Al-Quran Nggak Cuma Ayat, Ia Hidup Bersama Kita

Al-Quran Nggak Cuma Ayat, Ia Hidup Bersama Kita

Al-Quran hidup bersama manusia, dijiwai dengan segenap perasaan dan emosi manusia

Al-Quran Nggak Cuma Ayat, Ia Hidup Bersama Kita

Pengalaman hidup dengan Al-Qur’an hampir pasti pernah dirasakan oleh setiap Muslim. Mungkin tidak hanya Muslim saja yang merasakan pengalaman spiritual dengan Al-Qur’an, tetapi sepertinya juga ada di antara non-Muslim yang merasakan hal yang sama. Asumsi ini muncul dibangun dari informasi-informasi tentang pengkaji Al-Qur’an non-Muslim yang beberapa di antaranya terkagum-kagum dan bahkan hingga masuk Islam setelah mempelajari dan mengkajinya.

Meskipun asumsi ini cenderung bersifat apologetik, namun dengan melihat fakta sejarah terdahulu saat generasi awal Islam, sebagai contoh adalah sahabat Umar ibn Khattab yang hatinya bergetar saat mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an. Tidak dapat dipungkiri bahwa beliau merupakan salah seorang yang paham betul dengan bahasa Arab, sehingga memang bukan hal yang tidak mungkin jika hati beliau bergetar saat mendengar bacaan Al-Qur’an yang mengandung i’jaz lughawi. Analogi ini yang kemudian digunakan sebagai dasar dari asumsi yang telah dijelaskan di atas.

Hidupnya Al-Qur’an beriringan dengan kehidupan manusia, khususnya umat Islam. Hidupnya Al-Qur’an dalam kehidupan manusia ini dijiwai dengan segenap perasaan, emosi, dan kesiapan untuk kehidupan setelah di dunia ini. Kepercayaan umat Islam terhadap Al-Qur’an ditunjukkan dalam bentuk kesaksian bahwa Al-Qur’an adalah sebagai perantara antara manusia dengan Penciptanya.

Namun terdapat sebuah problem sebagaimana yang disampaikan oleh Mahmoud Ayoub yang dikutip oleh Farid Essack, bahwasanya Al-Qur’an diturunkan dari langit dengan bahasa manusia, padahal di dunia manusia sendiri terdapat keterbatasan dari sisi suara dan tulisan. Sehingga hal ini yang kemudian Al-Qur’an dijadikan sebagai perantara antara firman Tuhan (di alam langit) kepada manusia (di alam bumi) dengan segala keterbatasannya.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa Al-Qur’an hidup dalam kehidupan manusia karena dijiwai dengan perasaan, emosi, dan kesiapan untuk kehidupan setelah di dunia. Salah satu penjiwaan Al-Qur’an adalah dengan mempraktikkan atau melakukan kebaikan sebagai bekal agar tidak disiksa oleh Allah di akhirat.

Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Qs. Al-An‘am: 51, bahwasanya Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk memperingatkan manusia dengan Al-Qur’an agar takut saat dikumpulkan kepada Allah di akhirat nanti. Praktik melakukan kebaikan agar tidak mendapatkan murka-Nya ini merupakan bentuk penjiwaan terhadap Al-Qur’an untuk mempersiapkan kehidupan setelah di dunia.

Penjiwaan terhadap Al-Qur’an tidak berhenti di situ saja. Masih banyak contoh-contoh yang lain yang menunjukkan praktik-praktik yang dilakukan oleh manusia sebagai bentuk penjiwaan terhadap firman Allah dalam Al-Qur’an. Contoh lain adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam penelitian yang dilakukan oleh Anne K. Rasmussen dalam karyanya yang berjudul Women, the Recited Qur’an, and Islamic Music in Indonesia.

Rasmussen mencontohkan bahwasanya Reciting Quran, atau dalam bahasa Indonesia yang biasa disebut tilawah, dipraktikkan dengan menggunakan melodi-melodi. Tradisi ini dipraktikkan baik laki-laki maupun perempuan, bahkan Indonesia terkenal di kancah Internasional dengan ketrampilannya pada bidang tilawah Al-Qur’an. Ia melanjutkan bahwa tilawah di Indonesia ini merupakan bentuk ekspresi yang terinspirasi dari tradisi komunitas Islam di Timur Tengah.

Terkait dengan praktik tilawah sendiri, Anne Rasmussen bukan satu-satunya peneliti yang membahas mengenai tilawah Al-Qur’an di Indonesia. Sejauh pembacaan penulis, terdapat seorang sarjanawan Barat yang beragama Islam yang juga meneliti praktik tilawah di Indonesia, ia bernama Anna M. Gade.

Dalam penelitiannya dengan judul Quran Recitation dalam The Blackwell Companion to the Qur’an, ia menjelaskan praktik tilawah merupakan salah satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu ibadah, tilawah dalam praktiknya terdapat perbedaan cara membacanya, tergantung pada kondisi dan siapa yang membacanya.

Tilawah juga tidak dapat dilepaskan dari keindahan atau estetika karena yang dibaca bukanlah teks yang biasa-biasa saja, namun merupakan kitab suci yang difirmankan oleh Tuhan. Tilawah juga dapat dipraktikkan sebagai ajang kompetisi yang dimaksudkan untuk pembelajaran Al-Qur’an yang baik, indah, dan benar serta merupakan sarana dakwah untuk syiar Islam.