tentu menarik menyimak biografi hidup dari sang sufi ternama ini.
Bahauddin An-Naqsyabandi adalah nama populernya. Nama aslinya Bahauddin Muhammad bin Muhammad al-Uwaisy al-Nukhari al-Bukhari an-Naqsabandi. la lahir di Qasrel Arifan, sebuah desa di kawasan Bukhara, Asia Tengah, pada bulan Muharam tahun 717 Hijriah atau April 1317 Masehi. Wafat 791 Hijriah atau 1389 Masehi dalam usia 74 tahun, dan dimakamkan di tanah kelahirannya, Qasrel Arifan, Bukhara. Nasabnya bersambung kepada Nabi Muhammad Saw. melalui cucunya, yaitu Sayidina Husein Ra. Lalu mengapa ia di panggil An-Naqsabandi?.
Ada banyak alasan mengapa gelar ini melekat di belakang namanya. Yang jelas gelar ini melekat karena ia mampu menempa dan mengukir sifat keutamaan dan kebaikan pada hati setiap orang. Dengan kata lain, ia dinilai sebagai seorang manusia suci yang mampu membimbing orang lain untuk meniti jalan kebaikan dan kemuliaan. Sementara alasan kedua karena konon di dadanya terukir Lafdzul Jalalah (Allah) yang bercahaya.
Syahdan, Bukhara lagi-lagi menjadi lingkungan yang amat kondusif bagi para pecinta ilmu. Di kota kecil ini, An-Naqsabandi mulai meniti jalan keilmuannya. Semula, ia hanya berguru kepada para ulama di daerahnya untuk belajar ilmu-ilmu syariat. Namun, menginjak usia remaja, ia mulai berani mengembara ke daerah-daerah lain untuk menimba ilmu dari para ulama besar. Di antara ulama yang menjadi gurunya adalah Muhammad Baba as-Sammasi, Amir Sayid al-Kulali, dan Arif ad-Dikarani.
Arif ad-Dikarani boleh jadi merupakan guru terbesar bagi An-Naqsyabandi. Sebab, darinya ia mendapat khirqah kesufian. Pada waktu menerima khirqah kesufian, ia berusia sekitar 30 tahun. Kemudian, ia berangkat menuju Samarkand untuk bekerja di Istana Sultan Khalil, tepatnya sebagai penasihat bidang keagamaan. Tugas ini dilaksanakannya secara baik selama lebih dari dua belas tahun. Namun, ia belum dapat menemukan kebahagiaan sejati, sekalipun jabatannya cukup penting.
Untuk menemukan kebahagiaan sejati, ia memutuskan untuk meninggalkan Samarkand dan menetap di Zewartun. Di tempat inilah ia mulai menjalani kehidupan sufistiknya (mewarnai kehidupannya dengan kezuhudan total). Selama 14 tahun ia membaktikan diri dalam pelayanan sosial, menolong orang tidak mampu, dan membimbing mereka untuk bertakarub kepada Allah Swt. Dalam waktu relatif singkat, ia sudah berhasil memperoleh banyak pengikut, yang kebanyakan berasal dari kalangan kelas bawah.
Meski telah mulai menemukan kebahagiaannya, An-Naqsyabandi kemudian pulang ke kampung halamannya di Qasrel Arifan. Tidak ditemukan informasi ihwal alasan di balik keputusannya kembali ke sana. Yang jelas, ia kemudian mendirikan pesantren dan membangun ribath untuk tarekatnya. Murid dan pengikutnya berdatangan dari berbagai penjuru negeri untuk bergabung dalam tarekat An-Naqsyabandiyah. Sejak itu pula, ia dikukuhkan sebagai Syekh Kamil (mursyid) dalam tarekatnya itu. (AN)