Salah satu aktivitas ubudiyah kita yang paling meningkat pesat di bulan Ramadhan adalah shalat. Kalau biasanya setiap hari kita menunaikan shalat wajib dan sunnah rawatib (qabliyah dan ba’diyah) berkisar antara 30-40 rakaat, maka di bulan Ramadhan jumlah rakaat ini bisa meningkat antara 50-60 rakaat bahkan lebih. Ini bukan angka pasti tetapi perkiraan saja. Angka yang pasti adalah 17 rakaat shalat wajib yang kita laksanakan. Selebihnya tidak pasti karena terkadang kita mengerjakan dan meninggalkannya. Tetapi, di bulan Ramadhan, kuantitas shalat itu bisa dipastikan meningkat dengan dilaksanakannya shalat tarawih dan witir.
Pada umumnya, umat Islam mengerjakan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat. Kalaupun ada yang mengerjakan 8 rakaat, itu hanya segelintir saja. Adapun witir umumnya dikerjakan 3 rakaat meski ada juga yang sampai 11 rakaat. Bila shalat tarawih (20 rakaat) dan witir (3 rakaat) dikalikan selama sebulan (30 hari), maka jumlah rakaat shalat yang kita kerjakan totalnya sekitar 690 rakaat secara keseluruhan. Hitungan ini belum termasuk rakaat shalat shalat wajib, tahajjud, dhuha dan lainnya. Tampaknya, hanya di bulan Ramadhan saja kita bisa shalat dengan rakaat sebanyak ini. Di hari-hari biasa, kita perlu introspeksi bersama, apakah shalat kita sebanyak itu atau tidak?
Disebutkan dalam kitab Hilyat al-Auliya’ karya Abu Nu’aim al-Ashbihani bahwa imam Ahmad bin Hanbal dalam keadaan sehat setiap harinya shalat sebanyak 300 rakaat. Sedangkan saat beliau sakit, beliau menguranginya menjadi 150 rakaat. Jumlah rakaat yang sangat tinggi dan susah kita kejar karena kita biasanya harus menunggu Ramadhan untuk bisa shalat dengan kuantitas rakaat yang tinggi. Itupun kita harus menjumlahnya selama sebulan agar sampai ratusan. Betapa lemah dan jauh level iman kita bila dibandingkan dengan ibadah Imam Ahmad yang shalatnya ratusan rakaat dalam sehari semalam. Sementara kita baru bisa shalat sampai ratusan rakaat dengan cara menunggu Ramadhan. Itupun masih harus dijumlah selama sebulan. Itulah bukti bahwa ibadah atau bahkan mungkin iman kita itu musiman, bukan harian sebagaimana Ahmad bin Hanbal.
Ramadhan memang adalah berkah bagi kita untuk meningkatkan level iman, takwa dan amal. Tetapi berkah yang sesungguhnya adalah hidupnya kebiasaan baik dan positif selama Ramadhan itu pada bulan lainnya. Artinya, di selain Ramadhan kebiasaan itu tidak berhenti dan tidak mati. Tetapi kebiasaan itu, dalam hal ini shalat, tetap hidup dan dilakukan secara kontinuitas (berkelanjutan dan berkesinambungan), tidak hanya di bulan Ramadhan saja. Sebagaimana telah dicontohkan oleh Imam Ahmad di atas. Kontinuitas amal inilah yang menurut banyak ulama disebut sebagai tanda bahwa amal perbuatan kita selama bulan puasa diterima oleh Allah SWT. Sebagaimana ibadah haji dan umrah, tanda maqbul dan mabrurnya bukan saat melaksanaan tetapi setelah mengerjakannya, apakah orang tersebut kebiasaan buruknya berganti jadi baik, perbuatan baiknya bertambah baik atau sebaliknya?
Maka dari itu, bulan Ramadhan sebenarnya adalah kesempatan emas bagi kita untuk menjadi pribadi seperti imam Ahmad bin Hanbal, atau setidaknya mendekati beliau. Bila tidak sampai mendekati, setidaknya berkah Ramadhan tidak hilang dan terputus sampai lebaran. Maka sudah seyogyanya kalau kita jaga dan pertahankan kuantitas shalat kita yang naik level di bulan Ramadhan itu di selain Ramadhan. Tarawih yang tidak lagi dikerjakan, kita ganti dengan cara menambah dan menaikkan rakaat shalat witir serta tahajjud, yang biasanya batas minimal menjadi batas maksimal. Kalau tidak bisa menembus sampai batas maksimal, setidaknya kita tetap konsisten mengerjakannya setelah dan di selain Ramadhan. Lebih baik lagi, bila kita bisa tambah dengan mengerjakan shalat sunnah lain yang biasanya tidak kita kerjakan.
Khususnya dan terlebih lagi shalat witir. Di bulan Ramadhan, selama sebulan kita sangat aktif mengerjakannya, baik itu langsung setelah tarawih atau mengakhirkannya setelah tahajjud. Namun sayangnya, setelah itu, shalat witir kita biasanya wassalam berakhir tidak tersisa dan tidak ada bekasnya. Inilah masalah kita yang ibadahnya biasa musiman tidak harian. Padahal, shalat witir kesunnahannya setiap malam di semua bulan, bukan hanya di bulan Ramadhan saja. Lantas, mengapa kita hanya mengerjakannya di bulan Ramadhan? Rasulullah SAW mengerjakannya setiap malam di setiap bulan, dengan maksimal sebanyak 11 rakaat. Karena itu, di kalangan madzhab Hanafi, shalat witir bukan hanya sunnah tetapi wajib hukumnya setiap malam. Lantas, mengapa kita mengerjakannya hanya terbatas di bulan Ramadhan saja?
Ramadhan memang sudah selesai. Namun, akan jadi sangat ironis bila kebiasaan beribadah selama Ramadhan seperti shalat itu jadi usai. Bukankah kebiasaan beribadah selama Ramadhan itu untuk menjadikan kita terbiasa beribadah setelahnya dan di bulan lainnya? Kita diciptakan oleh Allah SWT untuk beribadah setiap waktu dan setiap saat di semua bulan. Bukan musiman. Lantas, mengapa memilih untuk beribadah musiman?
Lebih ironis lagi, banyak di antara kita yang tidak mampu memanfaatkan Ramadhan dan membiarkannya berjalan begitu saja. Baru setelah Ramadhan berakhir, kita berangan-angan seandainya semua bulan adalah Ramadhan, maka pastilah semua malam dan harinya akan dijadikan ibadah. Ramadhan tidak bisa diulang dan hanya ada sebulan. Maka Ramadhan yang singkat tidak untuk dijadikan angan-angan. Lantas, mengapa kita hanya bisa berkhayal daripada banyak beramal?
Bulan Ramadhan baru saja berakhir. Meski demikian, jangan sampai kebiasaan baik di bulan Ramadhan itu ikut berakhir. Untuk itu, mari kita jadikan semua bulan sebagai Ramadhan dengan memperbanyak shalat atau ibadah lainnya. Lailatul Qadar memang sudah berlalu. Tetapi, tidakkah menjadikan semua malam sebagai Lailatul Qadar itu lebih baik daripada hanya menjadikannya sebagai kenagan di bulan Ramadhan?
Mari kita jadikan semua bulan sebagai Ramadhan dan semua malam sebagai Lailatul Qadar.