Tidak semua persoalan yang kita hadapi sekarang ini, ada pada zaman Nabi Muhammad Saw. Seperti, persoalan tes DNA, kita hidup di negara bangsa, demonstrasi berjilid-jilid seperti yang dilakukan GNPF MUI, mendengar ngaji lewat kaset rekaman, persoalan sholat di pesawat terbang dan kereta api, komunikasi via WA-telegram-tweeter, dan berbagai persoalan lain.
Persoalan-persoalan baru seperti itu akan terus muncul dan senantiasa berkembang, seiring dengan perkembangan budaya, politik, ekonomi, dan peradaban umat manusia. Perkembangan-perkembangan ini membawa implikasi pertanyaan: bagaimanakah akhirnya kita memahami wawasan tentang “Islam telah sempurna”, seperti yang selama ini dikenal di dalam tradisi Islam?
Dalam soal-soal ini, Gus Dur juga ikut membicarakannya ketika menjabarkan ayat: “Hari ini telah kusempurnakan nikmatku untukmu, kemudian telah kurelakan Islam sebagai agamamu (QS. Al-Maidah ayat 3). Menurutnya, “Di dalamnya sama sekali tidak ada anggapan merendahkan agama lain. Kan berbicara tentang Islam. Lalu Islam itu menjadi bagian dari pengalaman kemanusiaan kita.
Tetapi itu tak jarang digunakan untuk menggempur kepercayaan atau keyakinan lain”; dan “Agama Islam itu memiliki prinsip-prinisp untuk mengatasi masalah- maasalah yang dihadapi oleh umat manusia. Karena itu maka telah kuberikan nikmat kepada kalian. Dan karena telah mendapat nikmat seperti itu, (maka) kurelakan Islam sebagai agama kalian (Pradjarto Dirdjosanjoto, Nick T Wiratmoko, Widya P Sedyanto-ed., 90 Menit bersama Gus Dur, hlm. 11).
Menurut Gus Dur, Islam yang telah sempurna itu, bermakna bahwa Islam itu memberikan prinsip-prinsip untuk merespon persoalan-persoalan di dunia ini dalam berbagai hal, dan tentunya juga membicarakan masalah-masalah yang berdimensi dunia akhirat, lahir dan batin, di samping membicarakan pokok-pokok penting masalah yang menjadi konsen di dalam agama Islam; bukan bermakna Islam membicarakan semua hal ke tingkat yang paling detil tentang masalah-masalah di dunia ini.
Prinsip-prinsip itu dapat ditemukan dari berbagai ayat Al-Qur’an, sunnah, tradisi yang dilakukan para sahabat Nabi, dan ijtihad yang telah dikemukakan para ulama. Salah satu prinsip Islam untuk melihat dan bersikap-merespon dunia sosial yang sering dikemukakan Gus Dur adalah at-tawasuth, pertengahan, yang diambil dari khairul umur ausathuha.
Penjelasan Gus Dur tentang ayat ini, relevan untuk memberikan makna dan peran Islam di dalam kehidupan yang terus berubah ini. Penjelasan demikian tidaklah menyendiri, karena memiliki fondasinya di dalam tafsir tentang ayat itu di kalangan mufassir masa lalu. Menurut Abu Hayyan al-Andalusi dalam al- Bahrul Muhith (Juz III: 441), makna ayat itu terdapat beberapa pendapat:
Pendapat terbanyak menyebutkan bahwa ayat itu memperjelas keagungan kewajiban-kewajiban agama, haram dan halanya. Mereka ini berkata: “Setelah itu (masih) diturunkan ayat-ayat Al-Qur’an yang banyak, seperti ayat riba, ayat kalalah, dan selainnya. Sesunggguhnya sempurnanya keagungan agama dan haji, yaitu apabila mereka berhaji dan tidak disertai orang-orang musyrik dalam ibadah mereka itu. Pendapat ini memberikan makna izharu azhami faraidhil Islam.
Pendapat berikutnya, menyatakan bahwa ayat ini mengandung pelajaran halal-haram, dan persetujuan atas syariah, prinsip-prinsip qiyas, dan prinsip-prinsip ijtihad. Menurut Abu Hayyan ini pendapat Ibnu Abbas dan as-Suddi. Pendapat ini, menitikberatkan pada aspek ta’lim dari Islam yang diturunkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad untuk diterapkan dalam kehidupan.
Pendapat Qatadah dan Ibnu Jubair, menitikberatkan pada konteks kasusnya, yaitu kesempurnaan yang dimaksud adalah dengan dihilangkannya orang musyrik dari Baitil Haram (dalam hal ikut melaksanakan haji), dan orang musyrik tidak melakukan haji.
Yang lain, pendapat Imam asy-Sya’bi menyatakan soal sempurnanya kemulian agama dan kejelasannya, rendahnya syirik dan pelajaran-pelajarannya, yang meletakkan kemuliaan Islam, yang dioposisikan dengan kesyirikan. Sementara, sebagian pendapat, ada juga yang menyatakan “kesempurnaannya itu karena (Islam) aman dari penghapusan setelah itu”, yang mentikberatkan pada kelanggengan Islam yang tidak akan dihapus oleh Alloh.
Dalam beberapa penafsiran lain, ayat ini dihubungkan dengan Haji Akbar, karena menurut Tafsir Durrul Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur karangan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, yang menukil riwayat-riwayat tafsir menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan memang ketika Hari Arafah, tepat pada hari Jumat (Durrul Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur, V: 183).
