Salah satu tantangan besar dalam konteks bernegara di Indonesia saat ini adalah meyakinkan sebagian “masyarakat” bahwa format Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah sesuai dengan ruh agama. Tantangan tersebut semakin terasa dengan maraknya ide-ide yang mencoba meruntuhkan format negara yang sudah disepakati oleh semua elemen bangsa. Masuknya organisasi transnasional seperti Hizbut Tahrir ke Indonesia, membawa pengaruh terhadap berkembangnya ide-ide anti NKRI sebagai format bernegara.
Hizbut Tahrir mempunyai satu ide penting tentang format bernegara yang disebut dengan Khilafah ‘Ala Minhaj an-Nubuwah. Dalam pandangan mereka, satu-satunya format bernegara yang sesuai dengan prinsip agama adalah khilafah. Sedang yang lain, termasuk di dalamnya NKRI, merupakan format yang bertentangan dengan prinsip agama, dan oleh sebab itu harus diubah
Benarkah bahwa khilafah merupakan satu-satunya format bernegara yang sesuai Islam, sedang NKRI sudah pasti bertentangan dengan Islam? Dalam Islam, persoalan kepemimpinan, kekuasaan, dan negara masuk dalam dimensi politik (fiqh siyasah). Islam tidak memberikan aturan terperinci dan rigid dalam persoalan politik. Yang digariskan oleh Islam hanyalah prinsip-prinsip universal (al-Mabadi’ al-‘Ammah).
Prinsip-prinsip tersebut dijadikan patokan dalam mengatur dan menjalankan urusan-urusan politik. Karena sifatnya universal, maka prinsip-prinsip tersebut bersifat abadi dan berlaku kapanpun dan di manapun.
Prinsip-prinsip universal tersebut adalah musyawarah (Syura), sesuai dengan prinsip umum shariah, menegakkan keadilan di antara manusia, dan semua kebijakan pemimpinnya harus bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan.
Islam juga tidak mengatur format negara harus berbentuk seperti apa. Di dalam Al-Qur’an dan hadis pun, tidak ditemukan istilah yang secara tegas merujuk pada satu format negara tertentu. Bahkan, istilah al-Khilafah ar-Rasyidah dalam fakta sejarah penerapannya berbeda-beda, dari masa Abu Bakar hingga Ali.
Khilafah dan Khalifah hanya istilah teknis yang bersifat historis, dan bukan aturan baku yang tidak dapat diganti. Istilah tersebut hampir sama dengan istilah-istilah teknis lain seperti al-Imamah dan al-Imam, al-Imarah dan al-Amir, ar-Riasah dan al-Rais, serta Amirul Mu’minin dan Amirul Muslimin.
Sejarah Islam mencatat jika terdapat banyak fase pemerintahan dan kekuasaan yang pernah ada dan mewarnai kehidupan masyarakat Muslim. Masing-masing dari fase kekuasaan tersebut mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Jika Islam tidak memberikan aturan terperinci dan rigid perihal persoalan politik, termasuk di dalamnya soal bentuk Negara, maka adakah tolok ukur yang dapat digunakan untuk melihat suatu Negara sudah Islami atau tidak? Negara, apapun bentuknya, jika menerapkan prinsip-prinsip universal (al-Mabadi’ al-‘Ammah) maka dapat disebut Islami.
Sebuah negara, baik republik, kerajaan, maupun khilafah, selama menerapkan prinsip-prinsip universal di atas, maka bentuk negara tersebut dapat diterima dan umat muslim wajib mencintai dan mempertahankannya, termasuk tunduk pada pemimpinnya.
Dengan demikian, selama suatu Negara memberi kebebasan untuk melaksanakan ritus-ritus agama serta kebijakan yang diambil bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan tidak mengebiri umat Islam, maka haram hukumnya memberontak dan mengampanyekan perlawanan, apalagi menyebarkan propaganda bahwa Negara tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Prinsip-prinsip universal yang terdapat dalam doktrin Fiqh Siyasah di atas sudah diterapkan di NKRI, bahkan dijadikan dasar Negara dalam bentuk Pancasila. Prinsip musyawarah, berbuat adil, dan kemaslahatan sudah terangkum dalam falsafah Negara yang disepakati oleh semua elemen bangsa.
Dengan demikian, ide pendirian Khilafah yang selama ini dipropagandakan oleh HTI tidak dapat diterima sebab NKRI sudah sesuai dengan ajaran agama. Dalam kondisi tertentu, aksi-aksi propaganda yang dilakukan HTI dapat digolongkan pada “pemberontakan” yang dapat membahayakan kondisi bangsa dan Negara.
Terlebih, dalam urusan keagamaan, umat Islam Indonesia diberi kebebasan untuk melaksanakan ritual agamanya. Bahkan, Negara memberi ruang yang sangat luas untuk mengekspresikan keyakinan beragama. Dalam aspek tertentu, justru Umat Islam sangat diuntungkan, misalnya dalam beberapa Undang-Undang yang secara spesifik mengatur dan berhubungan dengan Umat Islam saja.
Wallahu A’lam.