Satu ketika, seorang lelaki tergopoh-gopoh menghampiri Rasulullah, ingin menanyakan sesuatu yang baginya sangat penting.
“Wahai Rasulullah, apa sesungguhnya sesuatu yang dapat menyelamatkanku dari murka/amarah Allah?” tanya sang lelaki.
Rasulullah menjawab, “Anda jangan marah” (la taghdhab).
Pertanyaan itu diulang lagi dan jawabannya tetap sama; Anda jangan suka marah. Kuncinya agar Allah tidak marah adalah kita tidak marah.
Dikisahkan lagi. Wahai Rasulullah, berilah aku petunjuk kiranya amal apa yang dapat memasukkanku ke dalam surga?, salah seorang sahabat bertanya. Lalu Rasul menjawab, “Anda jangan marah”. Sebab, kata Rasul, “amarah/murka bisa merusak iman sebagaimana biji yang teramat pahit (butrowali) bisa merusak manisnya madu”.
Syahdan, Nabi Isa As mengatakan pada pengikutnya, “jangan marah. Aku tidak mampu marah. Karena aku hanyalah manusia”. Nabi Isa menekankan bahwa kita harus tahu diri bahwa selama kita adalah manusia, maka amarah adalah perbuatan yang tidak pantas dilakukan. Sebab amarah itu pasti akan dialamatkan pada sesama manusia. Dan itu adalah kesombongan. Hanya Allah yang berhak marah dan sombong. Sedangkan manusia tidak punya hak untuk itu.
Dzu al-Qarnain dalam satu kisah bertemu dengan malaikat. Wahai malaikat, berilah aku ilmu yang dapat menambahkan iman dan keyakinanku semakin kuat, pinta Dzul al-Qarnain.
Malaikat pun menjawab, “Anda jangan marah. Sebab setan akan menguasai Anak Andam ketika marah. Tolaklah amarah dengan menahan dan kontrol diri, dan redamlah amarah dengan menenangkan jiwa.”
Imam Al-Ghazali menggambarkan ghadhab (amarah). Ghadhab adalah api yang menyala-nyala dan menjilat-jilat yang dinyalakan di hati seseorang. Siapa saja yang suka dikuasai amarah akan mudah dikuasai dan semakin dekat dengan Iblis setan. Sebab amarah dan setan adalah dari unsur yang sama yaitu api.
Semakin kuat amarah maka semakin kuat kedekatan seseorang dengan setan.
Setan berkata, “Engkau ciptakan kami dari api, dan Engkau ciptakan Adam dari tanah”.