Apakah kebencian di media sosial berasal dari kapasitas otak yang kecil? Jelas bukan karena tidak sedikit para penyebar ujaran kebencian yang merupakan kaum terpelajar.
Atau apakah ini merupakan permasalahan kelas antara borjuis dan proletar? Juga jelas bukan, karena isu yang diangkat tidak pernah mempersoalkan ketimpangan sosial secara substansial.
Sejak awal saya berpendapat bahwa asal-usul kebencian di media sosial berasal dari pembelahan kultural di masa lalu. Pembelahan ini tidak lain adalah politik aliran–priyayi, abangan, santri–sebagaimana dikatakan oleh Clifford Geertz untuk menggambarkan Indonesia 1950-an. Sekarang di era internet pembelahan itu menemukan media baru untuk mengekspresikan dirinya.
Pembelahan kultural tersebut paling kelihatan nyata di komunitas Muslim. Pembagian Islam modernis-Islam tradisionalis seperti dikukuhkan oleh Deliar Noer untuk melukiskan gerakan-gerakan Islam di Indonesia 1900-1942 belakangan kembali muncul. Di media sosial, perbedaan sikap di antara kedua sayap Islam Indonesia ini terjadi di hampir semua isu dan peristiwa.
Kenyataan bahwa pembelahan kultural berdasarkan politik aliran masih eksis hingga hari ini menunjukkan kegagalan pembangunan bangsa. Integrasi yang dilakukan oleh Orde Baru tidak berhasil menyatukan pembelahan kultural, tetapi hanya menutupinya. Rezim pemerintahan sejak era Reformasi masih kebingungan menetapkan model bagi pemecahan masalah ini.
Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah ajang paling telanjang untuk melihat pembelahan kultural tersebut masih bekerja. Dukungan terhadap figur-figur tertentu terbelah berdasarkan garis politik aliran keagamaan.
Jika pada Pemilu 1955 pembelahan tersebut berlangsung panas di jalanan, sekarang medan pertempurannya beralih ke media sosial. Internet, bagaimanapun, hanya mengubah konfigurasi politik kultural lama ke dalam tampilan media baru.
Dengan demikian, kasus Saracen bukan hanya kriminalitas, tetapi membuka suatu masalah kebangsaan yang mendalam. Ujaran kebencian di media sosial hanya akan berkembang di sebuah masyarakat yang terbelah secara kultural.
Menurut saya, mungkin yang dibutuhkan bukan penyatuan, melainkan pengakuan seluruh aliran kultural yang ada. Tentu saja sambil proses saling mengakui ini dilakukan oleh semua pihak (yang pasti akan memakan waktu panjang), proses penegakan hukum harus terus berjalan.