Dengan begitu, tampaklah bahwa kesempurnaan Islam itu, tidaklah bermakna: Islam menjelaskan sampai ke detil-detil semua kasus, dan dari sini pendapat yang menyatakan bahwa Islam menyediakan prinsip-prinsip berijtihad dan prinsip-prinsip qiyas dalam melihat dunia untuk melakukan kreativitas, yang merupakan aspek ta’lim yang bisa dipetik dari Islam untuk merespon keadaan, merupakan bagian dari kesempurnaan Islam. Maka, penjelasan Gus Dur tentang ayat ini menjadi relevan, karena Islam menyediakan-prinsip hidup yang bisa digunakan untuk merespon persoalan-persoalan yang ada dan terus berkembang.
Penjelasan Gus Dur itu juga menjadi semakin relevan, apabila kita melihat riwayat soal ayat ini berkaitan dengan sahabat Umar, yaitu: “Ketika ayat ini (al-yauma…) turun, dan itu terjadi pada Haji Akbar, sahabat Umar menangis. Maka Nabi Muhammad berkata kepadanya: “Apa yang menyebabkan engkau menangis?” Saya menangis disebabkan selama ini, kita berada dalam penambahan agama kita. Tetapi jika telah sempurna, maka tidak ada sesuatu yang sempurna melainkan akan berkurang. Kemudian Nabi bersabda: “Engkau benar”. (Durrul Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur, V: 183).
Sikap sahabat Umar mencerminkan pemahaman yang tajam. Sahabat Umar ini dalam kitab tasawuf Alluma, dimasukkan sebagai wali yang dekat dengan Allah dari kelompok muhaddatsin. Sahabat Umar memahami bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna, melainkan akan berkurang. Memang kasus presedennya adalah haji yang selama ini juga diikuti orang-orang Quraisy Mekkah yang tidak mengikuti Nabi Muhammad, dan dengan ayat ini jelaslah bahwa haji yang merupakan kewajiban bagi umat Islam, tidak bersama lagi dengan musyrikin Mekkah dalam menjalankannya. Dan kesempurnaan yang demikian itu adalah bagian dari kenikmatan yang diberikan Allah kepada umat Islam.
Akan tetapi fakta menangisnya sahabat Umar dengan turunnya ayat ini, juga memberikan pengertian, bahwa setelah ini, “tidak ada sesuatu yang sempurna melainkan akan berkurang”, pentinglah difikirkan sebagai refleksi. Bila dilihat dari praktik sejarah, ternyata umat Islam terus mengalami ujian-ujian dari dalam, tidak sebagaimana ujian ketika masih ada Nabi Muhammad.
Meskipun setelah ayat ini, masih ada ayat berkaitan dengan kalalah, riba, dan lain-lain yang diturunkan, tetapi setelah itu dalam rentang waktu 81 hari Nabi Muhammad meninggal dunia, dan ini merupakan ujian sangat besar bagi umat Islam saat itu; dan para sahabat memulai perdebatan tentang pengganti Nabi dan soal kemimpinan, dan terus terjadi perpecahan.
Akhirnya haruslah difahami, nikmat agama Islam yang telah sempurna dan diberikan kepada umat Islam, juga bermakna akan berkurang di sisi lain, sebagaimana ketajaman penangkapan sahabat Umar tentang ayat itu.
Inilah yang penting dicari dan difikirkan, di antaranya:
Pertama, berkurang akan terlihat manakala dihubungkan dengan praktik realitas. Adanya perkembangan-perkembangan baru di kalangan umat Islam dan persoalan-persoalannya, penting mempertimbangkan melihat prinsip-prinsip mendasar dari Islam untuk memecahkan persoalan dan mencari jalan keluar, sebagaimana dikatakan Gus Dur itu, agar Islam senantiasa menjadi kekuatan yang menggerakkan, bukan hanya kekuatan bertahan dan memuji-muji Islam itu agama yang sempurna.
Ketika Nabi Muhammad masih hidup, otoritas yang ditaati masih tunggal, tetapi dengan tiadanya Nabi sekarang, maka otoritas agama yang menderivasi dari sumber pokok Islam itu harus tunduk pada kenyataan bahwa Nabi juga bersabda: “al-ulama warasatul anbiya,” dan pada saat ini semakin memudar dan terpecah-pecah; dan kemampuan ulamanya pun semakin terbatas.
Kedua, fakta adanya penggunaan tradisi kekerasan untuk melenyapkan mereka yang berbeda di kalangan Islam sendiri, adalah aspek peyusutan atau berkurang dari kesempurnaan itu, kalau dibandingkan dengan keadaan pada zaman Nabi, di mana pada saat itu perbedaan antarsesama muslim diselesaikan dengan kemauan untuk musyawarah dan ada kepemimpinan yang ditaati.
Ketiga, sikap hidup tawasuth yang diterapkan dan dicontohkan Kanjeng Nabi, kontinyuitas menjaga tradisi lama masyarakat dan kenginan menggerakkan perubahan yang seimbang (contoh saat itu adalah masalah waris, perlakukan terhadap perempuan, dan lain-lain) semakin hari kini terkikis oleh kecenderungan: keinginan maju dengan memotong tradisi yang ada; keinginan skripturalisme ketat menihilkan aspek batin dan kontekstualitas, atau sebaliknya sama-sama tidak menggunakan prinsip tawasuth yang dicontohkan Kanjeng Nabi.
Untuk bisa mendudukan ini, maka penjelasan Gus Dur tentang prinsip-prinsip Islam sebagai aspek dari kesempurnaan Islam itu, perlu dipelajari dan dikembangkan, karena hanya dengan itu Islam akan bisa digunakan merespon keadaan dan menjadi kekuatan penggerak di tengah masyarakat. (AN)
Wallahu a’lam.