Awal Ramadhan Bersama, Kenapa Lebaran Berpotensi Beda?

Awal Ramadhan Bersama, Kenapa Lebaran Berpotensi Beda?

Awal Ramadhan, semua muslim melaksanakan puasa pada hari yang sama dan serentak. Tapi, kenapa lebaran bisa berbeda?

Awal Ramadhan Bersama, Kenapa Lebaran Berpotensi Beda?

Puasa sudah melewati minggu ketiga. Memori tentang awal puasa pun masih melekat di kalangan masyarakat Indonesia, dimana semua masyarakat secara serempak memulai puasa pada hari Kamis, 23 Maret 2023 M. Namun kebersamaan puasa itu kini menemui suasana yang berbeda.

Pada minggu ketiga, ketika masyarakat mulai bersiap-siap menyambut lebaran, melihat kalender menemukan tanggal yang berbeda. Membaca berita menemukan prediksi awal Syawwal yang berbeda. Bahkan di sebagian berita ada yang mencantumkan surat keputusan yang berbeda dibandingkan dengan tanggal-tanggal yang ada di kalendernya.

Muncul beberapa pertanyaan di kalangan masyarakat. Apakah lebaran jatuh pada hari Jum’at ataukah hari Sabtu? Lebih lanjut muncul pertanyaan kenapa awal Ramadhan kemarin bisa bersama, namun kenapa awal syawwal ini berpotensi berbeda?

Di antara jawaban yang bisa digunakanuntuk menjelaskan hal ini adalah kondisi hilal pada masing-masing awal bulan tersebut. Sebelum bicara tentang kondisi hilalnya, ada 2 golongan besar yang berbeda dalam memahami hilal.

Golongan pertama berpatokan pada rukyatul hilal. Golongan pertama ini tidak hanya mempertimbangkan ada atau tidaknya hilal di atas ufuk. Lebih dari itu, golongan ini mensyaratkan adanya hilal yang terlihat saat dilakukannya pengamatan hilal awal bulan.

Para ilmuwan telah melakukan berbagai kajian tentang kriteria kemungkinan hilal bisa dilihat atau yang kemudian disebut dengan kriteria imkanurrukyah. Kriteria imkanurrukyah yang diberlakukan di negara Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura adalah ketika ketinggian hilal minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat selanjutnya disebut dengan kriteria imkanurrukyah MABIMS. Apabila tinggi hilal dan elongasi melebihi kriteria tersebut, maka ada kemungkinan hilal terlihat. Namun apabila belum mencapai batas tersebut, maka akan susah hilal bisa teramati.

Sedangkan golongan yang kedua berpatokan pada wujudul hilal. Wujudul hilal sesuai dengan namanya adalah ada atau tidaknya hilal di atas ufuk. Golongan ini tidak mensyaratkan terlihatnya hilal, namun hanya mencukupkan pada ada atau tidaknya hila di atas ufuk. Apabila hilal berada di atas ufuk atau nilai ketinggiannya lebih dari 0 derajat, maka keesokan harinya masuk tanggal 1, terlepas dari kemungkinan bisa dilihat atau tidak.

Hal ini akan menjadi suatu problem ketika hilal sudah di atas ufuk, namun belum memenuhi kriteria imkanurrukyah. Ketika hilal sudah di atas ufuk, artinya sudah wujud. Golongan wujudul hilal kemungkinan besar menetapkan tanggal 1 keesokan harinya. Namun apabila belum memenuhi kriteria imkanurrukyah artinya potensi untuk telihatnya akan sangat sullit sehingga golongan rukyatul hilal kemungkinan besar menentukan tanggal 1 pada hari lusanya. Inilah kondisi rawan terjadinya perbedaan.

Penulis mengajak pembaca untuk melihat ulang bagaimana kondisi hilal awal Ramadhan 1444 H dan bagaimana kondisi hilal untuk awal Syawwal 1444 H sehingga kitab isa mengetahui kenapa awal Ramadhan bisa bersama namun awal syawwal ada potensi berbeda.

