Sudah jelas sejak awal, pemilu tahun 2019 tidak akan sepi dari politik identitas. Para aktor politik sadar betul bahwa untuk menang tidak cukup mengandalkan adu gagasan dan tawaran-tawaran rasional tentang bagaimana menciptakan lapangan kerja, memberantas korupsi, memerangi terorisme, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan seterusnya.
Jangankan di Indonesia, negara yang penuh sesak dengan sentimen-sentimen komunal, isu-isu identitas masih berperan penting dalam kontestasi pemilu di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Di negara-negara Barat itu, pertarungan politik tidak hanya ditentukan oleh isu-isu rasional seperti layanan kesehatan dan cara mengatasi pengangguran, tetapi juga oleh posisi para kandidat dan partai terkait isu-isu yang kental muatan identitas seperti keberadaan imigran, aborsi, homoseksualitas, pemakaian hijab dan cadar, dan seterusnya. Barangkali tepat apa yang dikatakan oleh Bryan Caplan dalam bukunya The Myth of Rational Voter: Why Democracies Choose Bad Policies (2008) bahwa pemilu yang (semata) ditentukan oleh pemilih yang rasional adalah mitos.
Berbeda dengan Pilpres 2014, ketika politik identitas lebih kuat dimainkan pasangan Prabowo-Hatta, kedua pasang calon presiden dan wakil presiden untuk Pilpres 2019 sama-sama memberi warna identitas dalam manuver mereka. Pasangan Prabowo-Sandiaga Uno berusaha menyentuh emosi publik dengan mengklaim mereka didukung ulama, salat Jumat di masjid Sunda Kelapa sebelum mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum, dan segera setelah itu mengumumkan rencana menemui Rizieq Syihab di Mekkah untuk membuktikan bahwa mereka taat pada ulama.
Di kubu Jokowi, yang pada pemilu sebelumnya menjadi korban politik kebencian berdasarkan identitas, merespons dengan berpaling pada politik identitas untuk mencegah serangan yang menggunakan isu SARA. Pilihan terhadap Rais ‘Aam Syuriah PBNU yang juga ketua MUI, Kiai Ma’ruf Amin, sebagai calon wakil presiden bagi Jokowi tidak bisa dimungkiri adalah wujud praktik politik identitas.
Lalu apa yang bisa diharapkan dari demokrasi yang diwarnai oleh praktik-praktik politik identitas? Apakah politik identitas selalu buruk bagi demokrasi?
Good, Bad, Ugly
Idealnya, pemilu dalam demokrasi adalah sarana yang damai dan menjadi alternatif dari cara kekerasan bagi semua kelompok dalam masyarakat untuk memperjuangkan kepentingan mereka atau merebut kekuasaan. Dalam konteks ini, penggunaan identitas dalam politik adalah sah dan belum tentu berbahaya bagi demokrasi. Ilmuwan politik terkenal Amy Gutmann dalam bukunya Identity in Democracy (2011) menulis tentang peran krusial identitas dalam demokrasi. Bagi Gutmann, identitas dalam demokrasi adalah wujud dari agregasi kepentingan yang merefleksikan realitas masyarakat. Ia meyakini demokrasi tidak hanya soal kepentingan yang bersifat rasional, tetapi juga soal identitas (“democratic politics is both interest and identity driven“).
Demokrasi akan kehilangan kontestasi tanpa identitas di dalamnya. Identitas dan kepentingan (interest) biasa saling memengaruhi dalam relasi yang kompleks. Penulis lain, Amy Chua, dalam bukunya Political Tribes: Group Instinct and the Fate of Nations (2018) bahkan menyatakan tren global menunjukkan bahwa pemanfaatan sentimen identitas—atau yang ia sebut “political tribes”—saat ini tak terelakkan dalam percaturan politik. Pembentukan aliansi politik berdasakan kesamaan identitas, nilai, atau latar belakang adalah konsekuensi yang tidak bisa dihindarkan kehadirannya dalam demokrasi yang menjamin kebebasan. Bahkan bisa dibilang, semua politik adalah politik identitas.
Dalam pratiknya di Indonesia, bisa dipastikan bahwa pemilu akan terus diwarnai para aktor politik yang membangun citra diri yang lekat dengan simbol-simbol kultural atau agama. Kita akan menemukan baliho para kandidat pemilu dengan pakaian, aksesoris, atau pesan-pesan yang mengasosiasikan diri mereka dengan kelompok identitas tertentu.
