Sinar matahari pagi mengiringi perjalanan saya dari pusat kota Lumajang menuju Desa Pandanwangi. Arus lalu lintas cukup padat. Ribuan kendaraan bermotor memadati jalanan. Ada yang pergi ke tempat kerja, ada yang pulang dengan membawa barang belanjaan dari pasar. Kondisi jalan yang basah pasca hujan pada malam harinya, ditambah butiran pasir yang berjatuhan dari truk-truk penambang pasir Gunung Semeru, membuat pengendara harus ekstra hati-hati.
Desa Pandanwangi, desa paling selatan di wilayah Kabupaten Lumajang, berjarak sekitar 19 kilometer dari pusat kota Lumajang. Saya, bersama dua rekan yang menemani, pergi dalam rangka bersilaturrahmi ke Asy-Syarifi Islamic Eco Boarding School. Sempat beberapa kali “disesatkan” oleh Google Maps, akhirnya saya sampai di tempat tujuan setelah menempuh 40 menit waktu perjalanan.
Pesantren Lingkungan dan Pengasuh yang Cinta Kebersihan
Asy-Syarifi Islamic Eco-Boarding School (selanjutnya disebut Pesantren Asy-Syarifi) didirikan pada tahun 1988. Pendiri dan sekaligus pengasuhnya adalah Kiai Fawahim Azra’i Syarif. Lokasinya berada di Desa Pandanwangi, Kec. Tempeh, Kab. Lumajang, Jawa Timur.
Beberapa santri terlihat sedang asyik bermain di halaman pesantren ketika saya tiba di lokasi. Suasana pesantren begitu asri, halaman luas yang dihiasi rumput hijau menyejukkan mata. Saya memanggil salah seorang dari mereka. Setelah saya menjelaskan maksud kedatangan saya, ia mengantar saya untuk bertemu dengan Zadul Ma’ad Syarif, putra pengasuh Pesantren Asy-Syarifi, yang telah menunggu di kantor Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Asy-Syarifi.
Gus Ma’ad, sapaan akrabnya, menyambut saya, mempersilahkan masuk ke ruang pertemuan dengan hidangan yang telah disiapkan di meja. Ia bersama Pak Faisol, seorang tenaga pendidik di sana.
Setelah saya memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangan, Gus Ma’ad memulai obrolan. Ia bercerita bahwa abinya (ayahnya), Kiai Fawahim Adzra’i Syarif, pengasuh Pesantren Asy-Syarifi, adalah sosok pecinta kebersihan lingkungan.
“Abi itu bukan hanya mau’idhotul hasanah (memberi pengajaran yang baik), tapi juga uswatun hasanah (memberi contoh yang baik),” ungkapnya.
Ia menceritakan bahwa Kiai Fawahim tidak menyuruh santrinya menjaga kebersihan, melainkan mencontohkan terlebih dahulu dan kemudian mengajak santrinya untuk ikut serta. Sehingga santri tanpa berat hati memenuhi ajakannya untuk bersih-bersih pesantren.
Pak Faisol, yang telah menjadi tenaga pendidik selama puluhan tahun di Asy-Syarifi, juga menceritakan pengalamannya.
“Saya itu kan santri lama, kiai (Fawahim) itu tidak muluk-muluk, mas. Membuat sesuatu tak pernah bagus. Sederhana, cepet mari (selesai), cepet dadi (jadi), sak anane duit (seadanya uang). Tapi setelah itu dirumat (dijaga) kebersihannya,” Pak Faisol mengisahkan.
Perhatian Kiai Fawahim terhadap lingkungan, menurut Pak Faisol, tidak didasari konsep-konsep khusus. Perhatian itu didasari kecintaan beliau terhadap kebersihan.
“Enak urip ngene, isuk-isuk wes bersih kabeh. (enak hidup begini, pagi-pagi sudah bersih semua)” Pak Faisol menirukan perkataan Kiai Fawahim.
“Luar biasa!” saya bergumam dalam hati. Merasa penasaran, saya coba tanyakan, adakah nilai atau ajaran agama yang mendasari kecintaan Kiai Fawahim terhadap kebersihan? Gus Ma’ad menjawab, “Begini, semua kitab fikih itu, bab pertama itu kan bab Thaharah, dan itu dipelajari di pesantren.”
Sayangnya, praktek-praktek yang dilakukan masih terbatas hanya sebagai sebuah kebiasaan. Tidak ada program-program khusus untuk membekali wawasan lingkungan hidup kepada para santri.
“Masih proses ke arah itu, ini sedikit-sedikit mulai mengaji tentang ayat-ayat lingkungan, jadi sedang memulai,” terang Gus Ma’ad.
