Tuhan menciptakan manusia dan menurunkannya ke muka bumi dengan banyak sekali keragaman di dalamnya. Bukan hanya manusia, bahkan makhluk hidup dan makhluk lainnya pun tidak ada yang seragam. Seperti tumbuhan dan binatang, siang dan malam, bulan dan bintang. Hal ini senada dengan keterangan Allah yang tidak menciptakan komunitas manusia secara seragam, tetapi menciptakannya dalam kondisi bersuku, agama, bahasa, kultur, serta status sosial yang berbeda sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hujurat: 13.
Seharusnya ini menjadi pertanda bagi makhluk hidup khususnya kita sebagai manusia yang berakal agar selalu menumbuhkan kepekaan dan jiwa sosial yang tinggi.
Bak semboyan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi tetap satu) yang menjadi pegangan masyarakat bangsa ini. Perdamaian ialah pemikiran yang sangat mendasar dan sesuai dengan watak agama Islam. Bahkan bisa menjadi pemikiran yang universal dengan mencakup alam, kehidupan, dan manusia. Islam juga menanggulangi masalah-masalah sosial yang terjadi di kehidupan manusia. Watak perdamaian di dalam Islam itu sendiri berada dalam bentuk yang khas, pengertiannya yang tidak dapat dilepaskan dari pandangan Islam.
Dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang mengisyaratkan bahwa Islam adalah agama damai sangat menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian. Sebab, pada dasarnya al-Quran diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin (menjadi rahmat bagi sekalian alam) yang tidak terbatas pada orang-orang muslim saja. Kehadiran al-Quran di tengah masyarakat multikultur, multietnis, dan sifat-sifat keberagaman yang lain sebetulnya membawa misi perdamaian.
Berikut adalah konsep perdamaian dalam ayat-ayat al-Quran yang menerangkan bahwa Islam ialah agama kesatuan yang besar di alam yang besar ini. Kesatuan yang mencakup di dalamnya, bukan dalam masalah agama saja, akan tetapi juga masalah sosial.
Bentuk–bentuk Perdamaian dalam Ayat al-Quran
1) Budaya Perdamaian dalam Berperang (QS. al-Anfal: 61)
۞ وَاِنْ جَنَحُوْا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
Tetapi jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah dan bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS. al-Anfal: 61)
Ayat ini menunjukkan betapa Islam sangat mengedepankan diplomasi dan cinta damai. Ayat ini, ungkap Ibnu ‘Ar, merupakan lanjut penjelasan dari ayat yang sebelumnya yang membahas tentang hubungan perjanjian dengan musuh dalam sebuah peperangan di antaranya adalah: tentang apakah mereka menepati janji atau mengkhianati, perintah untuk selalu siap siaga dan penjelasan damai ketika mereka minta damai (Syaikh Muhammad Tahir bin ‘Ar al-Tahrir wa al-Tanwir Juz 10). Ketika pihak musuh meminta gencatan senjata atau minta damai, maka Islam pun langsung menyetujuinya. Hal ini dipahami dari kata “al-salm” sendiri yang memiliki arti kedamaian.
2) Perdamaian dalam Keluarga (QS. an-Nisa’: 128)
وَاِنِ امْرَاَةٌ خَافَتْ مِنْۢ بَعْلِهَا نُشُوْزًا اَوْ اِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۗوَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗوَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّۗ وَاِنْ تُحْسِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh), maka sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS. an-Nisa: 128)
Asbabun nuzul ayat ini menurut para sebagian ahli tafsir, berkenaan dengan dengan salah satu istri Rasulullah Saudah bin Za’mah yang sudah lanjut usia. Karena khawatir diceraikan oleh Rasulullah, ia rela mengorbankan hari gilirannya kepada Sayyidah Aisyah dan kemudian Rasulullah menerimanya. Meskipun hadis ini dinilai mursal dan gharib oleh sebagian kritikus hadis, Ibnu Kasir menyebutkan banyak riwayat tentang asbabun nuzul ayat ini. Ada riwayat yang mengatakan bahwa perempuan yang minta damai dengan suaminya ini bukan Rasulullah akan tetapi sahabat Rasulullah yang tidak memiliki keturunan kemudian istrinya menghalalkan suaminya untuk menikah lagi agar memiliki keturunan (Abu al-Fida Isma’il bin Uman ibn Kasir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azim).
Dari berbagai macam asbabun nuzul, dapat ditarik kesimpulan bahwa ayat ini turun berkenaan dangan status perkawinan yang dikhawatirkan rusak kemudian dianjurkan mengadakan islah (perdamaian) antara kedua belah pihak. Perdamaia tersebut boleh jadi penghalalan menikah lagi bagi suami atau memberikan hadiah dan lain-lain. Pesan yang terpenting yang disapaikan ayat ini adalah kalimat “wa al- sulh khair” (dan melakukan perdamaian itu lebih baik).
Menurut Ibn al-Jazari dalam karyanya al-Tashil Li ‘Ulum al-Tanzil kalimat tersebut merupakan lafadz yang umum dimana semua bentuk perdamaian masuk di dalam kalimat tersebut. Misalnya, perdamaian antara keluarga, antara masyarakat dan lain sebagainya. inilah pesan damai dalam ayan ini.
3) Perdamaian antar Umat Beragama (QS. al-Baqarah: 256)
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS. al-Baqarah: 256)
Ayat ini menjelaskan tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Ayat ini, ungkap al-Thabari,menurut sebagian ahli ta’wil, turun berkenaan dengan seorang kaum Ansar yang memiliki anak ketika masa jahiliyyah dan membuat anaknya menjadi orang Yahudi dan Nasrani. Kemudian setelah Islam datang, sang bapak memaksa anaknya untuk masuk Islam, kemudian turunlah ayat ini dan kemudian anak-anak orang Ansar ini memilih Islam dengan sendirinya (Abu Ja’far al-Thabari dalam Jami’al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an).
Dari riwayat ini, dapat disimpulkan juga bahwa Islam disebarkan bukan dengan dasar paksaan, akan tetapi dengan memberikan argumen yang jelas dan valid sehingga orang yang didakwahi bisa menerima dengan lapang hati dan tanpa adanya keterpaksaan. Dengan kata lain, tidak ada agama dalam keterpaksaan.
Dari sini setidaknya dapat kita lihat bahwa Islam sebagai Agama yang sempurna, merupakan agama yang menjadi jalan keluar dari berbagai persoalan dalam kehidupan. Juga Islam di turunkan menjadi rahmat bagi alam semesta. Maka dari itu kita sebagai kaum terpelajar harus bisa membawa misi Islam yang sesungguhnya, yaitu sebagai Rahmatan lil ‘alamin sehingga simpati masyarakat dunia bisa tertuju pada Islam yang ramah bukan Islam yang marah.
Meskipun akhir-akhir ini citra Islam sebagai agama yang damai “tercoreng” di mata dunia dikarenakan beberapa pemeluk agama Islam melakukan aksi teror yang mengatas namakan agama Islam. Kita sebagai pemeluk Islam yang masih waras harus menyadarkan kembali publik, bahwa konsep perdamaian sejatinya sudah tertuang dalam al-Quran. Islam sejatinya adalah agama yang damai, penuh cinta dan kasih sayang.
Artikel ini terbit atas kerjasama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI