Hikmah diturunkannya al-Quran kepada umat manusia ialah sebagai petunjuk atau pedoman bagi mereka untuk menjalani kehidupan di dunia, seperti dinyatakan di dalam surat al-Baqarah ayat 185 “sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk tersebut”.
Namun, persoalannya ialah tidak semua orang dapat mengambil petunjuk langsung dari al-Quran karena problem mendasar yakni redaksi al-Quran dituturkan dalam bahasa Arab sehingga bagi mereka yang tidak memahami bahasa Arab tidak mungkin memperoleh petunjuk dari al-Quran. Lantas bagaimanakah memaknai al-Quran sebagai petunjuk dalam hal ini?
Mula-mula penting untuk dijelaskan dalam pembahasan studi Living Qur’an disebutkan bahwa al-Quran mempunyai dua aspek yang satu sama lain saling berkaitan, yakni; aspek informatif dan aspek performatif. Aspek informatif al-Quran melahirkan banyak kitab tafsir atau terjemahan al-Quran ke dalam berbagai bahasa, sementara aspek performatifnya menghasilkan tradisi-tradisi di masyarakat di mana tradisi tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Quran.
Biasanya, bagi mereka yang mampu menyentuh sisi informatif al-Quran adalah orang-orang yang dianugerahi kemampuan intelektual untuk memahami bahasa al-Quran, sementara bagi masyarakat awam yang tidak mampu memahami bahasa al-Quran, mengambil sisi performatifnya berupa keindahan bacaan-bacaan al-Quran yang di perdengarkan lewat tradisi sima’an, tahlilan, yasinan atau semacamnya.
Nah, oleh karena al-Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan karena kapasitas manusia berbeda-beda dalam memahami sesuatu, maka di sinilah al-Quran sebagai petunjuk dapat dimaknai al-Quran sebagai cermin atas diri atau individu manusia yang bersangkutan. Karena setiap cermin akan memantulkan bayangan sebagaimana objek yang ada di depannya, begitu pula interaksi seseorang dengan al-Quran tentu akan sesuai dengan kemampuan yang dia miliki.
Seseorang yang hanya mampu berinteraksi dengan al-Quran melalui bacaan-bacaannya, melanggengkan ayat-ayat-Nya dalam wirid sehari-hari maka dia akan memperoleh petunjuk berupa ketenangan batinnya. Namun, bagi mereka yang mampu berinteraksi dengan al-Quran dari sisi pemahaman maknanya maka dia akan mendapat kenikmatan berupa asyik-masyuk menyelami kedalaman makna ayat-ayat-Nya, karena seperti ungkapan Sayyidina Ali dalam Nahjul Balaghah:
إِنَّ الْقُرآنَ ظَاهِرُهُ أَنِيْقٌ وَبَاطِنُهُ عَمِيْقٌ
Bahwasanya redaksi al-Quran itu indah sementara maknanya begitu dalam.
Hal senada berkaitan dengan kedalaman dan kekayaan makna al-Quran juga diungkapkan oleh Syaikh Abdullah Darraz, salah seorang pakar al-Quran dari Universitas al-Azhar Kairo berkata bahwasanya “Ayat-ayat Al-Quran itu seperti permata intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya”, karena ia permata maka dari sisi mana pun seseorang memandangnya, maka ia akan tampak pantulan cahaya.” Demikianlah ayat-ayat al-Quran yang bisa diperoleh darinya beragam makna dari berbagi sudut pandang para pembacanya.
Dengan demikian, ketika dinyatakan bahwa kemampuan berinteraksi dengan al-Quran antar individu berbeda-beda, maka seharusnya tidak boleh ada lagi penghakiman terhadap kemampuan yang dimiliki seseorang. Bagi mereka yang telah mampu memahami makna-maknanya, tidak lantas merasa diri lebih baik dari orang-orang yang hanya sekedar mampu membacanya. Di sinilah al-Quran sebagai cermin diri berperan menjelaskan maksud diturunkannya al-Quran ialah sebagai petunjuk bagi umat manusia. [rf]