Di antara yang menarik perhatian dari gelaran Piala Dunia 2018 adalah fenomena keoknya tim-tim raksasa oleh tim-tim yang dipandang sebelah mata. Argentina, misalnya, digadang-gadang sebagai (salah satu) kandidat kampiun Piala Dunia lengkap dengan “Messiah”-nya, tetapi ditahan imbang oleh Islandia yang pelatihnya saja ‘hanya sekadar dokter gigi’. Bahkan Messi yang mendapat hadiah penalti juga gagal memanfaatkan peluang tersebut—sang kiper mengklaim melakukan riset tentang kebiasaan tendangan penalti Messi, plus mungkin ditambah tuah Viking sedang membersamainya.
Argentina kemudian keok secara dramatis di tangan Kroasia. Skornya bikin Messi kehabisan kata-kata, pelatihnya meninggalkan lapangan dengan gesit setelah peluit tanda berakhirnya pertandingan dibunyikan—tiga-kosong.
Argentina yang diramal akan digjaya sebagai Juara Grup mesti rela jantungnya kembang-kempis mengingat peluang untuk lolos masih belum ‘sepenuhnya aman dan jelas’. Argentina butuh lebih dari sekadar bukti janji Modric untuk membantu mereka lolos dengan mengalahkan Islandia.
Argentina bukan satu-satunya. Jerman, juara bertahan, juga harus kalah dari Meksiko yang bermain ngotot dan determinan. Melanjutkan tren negatif para juara bertahan di laga pertama mereka di Piala Dunia. Brazil juga mengawali langkahnya dengan kurang meyakinkan. Raksasa ini juga ditahan Swiss 1-1. Beruntung kemudian mereka menang melawan Costa Rica 2-0 di menit-menit akhir.
Tim lain yang dianggap (lebih) kecil tetapi mampu memberi shock therapy adalah Senegal yang membungkam Polandia dua gol tanpa balas. Serta Jepang yang mengalahkan Kolombia sehingga menjadi negara Asia pertama yang mampu mengalahkan tim Amerika Latin.
Kejutan-kejutan model demikian menarik perhatian saya karena ia mengingatkan saya pada QS al-Baqarah ayat 249 yang sejak lama saya jadikan ‘fatwa-hidup’, terutama pada bagian yang berbunyi: kam min’ fiatin’ qoliilatin ghalabat fiatan’ katsiratan biiznillah. Yang artinya: dan tidak sedikit pasukan yang kecil mengalahkan pasukan yang besar dengan izin Alah. Ayat ini sesungguhnya bercerita tentang kemenangan pasukan Thalut dan Nabi Daud melawan pasukan Jalut.
Pasukan Thalut dan Nabi Daud mulanya cukup banyak tetapi perjalanan yang jauh menuju medan perang menjadi ujian besar. Mereka tiba di suatu sungai dan Nabi Daud memperingatkan agar mereka minum secukupnya.
Tetapi sebagian tidak patuh dengan alasan kehausan. Akibatnya, dalam hati mereka tumbuh rasa takut sehingga berbalik meninggalkan rombongan. Sisa pasukan kecil itu terus bergerak, meneguhkan tekad, dan akhirnya memenangkan pertempuran.
Faidza ‘azamta, firman Allah, fatawakkal ‘alallah—maka jika telah engkau ber-azzam, bertawakkallah kepada Allah. Pasukan Thalut dan Nabi Daud telah berazzam sepenuh hati dan tekad, mengoptimalkan segenap daya, dan menyerahkan apapun hasilnya kepada Allah.
Untuk menerjemahkannya ke dalam sepak bola hari ini, ayat di atas mungkin berhubungan dengan, pertama, sikap nothing to lose di dada tim-tim kecil. Karena ketiadaan beban itu kemudian mereka bisa menegakkan kepala dan bermain seoptimal mungkin, menyempurnakan azzam, biar hasilnya di-tawakkal-kan kepada Tuhan.
Di sisi lain, tim besar punya beban (moral) yang tak kalah besar. Beban moral yang boleh jadi tidak selalu bisa disikapi dengan baik sehingga berbalik bikin gugup, bikin gagap berimprovisasi, bikin tidak optimal bermain. Atau yang terjadi sebaliknya. Rasa diri sebagai tim besar, melawan hanya tim kecil, kadang bikin tim tersebut over confident, jatuhnya jadi meremehkan. Kalau sudah meremehkan besar peluang mereka dikalahkan. Jalut meremehkan Daud, Jalut dikalahkan.
Kedua, tinggal kemudian semangat nothing to lose tersebut disempurnakan dengan rasa percaya pada kemampuan diri sendiri. Tidak keder oleh nama besar di tim lawan. Raja Thalut dan Daud walau lebih kecil tetap yakin pada diri mereka sendiri karena mereka tahu Tuhan membersamai mereka—Tuhan akan menolong mereka. Jalut dengan segala kebesarannya takluk oleh Daud dan ketapelnya. Situasi serupa terjadi pada para Pejuang Badar. Mereka hanya berjumlah 313 (ada juga yang menyebut 315 dan 317) sedangkan Pasukan Quraisy sekira 1000 orang, tetapi mampu memenangkan pertempuran.
Mereka demikian yakin bahwa Allah akan menolong mereka sehingga mereka yakin pada diri mereka sendiri. Mereka meneguhkan azzam, menyempurnakannya dengan tawakkal. Di sisi lain pasukan Quraisy jemawa dengan jumlah pasukan yang mereka miliki. Pun sejak awal mereka melihat Pasukan Nabi sebagai segerombolan orang yang akan mudah dikalahkan. Yang satu meremehkan dan ceroboh, yang satu nothing to lose dan ‘merdeka atau mati’. Yang menang yang kedua: Pasukan Badar 313.
Itu sebabnya, dalam rangka mengekstraksi ‘barakah’ Badar, di kalangan tradisionalis, angka 313 kadang dipilih sebagai jumlah zikir atau shalawat tertentu. Misalnya, shalawat adrikni yang diyakini mampu menjadi wasilah pembuka pintu rezeki. Anda boleh percaya boleh tidak. Tetapi setidaknya, dari Piala Dunia Rusia 2018 dan kisah Daud serta Badar kita belajar bahwa hidup tidak selalu sesuai hitung-hitungan matematika dasar. Tidak selalu yang besar akan senantiasa menang, sebaliknya yang kecil tidak selalu akan kalah.
Oleh sebab saya menganggap hidup adalah estafet pertandingan ke pertandingan, mencerapi ayat-ayat di atas sebagai fatwa bagi saya terasa seperti jimat sekaligus alarm. Saya meyakini bahwa adalah penting untuk bersikap nothing to lose, konfiden, dan senantiasa melibatkan Tuhan dalam setiap upaya yang kita lakukan.
*selengkapnya, bisa klik di Alif.id