Bagaimana ketiga hal ini bisa terjadi? Membaca buku Agama dan Radikalisme di Indonesia yang tebit tahun 2007 kita akan bertemu dengan tulisan Jamhari Makruf (Guru Besar Antropologi UIN Jakarta) yang berjudul Radikalisme Islam di Indonesia: Fenomena Sesaat? Pada tulisan itu kita dapat mendapatkan informasi penting dan menarik tentang kelompok radikal atau ektrimis. Informasi itu dapat menjadi bekal untuk mendedah karakter kelompok yang meresahkan dan mesti terus dilawan itu.
Apabila ditinjau dari latar belakang berdirinya, Jamhari menengarai kelompok ekstrimis lahir ketidakpuasan politik dan keterpinggiran politik. Menurutnya, agama bukan menjadi faktor pertama ekstrimisme. Meskipun pada tahap selanjutnya agama merupakan faktor utama untuk melegitimasi tindakan mereka. Jamhari mencotohkan, untuk konteks Indonesia, yakni kemunculan FPI, MMI dan Laskar Jihad. Kelahiran kelompok itu tak lepas dari latar politik, namun kemudian mereka menjadikan agama sebagai tameng.
Selanjutnya, faktor lain yang menunjang munculnya kelompok ekstrimis adalah adanya solidaritas sesama umat Islam. Kelompok itu merasa tindakan mereka benar bahkan berpahala dan akan diganjar surga, karena merupakan balasan atas tindakan sewenang-wenang Barat terhadap umat Islam, utamanya di Timur Tengah. Maka, bukan suatu hal yang aneh apabila setelah para ekstrimis beraksi (melakukan pemboman misalnya) muncul narasi serupa: korban yang jatuh belum setimpal dengan banyaknya saudara-saudara seiman kami yang tewas di Timur Tengah akibat agresi Barat.
Jamhari juga mencatat: kelompok ekstrim/radikal sejatinya hanya kelompok minor. Anggota mereka sebetulnya tak banyak. Mereka seolah besar dan berpengaruh lantaran militansi dan gencarnya aksi yang mereka jalankan. Sedikit tapi galak dan bersuara lantang tentu lebih mencuri perhatian dibanding mereka yang banyak tapi berbisik dan santun. Jamhari lantas mengingatkan, kelompok ekstrimis meskipun beranggota sedikit tapi menguasai teknologi (internet). Hal itu membuat mereka bisa dengan mudah menyebarluaskan gagasan-gagasan mereka. Termasuk rekrutmen anggota mereka lakukan secara online.
Karakter utama kelompok ekstrimis, menurut Jamhari, adalah penggunaan kekerasan. Bisa dilihat misalnya semangat mereka dalam membubarkan dan menghancurkan tempat maksiat, yang biasanya terjadi di bulan puasa. Berdalih amar ma’ruf nahi munkar, mereka merasa mewakili penegak hukum dalam memberantas penyakit masyarakat. Langkah ngawur yang mereka tempuh itu dapat dibaca sebagai taktik/strategi agar suara mereka dapat didengar masyarakat.
Efek lanjutannya adalah pemberitaan media dan perbincangan masyarakat. Meski akan banyak orang yang membenci dan mengutuk cara-cara seperti itu, tak menutup kemungkinan beberapa orang akan bersimpati dan mendukung, karena dianggap sebagai perjuangan menegakkan agama Allah.
Kelompok ektrimis juga getol mengupayakan penegakan syariat Islam. Mereka menganggap ada yang salah dengan demokrasi, Pancasila dan UUD. Islam harus diamalkan secara menyeluruh, termasuk dalam menjalankan pemerintahan. Semangat menegakkan syariat Islam menjadi bahan bakar tak habis-habis dalam mereka menjalankan aksi. Menjadi sangat bermasalah jika aksi yang mereka tempuh adalah aksi kekerasan.
Karakteristik kelompok ektrimis yang dijabarkan Jamhari Makruf tentu bukan kesimpulan akhir, melainkan titik berangkat untuk meneliti kelompok itu. Meski demikian, gerakan ektrimis lazimnya selalu merujuk pada “mengajak umat Muslim kembali ke ajaran Islam” atau “ajakan untuk bersandar pada prinsip fundamental Islam untuk memenuhi kebutuhan dan tantangan kontemporer”. Gerakan ektrimis juga dapat dilihat sebagai bagian dari proses negosiasi sosial dalam merumuskan tatanan sosial yang baru.
Jamhari menutup tulisannya dengan menaruh harapan besar terhadap dua ormas Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah. Selama kedua ormas itu masih mampu memainkan perannya, gerakan kelompok ektrimis dapat dibendung. NU dengan jalur pesantren dan jaringan ulama, Muhammadiyah dengan lembaga pendidikan (dari PAUD hingga universitas) dan amal usaha persyarikatan.