Oleh: Mohamad Syafi’ Ali
Dalam sebuah kesempatan di sebuah stasiun televisi, petinggi FPI Habib Salim Alatas alias Habib Selon berdebat dengan KH. Ali Musthofa Ya’qub, Imam Besar Masjid istiqlal, Jakarta, sekaligus salah seorang Rais (Ketua) Syuriah PBNU. Dalam argumennya, Kiai Ali Musthofa Ya’qub mendasarkan pendapatnya pada kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-Ghazalie, sementara Habib Selon mendasarkan pada buku karangan Habib Rizieq, Ketua FPI.
Situasi itu sungguh lucu. Imam Ghazalie didebat dengan kitab Habib Rizieq. Sangat tidak seimbang. Dalam aturan hukum Islam, hanya mereka yang alim, hafal Qur’an dan menguasai ribuan hadist yang boleh menghukumi atau mengeluarkan fatwa. Imam Ghazalie kita tahu ulama yang sangat berilmu, sehingga dijuluki Hujjatul Islam. Sementara Habib Rizieq, kita tidak pernah mendengar bahwa ia hafal Al-Qur’an dan menguasai asbabul wurud dan asbabun nuzulnya, atau menguasai ribuan hadist.
Saat ini, di berbagai pengajian dan juga forum-forum social media, kita sering mendengar seseorang mengeluarkan hukum atau fatwa atas orang lain. Hukum itu bisa terkait halal-haram, atau fatwa terkait benar dan sesat. Ada banyak orang, tak terkecuali anak-anak muda, yang dengan bersemangat menghukumi temannya sebagai sesat atau kafir—dengan dalil yang kita tidak tahu dari mana.
Semua pendapat itu umumnya hanya didasarkan pada hujjah-hujjah yang didapat saat pengajian, dari ustadz-ustadz atau habib yang tidak ketahui apakah ia memenuhi syarat seorang pengambil putusan hukum (mufti) atau tidak. Karena dalam Islam, syarat seorang mufti berat sekali.
Di kalangan ulama muslim ada sejumlah perbedaan dalam penentuan syarat seorang mufti, namun semua sependapat bahwa mereka harus menguasai Qur’an dan Hadist. Menurut Imam Syafi’i, salah satu imam Sunni, seorang mufti harus menguasai Qur’an dan Hadist, nasakh-mansukhnya (dalil yang diralat dan yang meralatnya), takwil-tanzilnya, dan tentu saja asbabun nuzul (sebab/konteks turunnya) dan asbabul wurud (kronologi)-nya. Karena Qur’an-Hadist berbahasa Arab, maka seorang mufti juga harus pandai berbahasa Arab, demi menghindari salah tangkap terkait makna sebuah ayat atau hadist.
Selain syarat tersebut, seorang mufti juga disyaratkan dewasa, sehat akalnya, beragama Islam. Mufti juga harus menguasai persoalan-persoalan khilafiyah, memahami ushul fikih dengan baik, dan terpercaya serta jujur, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Ishaq Ibrahim al-Syirazi dalam kitab Al-Luma fi Usulil Fiqh.
Tanpa syarat-syarat di atas, seseorang tidak diijinkan menjadi mufti, mengambil putusan atau fatwa terhadap sebuah perkara. Orang biasa, bisa mendasarkan tindakannya pada pengetahuannya sendiri–yang terbatas—atas Qur’an-Hadist, namun tidak boleh menggunakannya untuk menghukumi dan memutus (fatwa) atas tindakan orang lain.
Bahkan pada masa sepeninggalnya Nabi, hanya ada beberapa sahabat yang biasa mengeluarkan fatwa, yaitu 1) Umar bin Khattab, 2) Aisyah, 3) Zaid bin Tsabit, 4) Abdullah bin Abbas, 5) Abdullah bin Umar, 6) Abdullah bin Mas’ud, 7) Ummu Salamah, 8) Anas bin Malik, 9) Abu Hurairah, 10) Abu Said al-Khudri, 11) Abdullah bin Zubair, 12) Abu Musa al-asy’ari, 13) Sa’ad bin bi Waqqash, 14) Salman al-Farisi, 15) Muadz bin Jabbal, 16) Jabir bin Abdullah, 17) Zubeir bin Awwam, 18) Talhah, 19) Abdurrahman bin Auf serta 20) Abu Bakar. Lima yang pertama dikenal paling banyak fatwanya, diikuti 15 orang kemudian. Bahkan Ali bin Abu Thalib tidak termasuk sahabat yang biasa mengeluarkan fatwa.
Dengan kondisi itu, sekiranya kebiasaan sebagian dari kita yang gemar mengeluarkan fatwa dan memberi putusan atas tindakan orang lain menjadi berkurang. Dalam Islam ada ribuan ayat dan ribuan hadist, dengan teks dan konteks yang beragam, dan hanya pada mereka yang benar-benar alim kita boleh menyandarkan diri sebagai pijakan dan panutan.