Di kalangan kelompok pengusung ide khilafah, terdapat beberapa hadis Nabi yang disinyalir kuat mendasari keharusan mendirikan khilafah sebagai sistem pemerintahan. Salah satu hadis populer yang sering dikutip ialah penggalan hadis baiat sebagai berikut:
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa yang mati, sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat, maka ia telah mati seperti kematian jahiliyah”
Hadis di atas kerap dipahami sebagai dasar teologis menyangkut keharusan menegakkan khilafah.Argumentasi yang dibangun ialah, bahwa perintah berbaiat pada hadis di atas memberi konsekuensi pada keharusan mengangkat seorang khalifah. Hal itu, karena term baiat selalu identik dengan ke-khalifah-an dan tidak digunakan pada konteks lain.
Namun, pertanyaannya ialah, benarkah hadis di atas memerintahkan pendirian khilafah? Bagaimana kronologis munculnya hadis di atas? Di bawah ini, penulis cantumkan terlebih dahulu redaksi hadis di atas secara utuh.
عَنْ نَافِعٍ قَالَ جَاءَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُطِيعٍ حِينَ كَانَ مِنْ أَمْرِ الْحَرَّةِ مَا كَانَ زَمَنَ يَزِيدَ بْنِ مُعَاوِيَةَ فَقَالَ اطْرَحُوا لِأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ وِسَادَةً فَقَالَ إِنِّي لَمْ آتِكَ لِأَجْلِسَأَتَيْتُكَ لِأُحَدِّثَكَ حَدِيثًا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُهُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Dari Nafi’ ia berkata: “Abdullah bin ‘Umar pernah datangkepada ‘Abdullah bin Muthi’ ketika ia menjabat sebagai penguasa negeri Harrah, di zaman kekhalifahanYazid bin Mu’awiyah. Abdullah bin Muthi’berkata, “Berilah Abu ‘Abd’ al-Rahman (‘Abdullah Ibn ‘Umar) bantal. Lalu Abdullah Ibn ‘Umar berkata,“Sesungguhnya kedatanganku ke sini bukan untuk duduk, akudatang kepadamu untuk menyampaikan sebuah hadis yang pernah aku dengar dari Rasulullah saw. “Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang melepaskan tangan dari ketaatan, maka ia akan menjumpai Allah pada hari kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah, dan barang siapa yang mati, sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat, maka ia telah mati seperti kematian jahiliah.”(HR. Muslim).
Secara kualitas, hadis ini merupakan hadis shahih dan dapat dijumpai dalam beberapa kitab induk hadis, salah satunya dalam Shahih Muslim, tepatnya pada bab yang menjelaskan tentang perintah mengikuti jamaah pada saat terjadinya kekacauan (Bab al-Amrbi Luzum al-Jama’ah ‘inda Dzuhur al-Fitan). Judul bab tersebut, merupakan indikasi awal bahwa hadis di atas sama sekali bukan berkenaan dengan perintah mendirikan khilafah, melainkan sebagai perintah agar tetap mengikuti mayoritas (al-jamaah) pada saat terjadinya kekacauan (fitnah).
Sementara itu, sejauh yang bisa dilacak, tak ditemukan adanya keterangan terkait asbab al-wurud hadis di atas, sehingga tak dapat diketahui secara pasti dalam konteks apa persisnya Nabi saw mengucapkan hadis tersebut. Meski bersumber langsung dari Nabi, namun sebagaimana pada riwayat imam Muslim di atas, bahwa Ibn Umar—sebagai sahabat yang mendengar langsung hadis tersebut dari Nabi—baru menyampaikannya beberapa tahun belakangan, tepatnya pada masa khilafahYazid bin Mu’awiyah.
Pada riwayat di atas dapat dilihat bahwa tanpa sebab yang jelas, tiba-tiba Abdullah bin Umar mengatakan bahwa ia pernah mendengar sebuah hadis dari Nabi, kemudian menyampaikan hadis di ataskepada Abdullah bin Muthi’. Namun demikian, keterangan lebih lengkap terkait kisah Abdullah bin Umar ini, dapat ditemukan dalam sebuah riwayat yang terrekam dalam literatur sejarah,yaitudalam kitab Thabaqat al-Kubra karya Ibn Sa’d.
