Berita penangkapan babi ngepet hoaks di Depok pada Ramadan kali ini benar-benar di luar akal sehat. Ketika penyebar hoaks Adam Ibrahim sudah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka, bukannya introspeksi diri, ia malah menyalahkan setan yang menggodanya untuk menyebarkan kabar bohong. Mirisnya, banyak yang sudah percaya pada babi jadi-jadian tersebut dan menuduh tetangganya melakukan pesugihan.
Pengakuan Adam Ibrahim itu kian menegaskan sifat-sifat buruk manusia Indonesia seperti yang disampaikan Mochtar Lubis pada 1997. Empat dari enam sifat manusia Indonesia, sebagaimana disampaikan Mochtar Lubis, yaitu munafik, enggan bertanggung jawab, percaya takhayul, serta watak dan karakter yang lemah, semuanya komplit ada pada diri Adam Ibrahim, serta dipercayai banyak warganet dan sebagian masyarakat Indonesia.
Dalam video viral yang disebarkan di media sosial itu terlihat bahwa oknum Ustaz Adam Ibrahim menyampaikan wejangan penangkapan babi ngepet. Fenomena itu dipercayai banyak masyarakat di Kelurahan Bedahan, Depok. Bahkan, ketika diunggah di media sosial, banyak warga yang mengamini bahwa mereka juga mengalami kehilangan uang yang diyakini karena praktik pesugihan babi ngepet.
Sementara itu, ada cara konyol lainnya untuk menangkap babi ngepet. Syaratnya, warga yang mengejarnya harus bugil atau telanjang bulat. Kabarnya, penangkapan itu dilakukan bapak-bapak kompleks Bedahan.
Menanggapi hal tersebut, salah seorang ibu-ibu juga menyatakan bahwa ia sudah mengintai salah seorang tetangga ia lihat tidak bekerja, namun banyak uangnya. Tetangga tersebut diyakini sebagai penganut pesugihan babi ngepet sehingga bisa makmur, kendati hanya leha-leha.
Menurut pengkuan warga juga, tubuh babi ngepet yang ukurannya sekitar 50 cm itu terus mengecil bentuknya, lalu berubah menjadi manusia. Babi itu pun dibunuh, lalu dikuburkan.
Selepas dikebumikan, polisi yang ingin membuktikan keberadaan babi ngepet itu pun membongkar kuburan hewan malang tersebut. Nyatanya, tubuhnya tetap berbentuk babi dan ukuran tubuhnya tetap 50 cm, dengan lebar 25 cm. Tidak ada perubahan apa pun.
Kenapa Mitos Babi Ngepet Bisa Dipercaya?
Kepercayaan takhayul babi ngepet sebenarnya punya sejarah panjang. Fenomenanya bisa dilacak hingga zaman kolonial Belanda. Mitos ini dipercaya sebagai jalan pintas orang miskin untuk bisa memperbaiki hidupnya yang serba melarat.
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid (2008), Kuntowijoyo menuliskan bahwa kepercayaan terhadap pesugihan yang menjadikan orang cepat kaya tanpa bekerja, termasuk takhayul babi ngepet awalnya ada pada masyarakat pertanian di masa penjajahan.
Pada masa tanam paksa (cultuurstelsel) sejak 1830-1870, penduduk setempat begitu sengsara. Bahkan orang Sunda memiliki ungkapan satir: “Orang lahir, kawin, dan mati di ladang tom”.
Karena itulah, ketika ada orang bumiputra yang kaya dan sejahtera, orang-orang sekitarnya yang miskin malah merasa iri. Diembuskanlah desas-desus bahwa orang kaya itu memelihara tuyul, pesugihan, babi ngepet, dan lain sebagainya.
Orang-orang sejahtera itu dilabeli sebagai penggandrung dunia gaib. Mereka berkeyakinan bahwa orang bisa kaya dengan cara memiskinkan orang lain. Masyarakat Jawa kala itu memandang bahwa orang kaya, baik itu pedagang ataupun usahawan bisa berhasil karena ada perjanjian dengan setan.
Seseorang yang sukses di antara para bumiputra, khususnya pengusaha, bukannya dihargai, namun malah dipandang jelek karena dianggap melakukan pesugihan (Ong Hok Ham dalam Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong, 2002).
Lantas, bagaimana bisa orang mempercayai takhayul?
Dalam kajian psikologi, orang percaya takhayul karena secara instingtif otak manusia menggiring pada pola keteraturan, sebagaimana disebutkan Bruce Hood dalam buku Supersense: Mengapa Kita Percaya Hal Tak Masuk Akal (2020).
Misalnya, dalam kasus Jawa di masa lalu, orang-orang bumiputra tidak menemukan kejelasan bagaimana orang (yang kelihatan) tidak bekerja sekeras mereka (kerja paksa) bisa kaya dan sejahtera, sementara mereka tetap miskin dan menderita.
