Di Jogja, saya pernah menemukan banner iklan perumahan di pinggir jalan. Iklan yang diikatkan di tiang listrik itu memuat lokasi dan spesifikasi rumah yang ditawarkan. Namun saya agak terganggu dengan syarat yang dicantumkan di pojok banner bagi calon pembeli. Di sana tertulis: Moslem Only. Artinya, rumah yang ditawarkan hanya boleh dibeli oleh muslim. Mereka yang non-muslim tidak boleh membeli rumah dan artinya tidak boleh tinggal di komplek perumahan itu.
Saya kemudian berpikir dan bertanya, kenapa muncul fenomena seperti itu? Apakah sebagian kelompok Islam ada yang tidak siap dan tidak mau hidup berdampingan dengan orang di luar agama mereka?Apakah mereka yang di luar agama Islam merupakan ancaman sehingga membuat tidak nyaman? Sehingga, pada akhirnya, mereka memutuskan untuk membentengi diri dengan membuat perumahan khusus muslim.
Di kelas, saya bertanya kepada mahasiswa tentang kesiapan mereka hidup dengan non-muslim. Sebagian besar menjawab siang hidup berdampingan atau bertentangga dengan non muslim. Meski demikian, ada satu dua mahasiswa yang menjawab tidak siap. Ketika saya tanya ia hanya menjawab tidak nyaman. Ia bilang hanya mau bertetangga dengan orang Islam. Ketika saya tanya lebih lanjut alasannya ia hanya bilang tidak nyaman dan membuat isyarat tidak mau ditanya lebih jauh lagi.
Selanjutnya, di kelas lain, saya meminta mahasiswa menceritakan pengalamannya berinteraksi dengan non-muslim. Mereka saya minta untuk mengingat dan menemukan pengalaman paling mengesankan. Berikut ini beberapa jawaban mereka:
“Saya pernah hidup satu rumah dengan orang yang beragama Kristen, Budha dan Konghucu. Itu terjadi saat saya bekerja di Kudus. Kebetulan saya bekerja ikut dengan orang Cina yang beragama Kristen dan mempunyai saudara yang beragama Budha. Sedangkan ibunya beragama Konghucu, asli dari Tiongkok. Toleransi mereka sangat baik. Saat saya mau salat, saya selalu dipersilakan dan diizinkan. Bahkan ketika sudah waktunya salat, dan saya masih bekerja, saya disuruh salat dulu baru lanjut kerja.”
“Sudah lebih dari lima tahun saya berteman dengan non-muslim. Selama ini persahabatan kami baik-baik saja. Suatu hari, di hari Jumat, kami sedang bermain PS. Waktu salat Jumat telah tiba dan kami masih bermain. Teman saya yang non muslim justru mengingatkan saya untuk salat Jumat dulu, dan main PS bisa dilanjut setelah Jumatan. Kunci persahabatan kami adalah saling menghargai agama satu sama lain.”
“Tetangga saya yang Kristen ada yang memelihara anjing. Satu hari, anjing itu masuk masjid dan liurnya menetes. Karena warga di tempat saya sudah terbiasa dengan tolerasi, kegaduhan tidak terjadi. Pemilik anjing minta maaf dan bertanggung jawab membersihkanmasjid. Bahkan jamaah masjid juga ikut membersihkan.”
“Saya punya teman dekat seorang Katolik. Teman saya itu tinggal bersama dengan ibu dan kakaknya yang beragama Islam. Karena saking dekatnya persahabatan kami, setiap Idul Fitri dan Idul Adha kami selalu datang ke rumahnya. Begitu juga ketika Natal, kami datang ke rumahnya untuk ikut merayakan. Karena tradisi itu sudah terbentuk sekian lama, solidaritas antar kami makin erat.”
“Teman saya yang Katolik sangat menghormati perbedaan agama di antara kami. Ketika kami ingin jalan-jalan, dan sudah saatnya salat Magrib, teman saya mau menunggu saya salat. Lucunya, beberapa kali ia juga pinjam jilbab saya, karena di geng kami hanya dia yang tidak berjilbab. Setiap bulan Ramadan ia juga ikut berpuasa, tentu juga sering ikut buka bersama.”
Menyenangkan sekali membaca pengalaman-pengalaman mahasiswa dalam berinteraksi dengan teman mereka yang non-muslim. Saya yang tumbuh dalam lingkungan yang relatif homogen mendapat nilai-nilai baru yang memperkaya perspektif. Kisah-kisah persahabatan yang baik serupa itu akan menjadi bekal yang baik pula bagi mereka di masa depan.
Di zaman ketika intoleransi menguat dan perbedaan agama/ras/suku kian meruncing, setidaknya mereka sudah punya benteng: pengalaman bersahabat dalam keberagaman yang indah di masa lalu.