Jika membebaskan demokrasi sepenuhnya dari politik identitas adalah hal yang sulit terwujud, jika bukan mustahil, maka yang diperlukan adalah penegakan mekanisme yang memastikan bahwa praktik politik identitas dilakukan secara beradab. Jika pada kenyataanya harus diakui bahwa para pemilih tidak selalu bersikap rasional, maka idealnya aktor-aktor politik, baik yang bermain di depan maupun belakang panggung, bisa menarik batas yang tegas antara politik identitas yang sah dan politik identitas yang bernuansa kebencian komunal.
Amy Gutmann membedakan tingkat keadaban politik identitas dengan menawarkan tiga kategori penggunaan identitas dalam demokrasi, yang ia sebut sebagai good, bad, dan ugly. Politik identitas bisa menjadi good (beradab) atau mempunyai peran positif dalam demokrasi ketika ia menyediakan nilai solidaritas dalam membangun kesadaran publik tentang kewargaan (civic) dan melawan diskriminasi kelompok dengan tanpa mempromosikan supremasi kelompok sendiri dan kebencian terhadap kelompok lain.
Politik identitas bisa tidak beradab dan berbahaya (ugly) jika mempromosikan nilai yang mengutamakan supremasi kelompok sendiri, mengampanyekan diskriminasi, dan menekankan cara pandang antagonistis terhadap kelompok identitas lain, apalagi sampai melegitimasi kekerasan. Politik identitas menjadi berbahaya jika dilakukan dengan membangun narasi tentang perbedaan primordial atau rasial antarkubu dalam kontestasi politik. Retorika-retorika politik yang menggambarkan pertarungan politik dengan merujuk pada perang agama, dengan menarasikan musuh dalam label-label negatif keagamaan atau rasial, adalah praktik politik identitas yang berbahaya.
Di antara keduanya ada bentuk politik identitas yang oleh Gutmann disebut bad. Politik identitas dalam kategori ini tidak secara aktif mempromosikan kesadaran publik yang positif, tetapi minimal tidak mengancam demokrasi dengan mempromosikan wacana permusuhan dan melegitimasi kekerasan antarkelompok identitas.
Politik Identitas Tanpa Kebencian
Pemilu 2014 dan Pilkada DKI 2017 memberi pelajaran tentang mahalnya ongkos sosial yang dikorbankan akibat politik identitas yang tidak beradab. Penggunaan narasi perang agama dengan menyematkan label kafir terhadap pihak lawan adalah wujud dari politik identitas yang tidak beradab karena mendorong eskalasi kontestasi pemilu menjadi pertarungan yang bersifat eksistensial. Adalah sah ketika individu atau kelompok sosial mengklaim bahwa perjuangan politik mereka adalah untuk mengangkat derajat umat agama tertentu, melindungi hak-hak komunitas suku, masyarakat adat, dan seterusnya.
Kita tidak perlu heran ketika aktor politik menggunakan simbol-simbol komunal untuk mengasosiasikan diri mereka dengan kelompok yang mereka perjuangkan, karena demokrasi memang tidak bisa sepenuhnya bebas dari isu identitas.
Namun menjadi tidak beradab dan berbahaya ketika niat untuk memperjuangkan kepentingan kelompok itu disertai dengan retorika-retorika politik identitas yang tak beradab, yang menonjolkan sikap kebencian dengan mengampanyekan diskriminasi terhadap pihak lain atas dasar sentimen primordial.
Pemilu-pemilu sebelumnya patut memberi paling tidak dua pelajaran. Pertama, politik kebencian, apalagi dengan menggunakan simbol-simbol sakral seperti rumah ibadah dan teks keagamaan, mempunyai daya rusak yang mendalam terhadap kohesi sosial. Kedua, politik identitas yang penuh kebencian tidak selalu ampuh untuk memenangkan pertarungan elektoral.
Praktik politik yang mengedepankan isu identitas bisa dihindari jika ada mekanisme politik yang efektif mendorong aktor-aktor politik untuk mendapatkan dukungan dari pemilih yang plural. Ketika para aktor sadar bahwa suara pemilih dari kalangan minoritas dibutuhkan untuk menang, mereka akan ‘dipaksa’ untuk menjangkau kelompok yang rentan menjadi korban diskriminasi. Ketika para pialang politik memahami bahwa untuk menang mereka tidak bisa hanya bergantung pada dukungan kelompok etnis dan keagamaan yang dominan, mereka akan dituntut untuk memakai retorika yang moderat dan inklusif.
Pada akhirnya kita berharap bahwa, jika pemilu yang sepenuhnya bebas dari politik identitas mustahil terwujud, paling tidak praktik politik identitas dalam pemilu 2019 tidak melanggar batas-batas keadaban.
*Tulisan ini sebelumya dimuat di sini diterbitkan ulang atas persetujuan penulisnya dan sebagai bahan diskusi politik identitas dan hatespeech yang diselenggarakan antara Numedia Digital dan Kominfo.