“Dengan semakin menggilanya era disrupsi dan digitalisasi ini, apakah agama masih relevan di masa depan?”
Bagi sebagian kalangan, pertanyaan tersebut seperti tidak ada manfaatnya. Beberapa orang mungkin berpikir, “sudahlah, kita mikir zaman pas kita hidup aja, ga usah neko-neko.” Beberapa yang lain mengatakan, “ya jelas masih relevan lah, manusia hidup pasti mengacu pada agama untuk menjadi pedoman setiap lini kehidupannya.” Kedua statement tersebut tidak salah, namun juga belum tentu benar.
Pernyataan terakhir, misalnya. Tentu kita semua ingat bagaimana abad pencerahan Eropa (rennaissance) menghentikan laju hegemoni agama di Eropa dengan gagasan sekularisasi dan rasionalitasnya. Zaman yang terjadi di akhir abad ke-19 tersebut menandai “matinya” agama sebagai institusi yang mempunyai otoritas mengatur segala aspek kehidupan masyarakat di Eropa. Semua orang beralih menjadi modern dan rasional. Meskipun diskursus agama muncul kembali pada akhir abad ke-19 dengan gagasan “kematian nalar sekularisasi” oleh para sosiolog agama di tahun 1970’an, namun setidaknya manusia pernah merasakan bahwa agama pernah kehilangan marwahnya sehingga ditinggalkan oleh bangsa Eropa. Tentu episode itu tidak akan dijabarkan dalam tulisan ini karena membutuhkan data historis yang cukup panjang.
Pernyataan pertama mungkin juga benar mungkin juga salah. Betul bahwa kita tidak perlu berpikir terlalu visioner, karena yang realistis sedang berada di pelupuk mata. Namun penting rasanya untuk meninggalkan legacy yang baik terhadap anak cucu dan agama yang kita anut itu sendiri.
Kembali ke persoalan nasib agama di masa depan. Menurut Luthfi asy-Syaukani, ada dua variabel yang harus diklarifikasi secara konkrit. Pertama adalah persoalan definisi ‘agama’. Agama mempunyai definisi yang sangat beragam. Agama apa yang dimaksud? Referensi apa yang diacu untuk merujuk term agama? Kedua adalah rentang ‘masa depan’ yang dimaksud. Masa depan yang mana? Apakah 10 tahun ke depan? 50 tahun ke depan? Seribu tahun atau kapan?
Tulisan ini secara sederhana membincang Islam untuk merujuk agama yang dimaksud dalam pertanyaan di awal. Time frame yang dirujuk dalam tulisan ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center, sebuah lembaga riset yang memiliki concern terhadap isu-isu agama di dunia. Dalam salah satu penelitiannya, Pew memprediksi bahwa pada tahun 2050, populasi Kristen kurang lebih akan sama dengan populasi Muslim di Bumi. Berbeda dengan sekarang, populasi Kristen masih menjadi mayoritas di muka Bumi.
Maka pertanyaannya menjadi begini, bagaimana nasib Islam di masa depan? Apakah Islam masih relevan di tahun 2050? Pertanyaan tersebut sangat kompleks. Jawabannya mengandaikan penjelasan yang konkrit sehingga tidak menjadi bumerang bagi Islam itu sendiri.
Ada satu karakteristik Bumi di masa depan yang sudah bisa dilihat sejak hari ini, teknologi. Sebuah fenomena yang belum pernah ada presedennya di semua sejarah kemunculan agama, termasuk Islam. Karena jika memang printer sudah hadir sejak zaman dulu, mungkin Utsman bin Affan akan memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk menggunakan printer untuk mencetak dan mengkodifikasi al-Qur’an.
Gap antara tradisi Islam klasik dengan fenomena di era modern ini, oleh pihak-pihak tertentu, mulai dibenturkan atas dasar bid’ah, tidak islami, kebaratbaratan, tasyabuh dan semacamnya. Tentu kita ingat beberapa waktu lalu ketika banyak agamawan yang memulai diskusi tentang hukum transaksi digital menggunakan Go Food dan Go Pay. Ada yang keras kepala mengatakan haram, ada pula yang menyediakan berbagai justifikasi bahwa segala bentuk transaksi digital dibolehkan dalam Islam.
Ada lagi berbagai diskusi yang berbicara tentang hukum e-Money, emas digital, paylater, cashback, hingga bentuk riba di zaman modern. Pro kontra terhadap digitalisasi dalam Islam memang cukup marak akhir-akhir ini. Belum lagi masalah nft (non-fungible token) dan metaverse yang cukup intens terdengar hari-hari ini. Di satu sisi, orang bisa sangat tekstual dengan mengharamkan segala bentuk produk-produk modern. Di sisi lain, tidak sedikit Muslim kontekstual yang menganalisisnya dengan perspektif beragam dan lebih lunak terhadap gagasan digitalisasi.
Hubungan antara Islam dan teknologi tidak melulu skeptis. Ada juga yang harmonis. Misalnya Islam, sebagai agama dakwah, sangat tertolong dengan adanya media sosial untuk menyebarkan dakwah kebaikan kepada umat-umatnya, atau yang ngetren disebut ‘dakwah online’. Terlepas dari berbagai isu tentang medsos, Islam sampai hari ini masih memanfaatkan teknologi digital sebagai alat amplifikasi ajarannya.
Dugaan saya, semua aktifitas dan produk digital yang kita temui dalam satu dekade terakhir ini merupakan langkah awal dari sebuah ‘kegilaan’ teknologi di masa depan. Media sosial yang kita pikir merupakan sebuah produk mapan, ternyata hanya sebuah ‘uji klinis’ untuk menciptakan skenario yang lebih besar di masa depan, metaverse misalnya. Bisa saja. Siapa yang tau.
Oleh karena itu, untuk melanggengkan fungsi dan relevansinya, Islam harus bersahabat dengan sains dan teknologi. Tanpa itu, Islam hanya akan dipandang sebagai agama yang kolot, ketinggalan zaman, dan konservatif. Dalam pengertian ini, Islam membutuhkan peran ulama-ulama progresif yang protagonis terhadap temuan-temuan sains. Bukan ustadz-ustadz radikal yang anti terhadap modernisme dan perkembangan zaman. Bersikap ramah terhadap digitalisasi merupakan satu dari sekian jawaban bagaimana jika Islam ingin tetap mapan dan relevan sebagai agama di masa depan.
Sampai paragraf ini, pada akhirnya, time frame tidaklah penting lagi. Kapanpun masa depan itu terjadi, selama umat selama masih mengakomodasinya secara kontekstual dan bersikap ramah terhadap perubahan, maka Islam di masa depan bukanlah suatu hal yang perlu dikhawatirkan. Tentu batasannya jelas. Diskusi ini tidak menyentuh pada aspek transendental yang sakral dan personal, namun bagaimana cara umat Islam berkomunikasi dengan zaman baru, membangun relasi dengan media baru, dan memulai berpikir untuk menyelesaikan isu-isu modern yang mungkin jauh lebih kompleks.