Bagaimana Menjadi Muslim Kaffah? (2 Habis)

Bagaimana Menjadi Muslim Kaffah? (2 Habis)

Bagaimana Menjadi Muslim Kaffah? (2 Habis)

Mungkin selama ini kita sudah mengaku berislam secara ucapan dan keyakinan. Artinya kita tidak lagi berstatus sebagai islam keturunan, Islam KTP, ataupun islam-islaman lainnya. Kita Islam bukan karena ikut-ikutan, dalam artian kita beragama Islam sebagai pilihan pribadi yang bersumber dari lubuk hati yang paling dalam. Namun sudahkah kita mengislamkan lidah kita.? Tangan dan kaki kita? Ucapan dan tutur kata kita.? Rasa kemanusian kita sebagai sesama makhluk Allah Swt.? Dan semua anggota badan kita?

Mungkin kita sudah mengislamkan mata kita dengan hanya melihat kepada hal-hal yang dibolehkan oleh Allah namun sudahkah kita mengislamkan mulut kita.? Mungkin kita rajin untuk membaca al-Qur’an namun sering mencaci maki serta mengatakan hal-hal buruk terkait orang lain. Mungkin kita bisa mengislamkan kaki kita dengan selalu melangkahkannya untuk salat jamaah di masjid, tapi pertanyaannya sudahkah kita mengislamkan rasa kemanusian kita.? Senangkah kita melihat pertumbahan darah dari orang-orang yang tidak berdosa yang dibunuh hanya karena perbedaan agama semata-mata misalnya. Seandainya kita belum mempunyai rasa seperti ini, maka bisa jadi kita belum memasukkan diri kita ke dalam agama Islam secara menyeluruh.

Pemaknaan seperti ini lebih kongkrit ketimbang kita membawa ayat ini ke ranah politis yang pada akhirnya menyebabkan perpecahan di kalangan umat manusia. Umat Islam Indonesia sudah damai dengan ideologi pancasila yang digagas oleh para pendiri bangsa. Apalagi sebagian besar isi dari pancasila tersebut merupakan pengejewantahan dari ajaran-ajaran Islam yang terambilkan dari al-Qur’an dan Hadis-Hadis Nabi. Oleh sebab itu, sekali lagi marilah kita jujur dalam menafsirkan ayat-ayat Allah dan mempertimbangkan sisi-sisi kemaslahatan dalam setiap tafsir yang kita sampaikan.

Kemudian dalam menafsirkan sebuah ayat, kita juga harus mengkomparasikannya dengan ayat lain yang mungkin saja bisa membatasi keumumannya. Seperti misalnya terkait dengan ayat di atas, ada ayat lain yang memerintahkan manusia untuk bertakwa kepada Allah sesuai dengan kemampuannya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Taghabun ayat 16 yang berbunyi:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ

Maka bertakwalah kepada Allah sesuai dengan kemampuanmu, dan dengarkan dan patuhilah (perintah Allah), serta infakkanlah harta yang baik untuk diri kalian.!

Begitu juga dengan sebuah hadis yang dirawayatkan oleh Imam Muslim yang bersumber dari Jabir ibn Abdillah al-Anshari yang menceritakan bahwa ada seseorang laki-laki yang mendatangi Rasulullah sambil berkata:

Bagaimana pendapatmu wahai Rasulullah, jika aku kerjakan salat wajib 5 waktu sehari semalam, aku berpuasa di bulan Ramadan, aku halalkan yang halal dan aku haramkan yang haram namun tidak aku tambah dari yang demikian itu sesuatu yang lain. Apakah aku bisa masuk sorga?” Lantas Nabi menjawab, “iya, bisa.” (H.R. Muslim).

Sehingga mengiring ayat di atas sesuai dengan asumsi dasar yang sudah ada sebelumnya merupakan sebuah pemerkosaan terhadap ayat yang diancam neraka oleh Allah Swt. Na’udzubillah Min Dzalik.!