Setiap tahun baru Islam, 1 Muharram, beragam permohonan biasanya muncul di linimasa berbagai platform media sosial. Mulai doa satu Muharram hingga berbagai harapan baik di tahun depan. Di tengah kekisruhan soal Papua, bisakah peringatan tahun baru Islam bisa dimaknai sebagai melihat persoalan tersebut lebih bijak?
Hijrah, satu kata yang jelas bermakna cukup dalam bagi umat Islam, karena bernilai sejarah yang penting. Perjalanan Sang Nabi dari Mekah ke Madinah (dulu: Yastrib) diabadikan sebagai awal penanggalan tahun bagi umat Islam. Sebuah perjalanan berjarak 400 kilometer lebih tersebut dijalani beliau dengan berbagai persoalan di dalamnya, namun di batas kota Madinah beliau sudah disambut dengan sukacita oleh kebanyakan masyarakat kota tersebut.
Ya, Nabi Muhammad memang melakukan sebuah perjalanan yang cukup panjang dan berliku, ke sebuah kota yang sebelumnya sudah ada kesepakatan antara perwakilan dari penduduk kota tersebut dengan Nabi, yang akan menyambutnya sebagai warga kota tersebut. Nabi memang pindah secara teritori yang waktu kedatangannya belum menjadi kota Madinah, yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad.
Pasca perubahan kota Yastrib menjadi Madinah, disebutkan inilah masa di mana umat Islam resmi memiliki wilayah yang menjadi kekuasaannya. Berbagai aturan pun muncul seiring dengan perubahan tersebut sebagai tanda berdirinya wilayah Madinah. Kehidupan bermasyarakat diatur dengan kesepakatan bersama, tidak ada warga yang memiliki hak istimewa dibanding warga lain. Tidak ada segregasi antar golongan suku waktu itu, semuanya disebut disatukan pada satu diksi yaitu “ummah”.
“Ummah” adalah diksi tertinggi yang ada dalam bahasa Arab masa itu untuk menyebut persatuan dari beberapa golongan dan kalangan yang berbeda. Jika melihat dan membaca piagam Madinah secara seksama, kita mungkin merasa ditampar keras karena betapa mulianya Nabi membuat kesepakatan, di mana setiap orang di dalamnya menjadi aman dan damai atas kehadirannya.
Hijrah Nabi ke kota Madinah seharusnya menjadi pelajaran bagi kita bahwa kehadiran Islam baik sebagai agama atau muslim sebagai manusia, tetap menghadirkan kedamaian bukan malah menjadi ancaman bagi yang liyan. Walau dalam perkembangannya, saat narasi politik kekuasaan wilayah telah mengubah makna kehadiran Islam ke setiap wilayah yang didatangi menjadi wilayah kekuasaan atau jajahan, maka diksi “fath” yang bermakna pembuka, merujuk membuka wilayah yang belum didatangi oleh Islam sebagai agama dan kekuasaan, tapi juga bisa bermakna kemenangan atas sebuah daerah yang bisa dimaknai dalam sejarah yang berdarah-darah jika Islam yang hadir ke satu daerah melalui jalan pedang dan diplomasi kerajaan.
Superioritas yang terbangun karena kekuasaan akhirnya lenyap setelah peta politik dunia berubah pasca perang dunia, di mana beberapa kerajaan Islam kalah dan kehilangan wilayah, muncul model negara-bangsa. Perasaan imperior muncul dalam umat Islam, memang disebabkan beragam hal, tapi rasa tersebut kemudian membuat umat Islam berlaku lebih defensif yang mengembalikan segregasi antara islam dan yang liyan (kafir) menjadi menguat.
Imajinasi akan yang liyan menjadi musuh yang selalu mengancam terasa terus menguat hingga sekarang. Pergeseran makna hijrah menjadi proses perubahan ke arah yang lebih baik, seharusnya melahirkan semangat yang sama apa yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad kepada warga Madinah. Yaitu, kehadiran Nabi baik sebagai pribadi seorang muslim dan membawa agama Islam membuat satu wilayah kota menjadi rasa terjamin kehidupan sosial mereka.
Memberikan stigma pada yang liyan, baik itu yang berbeda agama atau persoalan kesalehan, seharusnya tidak menjadi perilaku kita yang sudah menyebut diri “berhijrah”. Sebab, jika kembali ke piagam Madinah maka dianggap menganggu adalah mereka yang zalim dan khianat. Bukan perbedaan agama atau suku yang distigma memiliki perilaku atau perangai buruk, sebab setiap manusia bisa saja menjadi jahat tidak ada jaminan pada agama yang dipeluk atau suku berasal.
Jika menjelajahi linimasa kita di berbagai platform media sosial, hujatan atau stigma masih mudah sekali terlempar di kolom status atau komentar. Maka, sudah saatnya berhijrahlah (baca:berubahlah) dari perilaku tersebut dengan “kaffah”, sebab jika itu masih ada maka bisa saja kehadiran kita sebagai muslim dan agama Islam yang kita peluk malah menjadi ancaman bagi orang lain.
Satu Muharam sudah seharusnya menjadi “alarm” bagi setiap muslim untuk melakukan instropeksi diri bahwa kehadiran kita bisa membawa kedamaian dan ketenangan di sekitar lingkungan kita. Papua sedang dilanda kisruh hingga jatuh korban, kita masih meributkan organisasi mana yang harus dibubarkan atau dilarang. Rasa humanis kita seharusnya terguncang untuk melihat persoalan Papua lebih bijak, ketimbang menyerang mereka dengan berbagai stigma hingga senjata milik militer. Jika masih tidak terguncang, maka berhijrahlah.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin