Sudah menjadi obrolan sehari-hari di kalangan umum akan pahala membaca surat al-Mulk (tabarak), yaitu akan wafat dalam keadaan khusnul khatimah dan diampuni dari siksa kubur. Pahala tersebut didapatkan jika istiqamah membacanya.
Mengenai fadhilah surat al-mulk (tabarok), surat ini dikenal dengan banyak istilah; Al-Waqiyah yang menjaga, Al-Munjiyah yang menyelamatkan. Nama lain surat al-Mulk tersebut sesuai dengan fadhilah surat ini yang mampu memberikan syafaat atau penolong dari siksa kubur. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW:
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةِ رَضِيَ اللهُ عَنهُ عَنِ النَّبِي صَلَّ اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: سُوْرَةٌ مِنَ القُرْآنِ ثَلَاثُوْنَ آيةً تَشْفَعُ لِصَاحِبِهَا حَتَّي يُغْفَرُ لَهُ، تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ المُلْكُ.
“Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Muhammad SAW bersabda: Surat dari Al-Quran yang terdiri dari 30 ayat yang mampu memberikan pertolongan (dari siksa) bagi para penghafalnya, hingga mampu mengampunkan dosanya: yaitu tabarakal ladzi biyadihil mulk.” (diriwayatkan oleh Abu Dawud beserta lafadnya, dan disahihkan Ibnu Hibban dan Hakim, dan dihasankan Tirmidzi)
Lafad shohibiha dalam hadis tersebut jika dimaknai secara haqiqi memiliki arti sahabat atau teman akrab. Namun dalam konteks hadis tersebut memiliki arti orang yang hafal surat tabarok, atau orang yang senantiasa membacanya di setiap malam.
Dalam sebuah riwayat yang sahih diceritakan oleh Gus Baha, ada sebuah kuburan, yang terdengar lantunan surat tabarak di dalamanya. Ternyata pada saat itu ada mayit yang sedang disiksa oleh Mungkar-Nakir dan mayit tersebut berterima kasih karena surat tabarak menjumpainya.
Surat tabarak pun bertanya, “Hei Mungkar-Nakir, kamu mau apa?” “Saya mau menyiksa orang ini karena dia maksiat,” kata sang malaikat. “Tapi masalahnya saya ada di hatinya, bahkan sekujur tubuhnya ada saya,” bantah sang surat. “Bagaimanapun juga menurut prosedur saya harus menyiksa dia, karena kesalahannya,” sanggah lagi si malaikat. “Oh jadi kamu berani menyiksa Kalamullah?” bentak sang surat.
Selanjutnya karena malaikat merasa tidak terima akhirnya malaikat melaporkan situasi ini kepada Allah SWT. Lantas surat tabarak juga mengeluhkan kepada Allah, “Ya Allah, makhluk ini kurang ajar, saya kan berada di hati si fulan, tapi mengapa dia mau menyiksaku. Jika mereka masih mau menyiksaku lebih baik hapus saja saya dari kalammu, ana laisa min kalamik”. Akhirnya Mungkar-Nakir justru yang menjadi tersangka dan si mayit tidak jadi disiksa. Begitulah kisah tentang surat Tabarak yang diceritakan Gus Baha.
Riwayat ini sungguh menjadi kabar gembira bagi para muslim yang telah hafal atau hendak menghafal surat tabarak. Dengan niat ikhlas dan istiqamah menjaganya, insyaallah kita akan terselamatkan dari adzab Mungkar-Nakir. Sebab surat tersebut akan membela kita dari azab kubur.
Berbicara mengenai menghafal, pasti tak akan lepas pula dari istilah lupa atau melupakan, ia merupakan rintangan sekaligus konsekuensi terburuk bagi para penghafal. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sebagian orang berusaha murajaah (mengulang kembali hafalannya) semaksimal mungkin agar tak terlupa, namun ada pula sebagian orang yang memilih untuk tak menghafalkannya, dikarenakan takut berdosa jika lupa. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Majmu’ Fatawa karangan Ibnu Taimiyah
فَإِنَّ نِسْيَانَ القُرْآنِ مِنَ الذُنُوبِ
“Sesungguhnya melupakan Al-Quran termasuk dosa”
Dalam kitab Fathul Bari karangan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan pandangan beliau bagi orang yang mendalami Al-Quran yang kemudian melupakannya.