عن أمية بن محمد بن عبد الله بن مطيع أن عبد الله بن مطيع أراد أن يفر من المدينة ليالي فتنة يزيد بن معاوية فسمع بذلك عبد الله بن عمر فخرج إليه حتى جاءه قال: أين تريد يا بن عم؟ فقال: لا أعطيهم طاعة أبدا. فقال: يا بن عم لا تفعل فإني أشهد أني سمعت رسول الله، صلى الله عليه وسلم، يقول: من مات ولا بيعة عليه مات ميتة جاهلية.
Dari Umayah bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Muthi, bahwa ‘Abdullah bin Muthi hendak melarikan diri dari Madinah pada malam terjadinya fitnah di masa ke-khilafah-an Yazid bin Mu’awiyah.Abdullah bin ‘Umar mendengarnya kemudian ia keluar untuk mendatangi Abdullah bin Muthi dan berkata: “Mau pergi kemana engkau wahai anak pamanku?”Abdullah bin Muthi menjawab: “Sungguh aku tidak ingin menaati mereka selamanya. Lalu Abdullah bin ‘Umar berkata: “Wahai anak pamanku, janganlah kau lakukan itu. Sesungguhnya aku bersaksi bahwa aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang mati, sementara dalam dirinya tidak terdapat baiat, maka ia telah mati dalam keadaan jahiliyah.”
Berdasarkan riwayat Ibn Sa’d ini, dapat diketahui bahwa hadis di atas disampaikan Ibn ‘Umar berkenaan dengan kasus ‘Abdullah bin Muthi’ yang hendak melarikan diri dari Madinah karena enggan menaati khalifah Yazid bin Mu’awiyah. Hal itu terjadi pada saat peristiwa fitnah dimasa khalifah Yazid bin Mu’awiyah. Mendengar hal itu, Ibn ‘Umar langsung mendatangi Abdullah bin Muthi’ untuk mencegah kepergiannya kemudian menyampaikan hadis di atas.
Sampai di sini, dapat dipahami bahwa meskipun hadis di atas tak ditemukan asbab al-wurud-nya, namun kita dapat melihat bagaimana hadis di atas digunakan Abdullah bin Umar—sebagai orang yang meriwayatkan langsung dari Nabi—untuk mencegah kepergian Abdullah bin Muthi yang hendak melarikan diri. Berpijak pada kasus ‘Abdullah bin Muthi’ tersebut, dapat dipahami bahwa Ibn ‘Umar menyampaikan hadis di atassama sekali bukan berkenaan dengan perintah mendirikan khilafah, melainkan untuk mencegah kepergian Abdullah Ibn Muthi’ yang hendak melarikan diri sekaligus menjaga ketaatannya terhadap khalifah Yazid bin Muawiyah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa substansi hadis baiat di atas ialah menyangkut keharusan menaati pemimpin dengan tidak memisahkan diri dari jamaah.
Kesimpulan ini, juga memiliki legitimasi kuat daririwayat Ibn Hibban sebagai berikut:
مَنْ مَاتَ مُفَارِقُ الْجَمَاعَةِ فَإِنَّهُ يَمُوْتُ مَوْتَةً الْجَاهِلِيَّة
“Barang siapa yang mati, sedangkan ia memisahkan diri dari jamaah, maka ia telah mati seperti kematian jahiliah.” (HR. Ibn Hibban).
Secara redaksional, riwayat versi Ibn Hibban ini sedikit berbeda dengan riwayat versi Imam Muslim di atas. Perbedaannya ialah, jika pada riwayat imam Muslim menggunakan redaksi “bay’ah”, maka pada riwayat Ibn Hibban ini menggunakan redaksi Mufariqal-Jama’ah (memisahkan diri dari jama’ah).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa substansi redaksi “bayah” pada riwayat Imam Muslim di atas ialah menyangkut keharusan menaati pemimpin dengan tidak memisahkan diri dari jamaah.
Keharusan menaati pemimpin merupakan hal yang lazim dalam Islam. Dalam hadis lain dikatakan:
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ ، فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا ، فَمَاتَ ، فَمِيتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
“Barang siapa yang melihat sesuatu yang dibenci dari pemimpinnya, maka hendaklah ia bersabar.Sebab, barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja, kemudian ia mati, maka ia telah mati dalam keadaan jahiliah.” ( HR. Muslim).