Berbagai peristiwa teror yang terjadi akhir-akhir ini sering kali dikaitkan dengan legitimasi yang bernuansa qurani. Semua legitimasi mereka selalu dilandaskan pada satu kata yang termaktub dalam al-Quran, yaitu thagut.
Kata tersebut juga diteriakkan oleh seorang mahasiswa yang dengan nekatnya menusuk dua orang perwira polisi yang tengah melaksanakan ibadah bersama mereka di sebuah masjid yang sama.
Nampaknya telah terjadi penyalahgunaan makna yang dilakukan kalangan teroris untuk sekedar membenarkan semua kegiatan yang mereka lakukan. Maka perlu kiranya kita mengetahui arti kata thagut dalam arti yang sebenarnya, sesuai konteks ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. dan dalam hal apa ayat tersebut diturunkan. Hal ini harus dilakukan agar kita tidak serta merta menggunakan kata tersebut seenaknya sendiri tanpa mengetahui arti kata yang sebenarnya.
Kata thagut dan berbagai derivasinya, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Zaki Muhammad Hadr dalam Mu’jam Kalimat al-Quran, disebutkan sebanyak 39 kali dengan 20 derivasi yang berbeda.
Ada kata thagut, athghaituhu, thaghiyah, thagwaha, tathghau, thaghun, thaghin, thagha, thaghau, thagha (dengan alif layyinah), thughyanan, thughyanihim, layathghau, liththaghina, wa athgha, dan yathgha. Semua derivasi tersebut sebenarnya bermuara pada satu kata, yaitu thagha (طغو) yang berarti jawazal qadr wal had (melampaui batas dan aniaya).
Dalam al-Quran, kata thagut tertulis dalam beberapa ayat: Q.S. al-Maidah: 60, Q.S. an-Nahl: 36, Q.S. az-Zumar: 17, Q.S. al-Baqarah: 257, Q.S. an-Nisa: 51, 60, 76.
Fakhruddin ar-Razi dalam kitab Mafatih al-Ghaib-nya telah mengurai makna thagut yang merupakan satu rangkaian ayat dengan al-Jibt. Ar-Razi mengutip pendapat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa at-Thagut adalah seorang penyihir sedangkan al-jibt adalah dukun. Dua orang ini merupakan orang yang sama-sama menyesatkan manusia agar tidak menyembah atau syirik kepada Allah Swt.
Secara khusus dalam Q.S. an-Nisa: 51, al-Kalbi menuturkan bahwa at-thagut adalah Kaab bin al-Asyraf sedangkan al-Jibt adalah Khuyay bin Akhtab. Dua orang ini adalah orang yang menjadi rujukan orang-orang Yahudi setelah diturunkan al-Quran dan Rasulullah Saw.
Mereka berdua dinamai dengan thagut dan jibt karena mereka selalu berusaha untuk menyesatkan manusia agar tidak beriman kepada wahyu yang telah diturunkan kepada Rasulullah Saw.
Secara umum ar-Razi menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan thagut adalah perbuatan buruk yang mengalihkan manusia agar tidak menyembah dan beribadah kepada Allah Swt.
Semua ayat yang menyebutkan kata thagut sama sekali tidak berkaitan dengan sistem politik atau pemerintahan. Sehingga tidak ada alasan untuk menamai orang yang tidak setuju dengan sistem khilafah atau orang-orang yang berada dalam komponen demokrasi sebagai thagut, seperti polisi, Pancasila dan lain sebagainya. Apalagi sampai membunuh mereka hanya karena alasan bahwa penyembah thagut adalah orang yang halal darahnya, tentu hal ini merupakan pemahaman yang sangat sesat.
Bahkan dua perwira polisi yang sudah jelas-jelas melakukan shalat bersama mereka dan sudah jelas-jelas menyembah Allah dengan shalat yang mereka kerjakan, masih saja dibunuh hanya karena dituduh thagut.
Ar-Razi juga mengatakan bahwa thagut berasal dari kata thughyan yang berarti ‘orang yang melampaui batas dalam mengerjakan maksiyat’. Sedangkan orang yang patut untuk dipanggil dengan kata ini adalah orang yang mengajak orang lain untuk berbuat dosa besar.
Dalam kasus pembunuhan dan penikaman polisi akhir-akhir ini, layakkah perbuatan mereka dibenarkan? Layakkah polisi diteriaki sebagai thagut?
Jika mengacu pada makna thagut yang diberikan oleh mufassir kenamaan seperti ar-Razi, bahwa orang yang patut untuk dipanggil dengan kata thagut adalah orang yang mengajak orang lain untuk berbuat dosa besar, maka justru para punggawa teroris yang menghalalkan darah umat muslim lain dan menyeru untuk membunuh sesama muslim adalah layak disebut thagut. Karena membunuh sesama muslim apalagi dengan disengaja adalah salah satu dosa besar.
Wallahu A’lam.