Didaulat Sebagai Asy-Syarifi Islamic Eco-Boarding School
Pada Oktober 2020, bupati Lumajang, Thoriqul Haq, meresmikan program Eco-Pesantren di Pesantren Asy-Syarifi. Program itu merupakan hasil kolaborasi antara Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Lumajang dengan Kementerian Agama. Program inilah yang melatarbelakangi penamaan pesantren Asy-Syarifi dengan “Islamic Eco-Boarding School”.
Dipilihnya pesantren Asy-Syarifi tentu bukan tanpa alasan. Saya pun mencoba menguliknya.
“Mungkin bupati ingin membuat semacam Eco-Pesantren. Kok dilihat-lihat, di Lumajang (mereka) nggak menemukan yang pas. Akhirnya nemu di akun Youtube kami. Lalu mereka datang ke sini, dan langsung melaunching program dan memberi penghargaan,” ujar Pak Faisol.
Selain diresmikan sebagai Eco-Pesantren, Pak Faisol mengceritakan bahwa Pesantren Asy-Syarifi sempat ditawari program Sekolah Adiwiyata. Namun, ia menolaknya, karena urusan administrasi bisa membuat para guru tidak fokus mengajar.
“Laporannya begini, begitu. Duh, nambahin penggawean (kerjaan) aja,” tuturnya.
Rencananya, melalui program Eco-Pesantren, Pesantren Asy-Syarifi dijadikan contoh pesantren yang menerapkan konsep ramah lingkungan. Antara lain melalui program pengolahan sampah organik dan non-organik. Sayangnya, menurut keterangan Gus Ma’ad dan Pak Faisol, program itu tidak berjalan dengan lancar karena tidak ada pembinaan dari pihak DLH.
“Jadi, sebenarnya harapan kami besar, dan seandainya ada yang membina kayak gitu, kami siap dengan senang hati,” beber Gus Ma’ad. Ia juga menambahkan, “Saat itu sudah memulai. Anak-anak itu dikasih dua tempat sampah, yang satu sampah organik dan yang satu non-organik. Kami terputus di situ, karena tidak pernah ada pembinaan, akhirnya kita memutuskan, ‘ya sudahlah, yang penting kita itu bersih’.”
Saya melihat raut kekecewaan di wajah Gus Ma’ad dan Pak Faisol. Saya juga menyayangkan terjadinya hal itu. Padahal, jika dibina dengan serius, bukan tidak mungkin Pesantren Asy-Syarifi mampu menjadi pionir bagi pesantren lainnya dalam hal pelestarian lingkungan.
“Mungkin seandainya sama DLH kami terus didampingi, nggak usah lama-lama, setahun aja, mungkin sampai sekarang kita akan tetap melanjutkannya,” lanjut Gus Ma’ad.
Peran Sentral Kiai di Masyarakat
Sebuah cerita menarik dijelaskan oleh Pak Faisol. Ia mengisahkan bahwa mulanya Desa Pandanwangi termasuk wilayah yang terpencil. Salah satu karakteristik masyarakat setempat adalah mereka cenderung patuh terhadap dawuh kiai.
“Jadi, di sini kampung paling terpencil, dulu paling terbelakang. Tapi, sekarang yang S3 ada, yang S2 lumayan banyak. Ya, mungkin karena motivasi kiai. Di kampung yang masih lugu, yang masih bisa diatur oleh kiai, itu yang paling banyak sekolah (mengenyam pendidikan),” ungkap Pak Faisol.
Gus Ma’ad mengafirmasi penjelasan Pak Faisol. Ia mengatakan, “Soalnya, orang-orang yang masih lugu itu kan apa kata kiai. Konsep barokah itu sangat kental dipercaya.”
Mendengar penjelasan itu, saya tertarik untuk menanyakan peran Kiai Fawahim dalam menyebarkan nilai-nilai kecintaan terhadap kebersihan lingkungan kepada masyarakat.
“Kiai di sini kebetulan, mungkin karena sibuk di dalam pesantren, jadi beliau tidak sempat berinteraksi dengan masyarakat,” jawab Pak Faisol.
Gus Ma’ad turut menimpali, “2011 abi sudah nggak banyak beraktivitas dengan masyarakat. Soalnya waktu itu abi (awalnya) nggak ngajar nahwu. Habis itu dia mulai ngajar nahwu, faraid juga. Habis itu sudah nggak itu (beraktivitas dengan masyarakat) lagi.”
Menurut keterangan Gus Ma’ad dan Pak Faisol, Kiai Fawahim memiliki kecenderungan tidak mau tampil di depan umum. Misalnya, Pak Faisol mengisahkan bahwa ketika mendapat undangan mengisi pengajian, Kiai Fawahim terlebih dahulu menanyakan tokoh-tokoh lainnya yang juga diundang. Jika sudah ada tokoh lain, maka beliau memilih untuk tidak hadir. Karena merasa tokoh lain itu sudah cukup.
“Karena menurut beliau, ‘kalau ada kiai lain yang hadir, kenapa saya mesti hadir?’” Pak Faisol menirukan perkataan Kiai Fawahim.