Dalam kasus babi ngepet, sebagaimana ungkapan salah seorang ibu-ibu, ia menuduh tetangganya yang kelihatan menganggur, tapi banyak duit. Kebingungan itu menggiringnya pada persepsi bahwa orang tersebut pasti melakukan pesugihan. Baginya tidak masuk akal orang punya uang, sementara tidak bekerja.
Self-Serving Bias dan Enggan Bertanggung Jawab
Mirisnya, penggiringan pada tuduhan takhayul itu menunjukkan inferioritas manusia Indonesia. Ada anggapan bahwa orang bisa kaya dan sejahtera karena sudah memiskinkan orang yang lain. Jika tidak ada penjelasan logisnya, maka takhayul dan praktik pesugihan menjadi jalan pintas untuk melontarkan tuduhan.
Demikian juga yang dialami okmum ustaz tersebut. Ketika Adam Ibrahim ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka penyebar hoaks oleh polisi, nyatanya ia masih berkilah dan tidak langsung mengakui kesalahannya.
“Iman saya lemah, iman saya turun. Setan masuk ke dalam diri saya sehingga saya mempunyai suatu pikiran yang sangat-sangat jahat dan sangat-sangat tidak masuk akal,” ujar Adam Ibrahim, Kamis (29/4).
Dalam kajian psikologi, orang yang sudah salah, namun enggan mengakui kekeliruannya, malah menyalahkan orang lain, atau situasi eksternal itu dikenal dengan sebutan self-serving bias.
Orang dengan self-serving bias biasanya mengatribusikan keberhasilan pada dirinya sendiri, sementara itu menyalahkan kesalahan atau kegagalannya pada situasi eksternal. Dalam kasus Adam Ibrahim, ketika tak ada lagi yang bisa disalahkan, ia menyalahkan setan yang sudah menggodanya.
Padahal, Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Ketika masuk Ramadan maka setan-setan dibelenggu, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup,” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Lantas, kenapa bisa Ustaz Adam Ibrahim menyalahkan setan, padahal setan dibelenggu selama Ramadan?
Hal ini kian mengamini pidato Mochtar Lubis, yang kemudian dibukukan dengan tajuk Manusia Indonesia (2001) yang menyatakan bahwa salah satu sifat manusia Indonesia adalah enggan bertanggung jawab. Kendati jelas-jelas ia yang salah, setan yang katanya dibelenggu pada Ramadan yang malah disalahkan.
Sifat-sifat manusia Indonesia yang lain, menurut Mochtar Lubis, adalah munafik, berperilaku feodal, berbakat seni (dalam kasus Adam Ibrahim, ia bermain peran mengenai adanya babi ngepet), berwatak lemah, dan percaya takhayul.
Setan yang Dibelenggu pada Ramadan
Penafsiran hadis di atas, jika ditilik secara majazi, orang yang berpuasa seharusnya mencegah mereka dari perbuatan maksiat (perilaku setan). Sementara itu, jika ditinjau secara tekstual, setan hakiki bisa jadi memang dibelenggu, namun setan yang merupakan sifat manusia tidak serta merta terkekang.
Hawa nafsu manusia yang seharusnya ditekan tidak lantas tunduk, sebagaimana disebutkan dalam surah An-Nas (114: 6) bahwa (sifat) setan ada pada diri jin dan manusia.
Karena itulah, sikap seseorang untuk menyebarkan hoaks atau berita bohong berasal dari inferiorotas dia sendiri. Sifat setan yang bersemayam pada diri manusia. Studi yang dilakukan Robert Fieldman yang dimuat di Journal of Basic and Applied Psychology (2010) menyebutkan bahwa orang yang kepercayaan dirinya terancam, ia akan mudah berbohong, membuat hoaks.
Hal ini sesuai dengan tindakan Adam Ibrahim yang menyatakan bahwa tujuannya menyebarkan hoaks babi ngepet agar ia memiliki pengaruh di daerah tersebut. Selama ini, ia dianggap sebagai agamawan yang kurang dikenal.
Melihat keluhan banyak warga yang kehilangan uang, Adam Ibrahim memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menangguk pengaruh, sebagai strategi agar ia dihargai oleh masyarakat setempat. Dalihnya, ada babi ngepet dan orang lain pun menjadi korban tuduhan pesugihan dalam balutan agama.
Mochtar Lubis memang tidak salah, (banyak) manusia Indonesia rupanya memang percaya takhayul, apalagi jika dikaitkan dengan agama, maka mudah saja percaya dengan hasutan Adam Ibrahim. Buktinya, bapak-bapak kompleks rela bugil, telanjang bulat untuk menangkap babi malang dan tak berdosa yang dituduh sebagai babi jadi-jadian.