Tak sedikit dari umat Muslim yang mengetahui arti dari kalimat takwa. Menurut pengertian yang populer, arti sederhana dari takwa itu ialah mengerjakan perintah Allah dan menghindari larangan-larangan-Nya. Tapi, yang kadang sering jadi pertanyaan adalah, apakah orang yang bertakwa itu tidak pernah bermaksiat?
Apakah orang itu baru dikatakan bertakwa kalau yang bersangkutan bersih dari goresan-goresan dosa? Bisa jadi ada yang berpandangan seperti itu. Ketakwaan diidentikan dengan keberbebasan dari berbagai macam dosa.
Jika kita membuka lembaran-lembaran Al-Quran, jawabannya tidaklah demikian. Orang bertakwa tidak identik dengan manusia suci. Justru, orang bertakwa itu, menurut Al-Quran, bisa saja berbuat maksiat. Orang bertakwa tetap bisa berbuat dosa. Tapi, pertanyaan selanjutnya adalah, kalau memang orang bertakwa bisa berbuat dosa, lantas apa bedanya dia dengan para pelaku maksiat dan orang-orang durjana? Bukankah orang bertakwa itu lebih mulia ketimbang mereka? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita renungkan firman Allah Swt dalam ayat berikut:
Allah Swt berfirman:
“Dan bersegaralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan sorga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji ataui menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” (QS 3: 133-135)
Melalui tiga ayat tersebut setidaknya kita bisa mencatat tiga poin utama untuk menjelaskan siapa sesungguhnya yang dimaksud dengan orang bertakwa. Pertama, orang bertakwa itu adalah orang yang memiliki kepekaan sosial. Hal tersebut tercermin melalui potongan firman-Nya yang pertama, yang menyatakan bahwa mereka itu senantiasa “berinfak, baik waktu lapang maupun sempit.”
Poin pertama ini praktis menepis anggapan sebagian orang yang mengira bahwa orang bertakwa itu hanyalah mereka-mereka yang bertapa setiap hari di dalam masjid, mengkhatamkan Al-Quran seminggu sekali, berzikir dengan jumlah ribuan, dan aktivitas-aktivitas serupa yang mencerminkan hubungan vertikal manusia dengan Tuhan. Itu hanyalah salah satu dari indikasi ketakwaan, tapi bukan satu-satunya. Al-Quran menegaskan bahwa orang bertakwa itu tidak hanya sebatas itu.
Di samping memiliki hubungan baik dengan Tuhan, orang bertakwa adalah orang yang juga memiliki hubungan baik dengan sesama hamba Tuhan, baik kepada orang yang seagama, maupun kepada orang yang berbeda agama. Sedekah yang tercatat dalam ayat tersebut merupakan simbol kepedulian.
Orang bertakwa adalah orang yang peduli terhadap sesamanya. Membantu yang lemah, menolong yang butuh, membahagiakan orang lain, dan lain sebagainya. Kalau ada orang rajin ibadah, rajin shalat, rajin mengaji, tapi masih pelit dan apatis terhadap orang-orang sekitar, berarti dia belum sampai pada level takwa.
Kedua, menurut ayat tersebut, orang bertakwa adalah orang yang memiliki kecerdasan emosional. Hal itu tercermin melalui petikan firman-Nya yang kedua, yang menyatakan bahwa orang bertakwa itu adalah orang-orang yang mampu menahan amarahnya (al-Kazhimîn al-Ghaizh). Kalau marah tidak meluap-luap sampai menzalimi orang. Kemarahannya tidak menjurumuskan dia dalam kezaliman. Marah itu wajar, tapi kewajaran itu akan berbuah dosa kalau melahirkan sikap berlebih-lebihan.
Jadi, di antara ciri orang bertakwa itu ialah tidak mudah marah. Kalau sedikit-sedikit marah, dan meluapkan amarahnya sampai-sampai membuat orang lain marah, maka dia belum sampai pada level takwa. Karena tidak mudah marah, maka orang seperti itu akan mudah memaafkan sesama. Hatinya tak diliputi rasa dendam. Kalau dizalimi memaafkan. Tidak suka mendoakan yang jelek-jelek. Dan tidak suka menebar permusuhan.
Karena itu, kalau ada orang rajin ibadah, rajin salat, mengaji, berzikir dan lain sebagainya, tapi suka marah-marah, sedikit-sedikit meluapkan emosi, cacian, hinaan, ancaman dan hal-hal yang tidak wajar lainnya, maka ketika itu dia juga belum bisa masuk level takwa.
Ketiga, orang bertakwa itu memiliki kecerdasan spiritual. Perlu diingat bahwa cerdas secara spiritual itu tidak berarti harus terlepas dari dosa. Lalu apa maksudnya? Perhatikan bunyi ayat terakhir ini dengan seksama:
“Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji ataui menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya…”
Petikan ayat terakhir ini cukup untuk memberikan titik terang bahwa pada akhirnya orang-orang bertakwa bukanlah manusia suci yang terhindar dari perbuatan dosa. Mereka adalah manusia-manusia biasa. Orang bertakwa, kata Al-Quran, bisa saja berdosa. Tapi dia selalu mengingat Tuhannya. Sadar bahwa dirinya adalah milik Tuhan. Dosa yang dia lakukan pun terlahir dari kelemahannya sebagai manusia, yang penuh dengan keterbatasan. Hatinya menjerit dari dosa itu. Tapi kelemahannya sebagai manusia membuat dia tidak bisa menghindar.
Setiap kali berbuat dosa dia langsung bertaubat. Dengan keyakinan penuh bahwa Tuhan akan mengabulkan pertaubatannya. Ayat selanjutnya memberikan penegasan, bahwa sekalipun terjerumus kedalam dosa, orang bertakwa tidak selalu mengulangi dosa-dosanya.
“Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu,” artinya, kalau ada orang beriman yang menganggap enteng perbuatan dosa, apalagi jika dia menikmati perbuatan dosa itu, maka yang bersangkutan belum bisa tergolong sebagai orang-orang bertakwa. Orang bertakwa akan selalu menghindar dari dosa. Kalau dia terjerumus kedalam dosa, dia langsung bertaubat dan kembali kepada Tuhannya.
Itulah konsep ketakwaan menurut Al-Quran. Jadi, kesimpulannya, orang bertakwa bukan orang yang terlepas dari dosa. Orang bertakwa bukan orang yang bisa terlepas dari maksiat. Tapi orang bertakwa adalah orang yang senantiasa mengingat Tuhannya, peduli terhadap sesama, dan mampu mengendalikan emosinya. Dosa tak membuatnya putus asa, karena rahmat Tuhan jauh lebih luas dari apa yang dia bayangkan. Semoga kita menjadi bagian dari mereka.
Wallâhu ‘lam bisshawâb.