Kondisi Hilal Awal Ramadhan

Kondisi Hilal di Indonesia saat penentuan awal Ramadhan kemarin sudah cukup tinggi. Saat dilaksanakannya rukyatul hilal tanggal 29 Sya’ban ketingggian hilal di seluruh wilayah Indonesia berkisar mulai 6,75 sampai dengan 8,75 derajat. Jarak hilal dengan Matahari atau yang kemudian disebut dengan elongasi pun sudah cukup besar. Membentang kurang lebih mulai dari 8 derajat hingga 9,5 derajat.

Jika dilihat dari kriteria imkanurrukyah MABIMS dengan parameter ketinggian minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat, kondisi hilal awal Ramadhan sangat besar kemungkinannya untuk bisa dirukyah.

Prediksi ini kemudian terverifikasi dengan banyaknya kesaksian hilal dari berbagai wilayah di Indonesia, baik yang kasat mata, kasat teleskop maupun olah citra. Golongan rukyatul hilal akhirnya menentukan awal Ramadhan pada keesokan harinya, karena adanya hilal yang terlihat. Bagaimana kemudian dengan golongan wujud al-hilal?

Melihat kondisi hilal yang demikian, karena hilal sudah di atas ufuk atau ketinggiannya lebih dari 0 derajat, maka bisa dipastikan golongan wujudul hilal akan menentukan keesokan harinya juga sebagai awal bulan. Inilah alasan awal Ramadhan kemarin bisa bersama, sesuai dengan realita bahwa awal Ramadhan 1444 H, golongan rukyatul hilal dan wujudul hilal menentukan awal Ramadhan secara bersamaan, sama-sama hari kamis. Ini untuk awal bulan Ramadhan 1444 H. Lantas, kenapa awal syawwal 1444 H ada potensi berbeda?

Kondisi Hilal Awal Syawwal 1444 H

Dilihat dari hasil perhitungan, nilai ketinggian hilal serta elongasinya untuk awal Syawwal besok masih sangat rendah. Tinggi hilal di seluruh wilayah Indonesia masih berkisar antara 0,75 derajat sampai dengan 2,3 derajat. Sedangkan nilai elongasinya berkisar antara 1,4 derajat sampai dengan 3 derajat  Tentu kondisi seperti ini masih jauh dari kemungkinan untuk bisa dilihat.

Dengan kriteria imkanurrukyah tinggi 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat, kondisi hilal awal Syawwal ini masih sangat sulit dan  masih jauh dari kemungkinan bisa dilihat, maka ada kemungkinan golongan rukyatul hilal akan istikmal (menyempurnakan menjadi 30 hari). Namun karena ketinggiannya sudah melebihi 0 derajat, maka kemungkinan besar golongan wujudul hilal akan memulai lebih awal Syawwalnya.

Perlunya Menjaga Harmoniasi

Perbedaan awal bulan ini bukanlah hal yang pertama di Indonesia. Masyarakat Indonesia sudah sering melihat dan merasakan adanya awal bulan Ramadhan ataupun Syawwal yang berbeda. Maka sembari terus mengupayakan kemungkinan terjadinya kebersamaan di masa yang akan datang, perlu kiranya menjaga harmonisasi serta saling menghormati di antara umat Islam atas masing-masing pilihannya. Karena bagaimanapun, persoalan tentang kalender bukanlah hal yang sederhana.

Dalam sejarah kalender Masehi pun pernah terjadi perbedaan antara yang menerima koreksi Gregorius dengan yang menolaknya sehingga terjadi perbedaan tanggal, bahkan selisihnya bisa sampai 10 hari. Butuh waktu berabad-abad di kalangan pemakai kalender masehi agar koreksi Gregorius bisa diterima dalam sistem kalendernya. Maka saling menghormati dan menjaga harmonisasi adalah kunci agar perbedaan ini tidak menjadi salah satu dari akar konflik di masyarakat. (AN)