Delapan belas tahun yang lalu, seorang laki-laki jatuh dari pohon mangga yang tak terlalu tinggi. Ia ingin berbuka puasa dengan menikmati mangga. Sayangnya, sebelum sempat melakukan itu, ia jatuh setelah dahan yang dipijaknya patah. Kepalanya membentur batu kali. Darah mengalir dari mulut, hidung, dan telinganya. Tetangga sekaligus saudaranya, langsung membawanya ke rumah sakit Bakti Yudha. Di tengah perjalanan, tepatnya di depan pesantren Al-Hamidiyah Depok, sebelum tiba di rumah sakit, ia menghembuskan nafas terakhir di pangkuan adik iparnya.
Laki-laki itu bernama Supandi Kurniawan. Biasa dipanggil Pandi. Ia kelahiran Tanah Abang, Jakarta Pusat. Setelah lokasi tempat berdiri rumahnya digusur karena akan dibangun rumah susun, Supandi remaja dan keluarganya pindah ke Parung. Tapi, ternyata, ia tak ikut keluarganya tinggal di Parung. Ia memilih tinggal di rumah pamannya di daerah Pisangan, Ciputat. Pasalnya, itu lebih dekat dengan sekolahnya: SMK Triguna Ciputat. Posisi sekolahnya tepat di samping UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Supandi adalah murid angkatan pertama di sekolah yang lebih dikenal dengan Dayak. Ya, Dayak. Menurut cerita, konon, masa awal-awal sekolah itu berdiri dan menerima murid angkatan pertamanya, masih banyak ilalang, rumput liat dan pepohonan, hingga mirip hutan. Dan, mungkin, karena suasana yang mirip hutan di Kalimantan itulah, sekolah ini dijuluki Dayak.
Laki-laki yang meninggal di usia muda, 40 tahun, ini memilih jurusan teknik elektro dan perlistrikan. Tapi, ia lebih suka “mengutak-atik” mesin motor dan mobil. Dan kesukaannya ini lebih menonjol. Hingga usai lulus dari SMK, ia diterima kerja di bengkel sebuah dealer mobil.
Sebelum kerja di dealer mobil, ia pernah menjadi supir angkot d-29 jurusan Parung-Ciputat. Dan sepertinya kelihaian menyetirnya ini ia dapat ketika menjadi sopir angkot. Dan karena kelihaiannya ini pula, ketika ia sudah bekerja di dealer mobil, ia sering diminta bosnya untuk menyupiri kemanapun. Karena sering menyupiri, perlahan Pandi mendapat kepercayaan sang bos. Bosnya sering dipanggil dengan sebutan enci, kokoh, dan ma’ci. Mereka satu keluarga beretnis Tionghoa. Karena kepercayaan bosnya itu, Pandi naik jabatan. Dari bengkel pindah ke kantor. Mengurusi mereka-mereka yang ingin jual dan beli mobil. Termasuk mengambil mobil mereka yang parah pembayarannya.
Di suatu hari, di tahun 1984, Supandi menghadiri resepsi alias kondangan ke temennya yang menikah. Di situ pandangan Supandi terfokus pada satu sosok perempuan berkerudung. Dan sepertinya Pandi tertarik dengan perempuan yang ia temui di kondangan itu.
Sebagai laki-laki, tentu saja Pandi panjang akal. Ia bertanya-tanya ke teman-temannya siapa perempuan yang dimaksud. Tak sedikit, temannya yang menyarankan agar Pandi mengurungkan niat untuk mendekati perempuan yang bernama Siti Aisyah tersebut. Pasalnya, Situ Aisyah anak seorang ustadz. Bahkan, ustadznya para ustadz di kampung yang dulu dikenal dengan Sawangan Timur. Ya, Aisyah berasal dari keluarga ustadz. Dan ia pun lulusan pondok pesantren Al-Masthuriyah Sukabumi.
Konon, Pandi sempat gentar setelah mengetahui keluarga Aisyah. Pasalnya, ia sadar diri, membaca Al-Quran saja masih “blentang blentong”, belepotan. Ilmu agama saja jarang ia dapat karena jarang ikut pengajian. Malah, ketika remaja dan masih sekolah di Dayak, Pandi terkenal suka berantem dan tawuran. Hampir setiap akhir pekan, (bahkan ada yang bilang setiap hari) pakaiannya selalu kotor dan tak jarang ada memar dan darah di wajah dan beberapa bagian tubuhnya. Pandi pernah ngaji, tapi itu ketika ia kecil. Ngaji lekar iqro di kampungnya, Tanah Abang 9. Tapi itu sepertinya tidak cukup untuk membuatnya lancar membaca Al-Quran dan fasih.
Tapi, ketertarikam Pandi pada Aisyah sepertinya lebih besar. Ia tetap nekat dan bertekad mendekati Aisyah. Ia memberanikan diri “main” dan silaturahmi ke rumah Aisyah. Yang ditemui pertama kali adalah ibunya Aisyah; Hj. Siti Hindun, yang lagi-lagi seorang guru ngaji. Ayahnya Siti Aisyah, meninggal ketika Ika Aisyah masih kelas tiga Tsanawiyah. Setelah mengutarakan niat, Pandi dikasih waktu tak lama. Menurut sumber terpercaya, mereka “kenal” tak lama, tak lebih dari sebulan. Setelahnya di tahun 1984 mereka menikah.
Setahun setelah mereka menikah, saya lahir. Tentu saja dari rahim Siti Aisyah yang saya panggil Umi. Dan Supandi Kurniawan saya panggil ayah. Saya menjadi saksi, bagaimana ayah berusaha dengan sungguh-sungguh agar bisa membaca Al-Quran, menjadi imam umi, dan menjadi kepala keluarga yang baik. Menurut cerita umi, waktu kecil, saya pernah sakit karena dipukul ayah. Setelahnya, ayah tak pernah main tangan dan mukul lagi. Sepertinya, jiwa preman dan tawurannya hilang setelah itu. Hingga kejadian duka yang menyedihkan itu terjadi; Haji Supandi Kurniawan meninggal dunia ketika ia tengah berpuasa Ramadhan.
“Yang penting aa terus belajar, mau belajar, ayah udah seneng banget,” itu adalah pesan terakhirnya lewat telepon ketika saya sedang Ramadhan In Campus, jadi santri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Madura. Tak sedikit teman-teman ayah yang bilang ayah Husnul khotimah. Sebab ia seperti hijrah; dari preman menjadi orang yang berusaha beriman. Istilahnya preman tobat.
Biasanya, setiap tahun , setiap sembilan Ramadhan, saya dan umi mengadakan haul ayah. Kami mengundang saudara dan keluarga besar dari pihak ayah dan umi. Isinya, pembacaan Yasin dan hadiah, ditutup dengan berbuka puasa bersama. Tapi, tahun ini, hanya saya, umi, dan adik bontot saya (yang ketika ayah meninggal baru berusia lima bulan), yang merayakan haul ayah. Kami tawasul, baca Yasin, tahlil, dan hadiah buat ayah. Dalam hati, ada doa yang sungguh-sungguh, keyakinan yang tebal; bahwa ayah bahagia di alam “sana”. Bahwa dosa-dosanya diampuni oleh Allah.
Ada surga untuknya, sang preman tobat. Untukmu ayah, doa tak henti dari anakmu ini. Al-Fatihah