Bahkan, menurut Gus Ma’ad, ketika ia coba menawarkan kepada Kiai Fawahim untuk menyebarkan ceramahnya lewat media sosial, seperti Youtube, beliau tidak bersedia. Usaha yang dilakukan oleh Gus Ma’ad agar ilmu-ilmu yang disampaikan oleh abinya bisa sampai ke masyarakat salah satunya dengan memasang speaker. Tujuannya, ketika Kiai Fawahim mengisi pengajian di dalam pesantren, pengajiannya juga bisa didengar oleh masyarakat sekitar.
“Kalau pengajian setiap hari pakai speaker. Subuh itu, habis subuh ngajar tafsir, itu pakai speaker. Jadi, masyarakat sekitar bisa ikut mendengarkan. Itu saja,” jelas Gus Ma’ad.
Pesantren Sebagai Agent of Change
Setelah berbincang selama hampir satu jam, Gus Ma’ad dan Pak Faisol mengajak saya dan dua rekan untuk makan siang. Jamuan makan siang telah disiapkan di salah satu gazebo yang terletak di dalam komplek pesantren. Para santri yang baru saja selesai menunaikan sholat dhuhur berjamaah langsung bergegas mengambil kitab untuk bersiap mengaji.
Jumlah santri Pesantren Asy-Syarifi sekitar 500 santri lebih. Mereka kebanyakan berasal dari luar kota. Menurut Pak Faisol, jumlahnya meningkat sejak dua tahun terakhir. Peningkatan itu, menurut Gus Ma’ad, berawal dari branding yang dilakukan oleh tim kreatif pesantren melalui media sosial.
“Dari Aceh juga ada,” ujar Pak Faisol. Gus Ma’ad menambahkan, “Batam, NTT. Surabaya paling banyak.”
Untuk mengatasi jumlah santri yang meningkat, Pesantren Asy-Syarifi sedang membangun Asy-Syarifi 2 dan Asy-Syarifi 3. Menurut Gus Ma’ad, kondisi di Asy-Syarifi saat ini “berantakan”. Dikatakan berantakan karena jumlah santri di setiap kamarnya membludak.
“Nanti kalau yang dua itu (Asy-Syarifi 2 dan Asy-Syarifi 3) sudah jadi akan dipindahkan ke sana,” ujar Gus Ma’ad.
Meski dibilang “berantakan” oleh Gus Ma’ad, menurut saya kondisinya terlihat tidak separah itu. Para santri tetap terlihat belajar dengan nyaman. Ruang belajar yang dirancang terbuka, menghadap langsung ke halaman pesantren yang luas dan hijau, membuat mereka lebih enjoy dalam belajar.
Sayangnya, tidak banyak waktu yang saya miliki untuk menelusuri setiap sudut Pesantren Asy-Syarifi. Langit yang sudah mulai gelap tanda hujan akan turun memaksa saya pamit kepada Gus Ma’ad dan Pak Faisol.
Terakhir, ada pesan khusus dari Gus Ma’ad untuk para santri di pesantren. Pesan ini ia sampaikan saat obrolan kami sebelum makan siang.
“Jadi, pesantren itu seharusnya menjadi agent of change tentang kebersihan dan mencintai lingkungan. Soalnya santri itu yang pertama kali dipelajari adalah tentang thaharah (bersuci). Dan yang paling tahu slogan an-nadhofatu minal iman (kebersihan adalah sebagian dari iman) ya santri. Kemudian, yang paling tahu hadis at-thahuru syathrul iman (kesucian adalah bagian dari iman) ya juga santri. Yang paling tahu ayat dhaharal fasadu fil barri wal bahri (telah nampak kerusakan di daratan dan lautan) itu juga santri. (Sehingga) Seharusnya ya santri itu menjadi pionir kebersihan dan cinta lingkungan,” pungkas Gus Ma’ad.
Asy-Syarifi Islamic Eco-Boarding School telah memiliki bekal untuk menjadi pionir seperti yang disebut oleh Gus Ma’ad. Sayangnya, saya melihat, masih banyak hal yang perlu diperbaiki berkaitan dengan wawasan dan gerakan mencintai lingkungan. Karena, mencintai lingkungan tidak hanya sebatas membersihkan sampah yang berserakan.
Banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk merealisasikan kecintaan itu, khususnya yang berhubungan dengan upaya adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim. Mulai dari membuat teknologi pengolahan sampah, mengurangi penggunaan sampah plastik, hingga memanfaatkan teknologi terbarukan. Hal-hal ini, jika mampu dilakukan oleh Pesantren Asy-Syarifi, maka itu akan membuat label “Islamic Eco-Borading School” yang disematkan kepada mereka menjadi lebih sempurna.
Artikel ini merupakan hasil tindak lanjut kegiatan Bengkel Hijrah Iklim dan hasil kerja sama dengan Purpose Climate Lab.