Awan gelap masih memayungi kawasan Inggris Raya dan sebagian negara-negara Eropa. Isu kebencian terhadap agama-agama masih menggelayuti, seiring dengan meningkatnya ketegangan di negara-negara Arab, serta tantangan imigran pencari suaka yang meningkat di Eropa.
Di tengah awan gelap ini, kebencian terhadap agama Islam dan Yahudi masih berada pada eskalasi tinggi. Kebencian terhadap Islam mewujud pada pola-pola Islamophobia. Sementara, kebencian terhadap komunitas Yahudi tampak pada meningkatnya antisemitisme. Keduanya tampak beriringan dengan irisan kasus yang hampir senada, meski bersumber pada serangan terhadap pemeluk agama yang berbeda. Namun, pola kebencian di antara keduanya hampir sama, yakni pada ranah teror atas kebebasan beragama, serta serangan atas minoritas pemeluk agama.
Di esai ini, penulis menyoroti hal-hal mendasar terkait meningkatnya Islamophobia di negara-negara Eropa khususnya di Inggris Raya, serta bagaimana komunitas muslim melawan kebencian itu dengan kampanye perdamaian, mengenalkan Islam dengan cinta.
Di tengah badai musim dingin di Eropa, sekelompok pemuda muslim di Birmingham memberi ruang hangat bagi orang-orang yang tidak punya tempat tinggal. Ya, komunitas muslim di Birmingham memilih berbuat sesuatu untuk menunjukkan bagaimana wajah Islam yang sebenarnya: rahmatan lil-alamin, rahmat untuk semesta.
Komunitas muslim di Birmingham bekerjasama untuk menyelenggarakan sebuah program yang berdampak langsung pada permasalahan yang terjadi di kota-kota Inggris. Muslim Birmingham yang tergabung dalam Green Lane Masjid and Community Centre (GLMCC) mengerahkan sumber daya, dana, serta tenaga-tenaga ahli untuk membantu orang-orang yang selama ini tidak memiliki tempat tinggal (homeless).
Perwakilan GLMCC, Kamran Hussain mengungkapkan bahwa problem mendasar di beberapa kota di Inggris Raya di antaranya meningkatnya jumlah warga yang tidak punya tempat tinggal. “The problem of homelessness is increasing in midlands and the UK. We are now reaching crisis level with people dying on the street. It’s important that faith and community groups do their part to help those in need. As an Islamic faith institute, we are require to take care of the poor and less fortunate (problem ketidakpunyaan tempat tinggal sekarang ini meningkat di kawasan Midland/bagian tengah Inggris dan kawasan Inggris Raya. Sekarang kita menyentuh level krisis dengan orang-orang yang meninggal di jalanan. Sebagai sebuah institusi agama, kita perlu untuk merawat orang-orang miskin dan tidak beruntung),” ungkapnya sebagaimana dilansir Birminghammail (03 Januari 2020).
Bagi komunitas muslim di Birmingham, upaya untuk membantu orang-orang yang tidak punya tempat tinggal merupakan persoalan krusial, apalagi fasilitas dari pemerintah Inggris sangat terbatas. Dengan memberi penginapan sementara untuk homeless, orang-orang yang sedang tidak beruntung itu terhindar dari sakit parah akibat cuaca musim dingin yang menusuk.
Di Inggris dan sebagian kawasan Eropa, persoalan krisis kemanusiaan berupa tempat tinggal menjadi tantangan tersendiri. Meningkatnya persoalan homelessness seiring dengan banyaknya imigran dari negara-negara konflik, terutama dari Timur Tengah dan Afrika. Orang-orang dari Syiria, Iraq, Afghanistan, Libya, hingga beberapa negara-negara yang dilanda konflik berkepanjangan memilih untuk menyeberang ke Eropa. Problem refugee ini yang membayangi langit Eropa, dengan beragam polemik, perdebatan kebijakan, serta keberpihakan yang berbeda antar kepala negara.
