Dr. Phil. Syafiq Hasyim menyebut jika komitmen negara terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah senafas dengan gagasan nir-diskriminasi yang diperjuangkan Nahdlatul Ulama.
“NU sejak dari awal sudah mempunyai komitmen yang serupa dengan negara dalam bentuk larangan penggunaan kata ‘kafir’ dalam merujuk orang non-Islam dalam konteks kehidupan sehari-hari,” kata Syafiq (25/01) dalam seminar internasional yang digelar International NGO Forum on Indonesian Development (INFID).
Bersama Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, seminar internasional INFID bertajuk Building International Cooperation to Reinforce Commitments and Practices of Islam as Rahmatan lil ‘Alamin berlangsung selama tiga hari (25-27/01/2022). Kegiatan ini juga didukung oleh KBRI di Pakistan, Tunisia, dan Malaysia. Seminar ini diikuti oleh sekitar 500 peserta dari berbagai negara.
Menurut Syafiq, pelarangan penggunaan term ‘kafir’ tersebut merupakan salah satu upaya pencegahan NU terhadap diskriminasi terhadap umat non-Islam. Lebih lanjut, dia mengingatkan bahwa meskipun Indonesia sudah berkomitmen terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan lewat berbagai kebijakan dan undang-undangnya, pada kenyataannya penistaan dan diskriminasi terhadap umat minoritas seperti Ahmadiyah, para penghayat agama lokal, dan umat minoritas lainnya masih saja terjadi.
“Islam sendiri tidaklah heterogen. Banyak aliran-aliran muncul dalam Islam. Untuk menyikapinya, sikap toleransi sangat dibutuhkan,” ujar Wakil Ketua Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama ini.
“NU sangat mendukung adanya diskusi antar kelompok agama di Indonesia. Dalam prinsipnya, NU lebih mengutamakan maslahat bersama daripada kepentingan kelompok sendiri. Negara juga perlu hadir dengan prinsip kesetaraan dalam pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara. Tidak ada tindakan diskriminasi dalam bentuk apapun yang mengacu pada latar belakang agama seseorang. Semuanya sama di mata hukum,” imbuhnya.
Sementara itu, Dr. Husnul Amin dari International Islam University Islamabad, Pakistan menjelaskan dinamika cendikiawan muslim Pakistan dengan pemikiran pembaruan mereka terhadap ajaran Islam.
“Misalnya, Javed Ahmad Ghamidi adalah seorang ex-islamist yang sempat hidup dalam pengasingan selama beberapa tahun di Malaysia. Ghamidi merupakan tokoh pembaruan Islam di Pakistan. Di antara pemikirannya yang paling fenomenal adalah terkait konsep Jihad,” jelas Husnul Amin.
“Jihad (perang) sebagaimana yang dipraktikkan pada masa Nabi Muhammad menurut Ghamidi tidak bisa lagi dipraktikkan dalam konteks saat ini. Praktek jihad yang bisa dilakukan oleh masyarakat muslim saat ini adalah jihad melawan persekusi yang dilakukan oleh sekelompok orang (termasuk kelompok muslim), dengan mengatasnamakan agama, yang melarang kelompok lain untuk menjalankan praktek ibadah sesuai yang mereka yakini,” tambahnya.
Masih dalam forum yang sama, Prof. Dr. Ruhaini (Tenaga Ahli KSP/Aktivis Muhammadiyah) menjelaskan hubungan agama dan negara dalam konteks Indonesia.
“Perbedaan agama di Indonesia merupakan sebuah keragaman solid yang justru sangat dihargai dan perlu dirayakan,” tegas Dzuhayatin.
Lebih lanjut, Dzuhayatin mengatakan bahwa Islam menjadi faktor pemersatu dan pengintegrasi moderasi agama untuk Indonesia yang sangat beragam dan plural.
Mewakili Ennahda Party (Tunisia), Dr. Ahmed Gaaloul membahas konsep kebebasan dari sudut pandang Islam. Gaaloul menyinggung terkait persoalan kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia.
“Ayat yang menyebutkan tidak ada paksaan dalam beragama pada dasarnya merupakan konsep mendasar urusan kebebasan beragama,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa inti dari kebebasan beragama adalah menjamin setiap individu untuk mendapatkan haknya dalam memeluk agama yang diyakini.
“Hal ini juga merupakan salah satu konsep dasar dalam Maqashid Syari’ah,” pungkasnya.