Pendikotomian sebagian kalangan terhadap ahli hadis dan ahli fikih telah memunculkan stigma negatif bagi ahli fikih dan kitab-kitab fikih itu sendiri. Mereka kadang menjadi korban “ejekan” para oknum yang menyuarakan agar umat Islam kembali kepada al-Qur’an dan Hadis saja, bukan ke kitab-kitab fikih. Pernyataan tersebut seolah-olah menganggap bahwa ahli fikih itu tidak paham dengan hadis sama sekali.
Sebaliknya mereka yang terlalu “nyaman” dengan fikih menganggap bahwa ahli hadis merupakan “musuh” yang berpotensi menghancurkan nalar-nalar ijtihadi mereka. Ahli hadis mereka anggap hanya mengedepankan nalar hitam-putih saja terhadap berbagai persoalan. Sehingga ketika sebuah hadis yang menyinggung sebuah persoalan sudah dicap bermasalah (dalam artian dhoif), maka ia tidak bisa diapa-apakan lagi.
Analisa yang serupa juga pernah diungkapkan oleh Almarhum Kyai Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya, Peranan Ilmu Hadis dalam Pembentukan Hukum Islam. Beliau menarik kesimpulan, konflik yang selama ini terjadi antara ahli hadis dan ahli fikih disebabkan oleh anggapan bahwa ahli hadis sering dicitrakan sebagai kalangan tekstualis sedangkan ahli fikih adalah golongan kontekstualis.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah hipotesa-hipotesa itu benar.? Saya pribadi lebih cenderung berpendapat bahwa setiap ahli fikih pasti ahli hadis dan tidak semua ahli hadis adalah ahli fikih. Pendapat ini mungkin agak berseberangan dengan pendapat mayoritas ulama yang menyimpulkan bahwa setiap ahli fikih adalah ahli hadis dan setiap ahli hadis juga ahli fikih secara sekaligus.
Idealnya memang seseorang yang ingin konsen dalam menjawab problematika agama harus ahli dalam dua bidang ini. Berkaca kepada apa yang pernah diucapkan oleh Sufyan ibn Uyainah dan Sufyan al-Tsauri bahwa “saya akan memukuli ahli hadis yang tidak belajar fikih dan ahli fikih yang tidak belajar hadis”, maka seolah-olah kedua ilmu ini ibarat prasyarat yang teramat penting bagi seorang ahli agama.
Namun dalam realitasnya kita lihat bahwa seorang ahli fikih dituntut paham dengan ilmu Ushul Fikih, di mana dalam ilmu tersebut juga terdapat bahasan penting terkait al-Qur’an dan Hadis, jenis-jenis dan pembagian dalil, metode-metode penetapan dalil, sistematika dalam penyelesaian kontradiksi antar dalil, kaedah-kaedah tarjih, serta bahasan yang terkait dengan peng-ilgha’-an (ketidakterpakaian) sebuah dalil.
Sementara itu mereka yang hanya paham hadis (bahkan mengkhususkan diri dengan sebutan ustadz-ustadz sunah) tidak mungkin bisa melakukan semua hal yang dilakukan oleh ahli fikih tersebut, kecuali bagi mereka yang juga mempelajari fikih-fikih mazhab dan perbandingan-perbandingannya. Khusus untuk golongan kedua ini jumlahnya masih sangat terbatas, khususnya untuk saat ini.
Sehingga dengan demikian, doktrin kembali kepada Al-Qur’an dan Sunah pada dasarnya hanyalah cita-cita tanpa makna jika para pengusungnya tidak mau merendahkan sayap sedikit untuk mau berdialektika dengan nalar-nalar lain selain Ilmu Hadis an sich seperti Fikih, Ushul Fikih, ataupun kajian yang tengah berkembang saat ini, yaitu Ilmu Maqashid Syariah.
Pada akhirnya, semua guru agama atau ustadz/da’i, baik yang dilabeli dengan ustadz-ustadz sunnah ataupun yang tidak, sama-sama punya tugas rumah yang cukup besar yaitu bagaimana mereka bisa mensinergikan segala macam cabang keilmuan yang ada, baik hadis dengan fikih, ataupun dengan ilmu-ilmu penunjang lainnya, sehingga doktrin kembali ke al-Qur’an dan Sunnah dapat terealisasi secara holistik (menyeluruh) dan tidak setengah-setengah. Wallahu A’lam