Kepercayaan atau keimanan meniscayakan adanya ketulusan, kesadaran dan cinta. Ketulusan artinya komitmen hati yang tanpa disertai tekanan atau paksaan. Sebab keimanan merupakan pilihan, dan pilihan hanya dapat diambil bagi seseorang yang dalam kondisi bebas berkehendak; merdeka.
Keimanan juga harus dilandasi oleh cinta. Sebab, kepercayaan dan cinta merupakan dua hal yang saling kait-kelindan dan tidak bisa dipisahkan; kepercayaan adalah bukti cinta, begitupun cinta juga adalah bukti bagi sebuah rasa percaya. Bukan kepercayaan jika tanpa ada cinta. Sebaliknya, tidak ada cinta tanpa ada kepercayaan. Ini bisa dilihat dari cara pandang para sufi yang melandaskan keberagamaannya dengan cinta. Kepercayaan dan cinta tidak bisa dipaksakan.
Abu Manshur al-Hallaj, seorang sufi, ketika di Pasar Kota Baghdad, melihat seorang Muslim sedang memaksakan kehendak dan membentak orang Yahudi, dia menyampaikan keberatannya kepada lelaki yang membentak itu dan berkata, “perbedaan agama itu adalah kehendak Allah. Maka janganlah mengingkari kehendak Allah yang sudah ditetapkan”.
Keimanan menjadi absurd ketika berada dalam tekanan dan paksaan. Dikatakan dalam satu ayat la ikraha fi ad-din (tidak ada paksaan dalam beragama). Huruf la dalam ayat ini adalah huruf negasi, yang menurut gramatika Arab (Nahwu) berfungsi sebagai nafyi al-jinsi (menegasikan segala bentuk dan berbagai jenis sesuatu yang dinegasikan). Sehingga ayat ini mengandung arti bahwa tidak boleh ada paksaan sama sekali dalam berbagai bentuk dan jenis paksaan apapun dalam beragama.
Kita tahu bahwa ada banyak bentuk, motif, dan jenis paksaan, yakni paksaan dengan menggunakan cara-cara kekerasan, paksaan dengan cara-cara persuasif-lunak, paksaan dengan memanfaatkan kelemahan posisi seseorang atau golongan tertentu secara ekonomi atau politik dalam bingkai relasi mayoritas-minoritas, atau pemaksaan dengan memanfaatkan relasi patronase, dan bahkan paksaan atas ‘nama cinta’. Dan semua bentuk pemaksaan tersebut dilarang keras dalam al-Quran.
Keimanan bisa berpijar di dalam hati seseorang oleh sebuah hidayah (petunjuk) yang bisa diusahakan melalui adanya ketertarikan yang muncul secara alamiah akibat dari pergolakan bathin yang serius dari akselerasi pembelajaran, pengalaman hidup, atau pencarian kebenaran, atau terpikat dengan sendirinya pada ajakan (dakwah) yang elegan, bukan oleh sebuah paksaan atau tendensi.
Paksaan dalam beriman dilarang, sebab bertentangan dengan karakter keimanan yang meniscayakan adanya pilihan bebas dan cinta.
Islam dalam memasarkan ajarannya dengan melalui suri tauladan yang baik dari Nabi, tutur kata yang baik, nasihat yang baik, mengajak (dakwah) dan berdialog dengan cara-cara yang paling baik. Ini pun dilakukan kepada umat paganisme, yang dulu ketika Islam turun disebut sebagai para penyembah berhala. Akan tetapi Islam tetap menghargai kepercayaan pakanisme sebagaimana dalam sejarah ketika Islam masuk ke Mesir, para sahabat Nabi tetap mempertahankan patung-patung, piramida, dan tempat peribadahan agama pagan yang ada. Demikian juga ketika Islam masuk ke Persia, agama Majusi penyembah api dihormati dan bahkan filosofinya dicoba diakulturasikan dengan tasawuf dan menghasilkan teori al-isyraq (illuminasi).
Sedangkan kepada para pemeluk agama samawi, yang disebut sebagai Ahlul Kitab, seperti Yahudi dan Nasrani, Islam hanya mengajak untuk mencari titik temu, kalimatun sawa, tidak mengajak untuk mencari titik perbedaan yang berujung pada konflik horizontal dan perang atas nama agama (Surah Ali ‘Imran: 64). Bahkan, Islam mensyaratkan secara mutlak bahwa keabsahan iman bagi seorang Muslim adalah dengan mengimani dan meyakini selaku benar kepada kitab-kitab suci yang diturunkan kepada umat sebelumnya, yaitu Taurat bagi umat Yahudi dan Injil bagi umat Nasrani (Surah Al-Baqarah: 4), mengharuskan kepada umat Muslim untuk bergaul dengan baik, dan boleh saling memberi hadiah makanan (Surah Al-Maidah: 5).
Islam yang begitu indah dan mesra perlu dirawat, dengan mendudukkan ayat-ayat perang dan ‘terkesan’ intoleran pada konteksnya, sebab jika tidak maka akan berpotensi ditafsirkan secara harfiyah dan dijauhkan dari konteksnya lalu dipaksakan untuk diterapkan pada masa kini yang berbeda. Di antaranya ayat-ayat peperangan yang mewajibkan orang kafir yang kalah berperang maka harus membayar jizyah, fai, dan ghanimah.
Menurut Fahmi Huwaidi, seorang pemikir Mesir, dalam bukunya “Muwathinuna La Dhimmiyuna” menyatakan bahwa pembayaran jizyah bukan aturan yang pertama kali diterapkan oleh Islam dan dunia Arab. Akan tetapi pembayaran jizyah bagi pihak yang kalah berperang atau daerah yang diduduki merupakan aturan perang internasional pada masa Sebelum Masehi dan berlangsung sampai Nabi Muhammad diutus.
Kaisar Anusirwan, raja Persia, abad ke-5 SM., dianggap sebagai seorang yang pertama kali menetapkan undang-undang pembayaran jizyah pada negara yang diduduki. Dan diterapkan pada saat Persia menguasai Asia Kecil dan Atena. Begitu juga Romawi menerapkan undang-undang pembayaran jizyah kepada negara yang sekarang termasuk negara Prancis.
Sehingga kalau melihat sejarah tersebut, maka persoalan pembayaran jizyah bukan persoalan teologis Islam vis-a-vis non-Islam. Akan tetapi murni persoalan politik dan undang-undang perang yang berlaku pada masanya. Dan sekarang dianggap sudah tidak relevan, karena termasuk pelanggaran HAM. Islam sendiri akan selalu merelevankan dirinya dalam konteks tempat dan masanya, shalihun li-kulli zaman wa makan.
Demikian juga relasi disharmonis Islam dan non-Islam dalam beberapa ayat, turun dilatar belakangi umat Islam dalam posisi difa’i (defensif) dari serangan non-Islam, bukan offensif. Karena misi Islam sejak semula sebagai agama yang menebar kasih sayang, rahmatan lil-‘alamin. Islam membela dirinya demi tegaknya cinta kasih. Dan Islam adalah agama mesra.