مَا مِنْ اَحَدٍ تَعَلَّمَ القُرآنَ ثُمَّ نَسِيَهُ إِلَّا بِذَنْبٍ أحْدِثَهُ، لِأَنّ اللهَ يَقُولُ: (وَمَا اَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيكُمْ). وَنِسْيَانٌ القُرْآنِ مِنْ اَعْظَمِ المَصَائِبِ.
“Tiada satupun seseorang yang mempelajari Al-Quran lalu melupakannya kecuali baginya dosa, sebab Allah SWT berfirman “Dan apa-apa yang menimpamu dari sebuah musibah (lupa) ialah disebabkan oleh kemaksiatan yang kamu lakukan sendiri”. Dan melupakan Al-Quran ialah musibah yang paling besar.”
Dalam memahami fatwa ulama’ tersebut, pasti muncul di benak kita. Mengapa orang yang lupa kok dihukum bersalah? Padahal itu adalah sifat alami manusia. Maka jawaban dari kasus tersebut ialah orang itu sama seperti mendapatkan musibah. Karena bisa jadi memang Allah mentakdirkan kita untuk lupa. Perumpamaannya seperti seseorang yang membeli motor curian. Meskipun ia tidak tahu pasti, suatu saat jika terkena operasi maka orang tersebut akan ditangkap. Sebab dianggap sebagai pencuri atau penengadah.
Seseorang yang telah memutuskan untuk menghafalkan Al-Quran harus menerima konsekuensinya, yaitu untuk hidup dan mati bersama Al-Quran. Menyisihkan waktu bersamanya, dan menghindari perbuatan yang tidak berfaedah. Memang kenyataannya sungguh berat, tetapi surga akan menanti kita.
Jika kita menelisik ulang pendapat Ibnu Hajar di atas. Bahwa seorang hafidzul quran bisa saja melakukan berbagai maksiat sehingga membuat hafalannya hilang. Apakah hal tersebut mungkin? Jawabannya jelas-jelas mungkin. Karena seorang penghafal terdapat 3 kategori, pertama, Saabiqun bil khoirat yakni yang senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan. Yang kedua, Al-Muqtasith yakni orang yang sedang-sedang saja, dan yang terakhir adalah Dholimun li nafsi yakni kelompok yang memang menghafal Quran tetapi maksiatnya pun tetap jalan. Sebagaimana dalam surat fatir ayat 32.
Terdapat sebuah kisah dalam kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah karangan Ibnu Katsir Rahimullah. Pada masa tabi’in ada seorang mujahid yang hafal Al-Quran. Keimanannya, ilmunya, dan puasanya tak diragukan lagi. Namanya Abdah bin Abdurrahim. Dalam suatu peperangan, kaum muslimin berhasil mengepung daerah kekuasaan Romawi. Lalu mata Abdah tertuju pada sosok wanita cantik dari kalangan Romawi di balik benteng.
Abdah pun menyurati wanita tersebut, “Bagaimana caraku untuk memilikimu?”. Wanita itu menjawab: “Masuklah ke agama nasrani!” lelaki itu pun menerima pinta wanita tersebut dan seketika itu, seorang mujahid yang hafal Al-Quran menjadi murtad, dan Allah mentakdirkan semua hafalannya sirna kecuali dua ayat saja yaitu surat al-hijr ayat 2-3.
Jadi dari kisah tersebut mengisyaratkan, bahwa tidak semua umat muslim yang menghafal Al-Quran, atau yang menghafal surat tabarok akan selamat dari siksa kubur. Sebab seorang penghafal yang di dunia banyak melakukan kemaksiatan dan belum bertaubat, kelak saat dia akan meninggal dunia dan ia merasa mengandalkan hafalannya, maka akan terlupa lah dia dari hafalan-hafalannya. Oleh sebab itu sungguh rugi orang yang menghafal sebagian atau seluruhnya lalu ia melupakan hafalannya. Karena yang semestinya Al-Quran mampu membela kita, ia tidak bisa menjadi andalan sama sekali.
Semoga kita semua diberikan oleh Allah SWT keistiqomahan untuk senantiasa hidup bersama Al-Quran hingga ajal menjemput kita. Dan termasuk penghafal yang kelak menjadi ahlullah, yang mampu memberikan penghormatan terbaik bagi bapak dan ibu kita, serta selamat dari adzab kubur dan adzab neraka. Aamiin (AN)