Belakangan ini kembali diperbincangkan, tentang warganet yang ramai-ramai mempermasalahkan para Ustadz yang kelihatannya memiliki banyak harta.
Tidak sedikit di antara mereka yang akhirnya tidak lagi mengikuti kajian atau pengajian yang disampaikan oleh para Ustadz yang dianggap tidak bisa memberi contoh yang baik lantaran memamerkan harta kekayaan.
Lalu pertanyaannya, apakah Ustadz tidak boleh kaya? Kaya yang dimaksud adalah kaya harta.
Jawabannya tentu saja boleh, bahkan bagi saya pribadi harus. Harus dijadikan salah satu target dunia sebagai bekal untuk nanti di akhirat.
Bagaimana tidak boleh, wong Nabi Muhammad Saw., sangat menganjurkan kita untuk berdo’a agar kita menjadi Muslim dan Muslimah yang kaya.
Do’a memohon keluasan rezeki memang ada contohnya, antara lain sebagai berikut:
اللّهُمَّ إنِّي أَسألُكَ أَنْ تَرْزُقَنِي رِزْقًا حَلَالًا وَاسِعًا طَيِّبًا مِنْ غَيْرِ تَعَبٍ وَلَا مِشْقَةٍ وَلَا ضَيْرٍ وَلَانِصْبٍ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu rezeki yang halal, luas, dan baik tanpa susah payah, tanpa kesulitan, tanpa kerusakan, dan tanpa penderitaan. Seungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Sungguh aneh jika hidup penuh dengan kekayaan ini terlarang bagi para Ustadz.
Tidak sedikit terjadi kesalahpahaman yang akut, bahwa para Ustadz sebaiknya memang hidup miskin, pas-pasan atau sederhana saja. Yang penting ibadah dan beramal shaleh.
Stop, saya ingin menegaskan bahwa siapapun boleh menjadi orang kaya.
Apakah kita alpa bahwa orang-orang yang menguasai dunia ini adalah orang-orang kaya? Apakah kita mau tutup mata, bahwa kecanggihan teknologi ini dikendalikan memang oleh orang-orang kaya?
Nabi Muhammad Saw., para sahabat, pata tabi’in, pengikut tabi’in, dan seterusnya sampai pada Walisongo, para ulama Nusantara, tak terkecuali 2 tokoh sentral pendiri Ormas Islam terbesar di Indonesia, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan adalah dua ulama yang juga kaya, memiliki banyak harta yang digunakan untuk dakwah Islam dan membantu umat.
Harus saya katakan, bahwa dakwah Islam membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Demikian sampai pentingnya manajemen keuangan, potensi filantropi Islam dalam bentuk zakat, infak, sedekah dan wakaf, harus dikelola dengan baik dan berkelanjutan.
Bahkan dalam konteks tertentu, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi berikut ini, kita harus iri, iri sebagai motivasi dan kebaikan:
لا حسَدَ إلَّا في اثنتَيْنِ : رجُلٍ آتاه اللهُ مالًا فسلَّطه على هلَكتِه في الحقِّ ورجُلٍ آتاه اللهُ حِكمةً فهو يقضي بها ويُعلِّمُها
“Jangan hasad (iri dengki), kecuali terhadap dua hal. Pertama, orang yang dikaruniai harta oleh Allah Swt., lalu dia menggunakannya di jalan kebenaran, dan (kedua) orang yang dikaruniai hikmah (ilmu) lalu dengannya dia memberi keputusan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Ada Ustadz yang naik mobil mewah, rumahnya megah, bisnisnya berlimpah dan seterusnya, lalu kita menghakimi para Ustadz sebagai orang-orang cinta dunia, penjual ayat, pengasong surga-neraka, pelaku kapitalisme agama?
Wah yang pasti kita tidak boleh su’uzhan, berburuk sangka kepada siapapun. Sebab buruk sangka itu kalau benar sesuai fakta atau tidak, tetap berdosa.
Kita tidak pernah tahu isi hati para Ustadz itu seperti apa, di belakang layar, dan kehidupannya nyatanya seperti apa.
Yang jelas, selain su’uzhan, perilaku nyinyir, iri, menghakimi, membully itu tidak diperkenankan dalam Islam.
Kalau pun ada misalnya seorang Ustadz yang katakan sombong, flexing dan lain serupanya, cukup jadikan pelajaran dan kita tidak perlu ikut-ikutan menghujatnya.
Saya memilih berhusnuzhan, kalau ada Ustadz yang kaya raya berarti ia akan bisa dijadikan contoh untuk para Ustadz yang lain, agar tidak boleh jadi Ustadz yang minder, miskin karena malas, dan klamar-klemer.
Dengan banyak harta, para Ustadz bisa berdakwah tanpa mengemis-ngemis kepada siapapun, tidak menggantungkan hidupnya para bantuan Pemerintah, bisa membangun Pesantren yang segala keperluan para santrinya digratiskan.
Saya mengajak, fokus kita pada kebaikan orang, tidak pandang apakah ia Ustadz atau bukan. Ambil yang baiknya, jauhi yang buruknya, dan teruslah beribadah juga beramal shaleh. Dengan begitu yang sudah kaya ataupun yang belum, Allah kayakan hatinya.
Wallahu a’lam