Inggris Raya cukup ketat membatasi jumlah pengungsi perang. Di Inggris, pemerintah sangat membatasi masuknya pencari suaka dengan syarat-syarat administrasi yang ketat, serta pelbagai kebijakan pendamping yang meminimalisir arus imigran dari negara konflik. Pemerintah Inggris, di bawah Perdana Menteri Boris Johnson sekarang sangat ketat dalam kebijakan imigrasi. Apalagi, isu Brexit yang menjadikan ketegangan relasi Eropa dan Britania Raya, menjadikan peraturan imigrasi dan asuransi kesehatan semakin ketat.
Beberapa negara Eropa memiliki peraturan yang berbeda dalam mengelola arus masuk imigran dari negara-negara Arab dan Afrika. Pemerintah Jerman dan Prancis yang paling longgar menerima pencari suaka gelombang pertama, pada awal mula konflik-konflik terjadi di beberapa negara Timur Tengah pada tahun 2000-an. Sekarang ini, peraturan terkait imigran menjadi lebih ketat seiring meningkatnya jumlah pencari suaka di negara-negara Eropa.
Islamophobia dan Populisme
Satu pekan sebelum pemilihan umum di United Kingdom, seorang warga Inggris bertanya kepada Boris Johnson dan Jeremy Corbin: “What would you do to get the hate out of politics?”.
Pertanyaan ini dilontarkan seorang warga Inggris kepada Boris Johnson dan Jeremy Corbin, dalam sebuah forum debat di media BBC. Boris Johnson memimpin Partai Tory dari kalangan konsertvatif. Sedangkan, Jeremy Corbin menjadi orang nomor satu di Labour Party, partai berhaluan sosialisme liberal di Inggris Raya.
Partai Tory dan Partai Buruh (Labour Party) memang punya problem masing-masing di internal. Partai Tory dianggap mengusung sentimen kebencian terhadap Islam, seiring dengan pernyataan kontroversial Boris Johnson. Sebelum menjadi Perdana Menteri, Boris Johnson beberapa kali melontarkan pernyataan yang menyesakkan dada umat muslim Inggris, di antaranya pernyataan bahwa muslimah yang memakai burqa seperti kotak surat (letter box). Pernyataan ini menuai kecaman komunitas-komunitas muslim di seluruh Inggris Raya.
Boris Johnson memang dikenal sebagai pemimpin yang slengekan dan gemar memainkan kontroversi. Ia sebenarnya politisi canggih, dengan beragam isu yang ia mainkan di ruang publik. Boris Johnson bermain strategi di tengah naiknya populisme politik. Johnson dengan jitu membidik posisi Perdana Menteri menggantikan Theresa May, serta sukses mengawal Tory Party dalam pemilihan umum Desember 2019 lalu.
Sementara, Jeremy Corbin dihantui isu antisemitisme di tubuh Labour Party. Corbin dianggap sebagai figur pemimpin partai yang antisemit, yang melukai perasaan komunitas Yahudi di Inggris. Meski Corbin berkelit dan meminta maaf atas manuver-manuver politiknya yang dianggap antisemitik, ia tetap memperdebatkan konsep antisemitisme di ruang publik dan perbicangan akademisi di Inggris.
Di tengah meningkatnya narasi kebencian, Islamophobia dan antisemitisme Inggris, tindakan komunitas muslim di Birmingham dapat menjadi pelajaran berharga. Betapa wajah Islam di Eropa muncul dengan wajah tersenyum, ketika komunitas muslim memberi bantuan tanpa membeda-bedakan agama. Memberi ruang hangat bagi mereka yang tidak punya tempat tinggal di puncak musim dingin, merawat dan menyediakan akomodasi bagi orang-orang miskin, merupakan senyum dari Islam Eropa.
Meningkatnya narasi kebencian, merebaknya Islamophobia dan antisemitisme, merupakan sisi gelap dari relasi beragama di Eropa yang bahkan menjadi fenomena global. Namun, Islam di Eropa muncul dengan wajah yang tersenyum dari tindakan nyata komunitas muslim di Birmingham. Islam cinta yang hadir di Eropa (*)