Seluruh ulama menyepakati Rasulullah adalah tauladan yang terbaik dan patut ditiru. Namun pertanyaannya, apakah semua aspek kehidupan Rasulullah bisa kita ikuti? Apakah bentuk fisik beliau, cara berpakaian, cara berjalan, makanan kesukaan, dan bentuk rumah Nabi perlu diikuti? Ulama beda pendapat dalam hal ini. Sa’duddin al-Utsmani dalam bukunya al-Tasharrufat al-Nabawiyyah al-Siyasiyyah membahas persoalan ini secara mendalam dan rinci. Dia mempertanyakan apakah sistem politik dan kebijakan Nabi dalam memimpin wajib diikuti oleh umat sekarang di mana sistem pemerintahan di dunia ini sudah berkembang?
Dalam bukunya, Sa’duddin menyuguhkan argumentasi historis bahwa tidak semua apa yang dilakukan dan dikatakan Nabi mesti diikuti, bagaimanapun Nabi dalam beberapa hal juga manusia biasa. Hanya saja perbedaannya dengan manusia pada umumnya, Nabi diberi wahyu dan langsung diingatkan Tuhan ketika melakukan kesalahan. Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah sendiri yang mengatakan kalau beliau itu manusia biasa.
Karena itu, dalam beberapa kasus, sahabat bertanya dulu kepada Nabi, “Rasul yang tadi disampaikan itu Wahyu atau pendapat pribadi?” Kalau Rasul menjawab pendapat pribadi, Sahabat akan memberi masukan yang menurut mereka lebih baik. Kasus seperti ini banyak ditemukan dalam hadis dan riwayat terkait strategi perang.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan, ada istri yang bercerai dengan suaminya. Suaminya tetap sayang sama istrinya, sementara istrinya udah nggak mau. Karena kasihan dengan suaminya, Rasulullah coba melakukan mediasi agar mereka berdua balikan. Tapi mantan istri malah bilang, “Rasul yang tadi dibilang Wahyu atau hanya saran?”, “Saya cuma mau bantuin aja” Jawab Rasul. Karena bukan Wahyu, si istri tetap bersikukuh untuk tidak balik dengan suaminya dan Rasul pun tidak memaksa.
Sa’duddin al-Utsmani, penulis buku ini, beragumen bahwa mengikuti Sunnah Nabi berati mengikuti perilaku dan perkataan Nabi yang mengandung nilai ibadah dan ada unsur syariatnya, bukan mengikuti perkataan dan perbuatan yang berasal dari pikiran dan pendapat pribadi Rasulullah. Sehingga aspek kehidupan Rasul yang tidak bernilai ibadah tidak masalah untuk tidak diikuti.
Abdullah bin Abbas pernah ditanya oleh seorang sahabat terkait kisah Rasulullah pernah sa’i dan thawaf pakai unta. Abdullah bin Abbas mengatakan, “Apa yang kamu katakan tadi ada benar dan ada tidak benarnya juga”. Yang benar adalah Rasulullah pernah thawaf dan sa’i pakai unta, yang tidak benar adalah itu dikatakan Sunnah.
Ibnu Abbas dalam hal ini melakukan pemilahan terhadap apa yang dilakukan Nabi, memerinci mana yang termasuk Sunnah dan mana yang bukan. Artinya, sahabat sejak masa dulu, melakukan pemilahan terhadap praktik yang dilakukan Rasulullah.
Mengikuti Rasul itu adalah sebuah keharusan sebagai muslim. Tapi pertanyaannya, bagaimana cara mengikuti Rasulullah? di sinilah pentingnya belajar dan memahami ilmu pemahaman hadis. Dulu Almarhum Kiai Ali Mustafa Yaqub sering mengingatkan, “Tidak semua hadis shahih bisa diamalkan dan tidak semua hadis dhaif mesti ditolak”.
Imam al-Ghazali mengkritik sebagian ahli hadis yang menyatakan mengikuti Rasulullah sama persis itu sebagai bentuk kesunnahan. Kata beliau, “Sebagian ahli hadis menyangka bahwa mengikuti tindakan Rasulullah sama persis adalah kesunnahan. Ini merupakan kesalahan dan kekeliruan”.