Pada 5 Desember 2024, Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, melarang kegiatan Jalsah Salanah yang diadakan oleh jemaah Ahmadiyah. Menurut laporan CNN Indonesia (2024), Pemkab Kuningan mengambil langkah ini dengan alasan keamanan dan ketertiban umum.
Padahal, alasan semacam itu sering kali digunakan sebagai dalih untuk menekan kebebasan beragama. Tanpa disadari, Sikap Pemkab yang demikian sebenarnya tidak hanya membatasi jemaah Ahmadiyah dalam menjalankan ritual keagamaan mereka, tetapi juga mengirimkan pesan dan kesan bahwa komunitas ini tidak sepenuhnya dihargai atau diakui sebagai bagian dari masyarakat yang setara. Ditambah lagi, kebijakan semacam ini semakin memperkuat stigma bahwa Ahmadiyah dianggap sebagai “warga negara kelas dua,” dengan hak-hak yang sering kali diabaikan atau dibatasi.
Citra Indonesia di mata internasional sebagai negara yang menjunjung tinggi prinsip pluralisme dan toleransi semakin tercedera. Human Rights Watch (HRW, 2023) dalam World Report 2023 menunjukkan adanya tren peningkatan diskriminasi terhadap minoritas agama di Indonesia, termasuk komunitas Ahmadiyaah.
Oleh karena itu, saya ingin mengusulkan sebuah pendekatan berbeda dalam memahami saudara-saudara kita dari komunitas Ahmadiyah.
Alih-alih menilai mereka melalui kacamata teologis yang sering kali berujung pada penghakiman, mengapa tidak mencoba membacanya dengan perspektif yang lebih inklusif dan terbuka?
Dari sisi teologis, membicarakan Ahmadiyah akan sedikit mengalami jalan yang sulit untuk sampai pada titik yang sama. Namun, apakah kita harus memaksakan pandangan teologis yang seragam pada seluruh umat Islam di Indonesia?
Meminjam penjelasan Hefner (2000), Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan pluralisme dalam masyarakat yang majemuk, terutama terkait dengan kelompok agama yang tidak diakui oleh mayoritas.
Hefner menekankan bahwa dalam konteks Indonesia, perbedaan pandangan keagamaan seperti ini harus dipandang dalam ranah sosial-politik yang lebih inklusif dan damai, bukan hanya dari sudut pandang doktrinal semata (Hefner, R. W. (2000). Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton University Press).
Ketegangan sosial yang timbul di Indonesia sering kali dipengaruhi oleh penerapan hukum yang tidak inklusif seperti yang dialami Ahmadiyah tadi, yang memberi dampak negatif terhadap kelompok agama minoritas.
Kebijakan negara yang tidak mengakui Ahmadiyah secara resmi berperan dalam memperburuk diskriminasi terhadap mereka, yang pada gilirannya memperburuk ketegangan antar kelompok agama di masyarakat (Avonius, L. (2018). The Ahmadiyya and Freedom of Religion in Indonesia).
Perbedaan doktrin antara Ahmadiyah dan mayoritas Muslim di Indonesia sebenarnya terletak pada konsep kenabian, salah satunya. Mereka juga memiliki tafsir sendiri terhadap beberapa ayat yang berkaitan dengan kenabian. Perbedaan ini sering menjadi sumber kontroversi dan ketegangan antara Ahmadiyah dan kelompok Muslim lainnya di Indonesia, kontroversi teologis yang tidak hanya berhenti pada perbedaan keyakinan, tetapi juga mempengaruhi hubungan sosial dan penerimaan Ahmadiyah dalam masyarakat.
Beberapa kalangan menganggap Ahmadiyah menyimpang dari ajaran Islam yang murni, sementara yang lain berpendapat bahwa perbedaan interpretasi ini seharusnya dihormati dalam kerangka kebebasan beragama.
Secara hukum, status Ahmadiyah di Indonesia cukup kompleks. Meskipun UUD 1945 menjamin kebebasan beragama, pengakuan resmi terhadap Ahmadiyah sering kali menjadi isu yang sensitif. Pemerintah Indonesia, melalui berbagai regulasi dan peraturan daerah, terkadang mengkategorikan Ahmadiyah sebagai kelompok yang menyimpang dari Islam. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1965 tentang Penetapan Agama di Indonesia sering digunakan untuk mendefinisikan dan mengkategorikan kelompok agama di Indonesia. Hal ini berdampak pada hak sipil dan kebebasan beragama mereka.
Pada tahun 2008, MUI juga mengeluarkan Fatwa No. 11 yang menyatakan bahwa ajaran Ahmadiyah dianggap sesat karena keyakinan mereka bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi terakhir, sebuah pandangan yang bertentangan dengan prinsip dasar dalam Islam yang menganggap Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir. Fatwa ini mendapat dukungan dari sebagian besar kelompok agama di Indonesia, dan menjadi dasar bagi tindakan pemerintah dalam membatasi aktivitas Ahmadiyah di Indonesia.
Selain itu, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 08 dan No. 09 Tahun 2008 secara eksplisit melarang kegiatan penyebaran ajaran Ahmadiyah. Peraturan ini menyatakan bahwa Ahmadiyah harus menghentikan segala bentuk dakwah dan pengajaran yang mengklaim bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi, serta membatasi penyebaran ajaran mereka kepada khalayak umum. Pemerintah Indonesia, melalui regulasi ini, juga menegaskan bahwa Ahmadiyah bukanlah bagian dari umat Islam yang sah di Indonesia, dan oleh karena itu, tidak diakui secara resmi dalam konteks keagamaan negara.
Di tengah aturan dan kebijakan yang memojokkan, komunitas Ahmadiyah terus berjuang untuk memperoleh pengakuan dan perlindungan hukum yang setara di Indonesia, sekaligus memperjuangkan hak mereka untuk bebas beragama dan menjalankan keyakinan tanpa rasa takut atau diskriminasi.
Hak sipil Ahmadiyah sering kali menjadi korban diskriminasi, baik secara sosial maupun hukum. Kasus-kasus diskriminasi terhadap anggota Ahmadiyah, seperti pelecehan verbal, kekerasan fisik, dan pembatasan akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, sering kali terjadi di berbagai daerah. Pemerintah Indonesia, meski secara resmi mendukung kebebasan beragama, terkadang gagal melindungi hak-hak minoritas seperti Ahmadiyah dari tindakan intoleransi.
Akhir kata, keberadaan Ahmadiyah di Indonesia merupakan bagian dari mozaik keragaman keagamaan yang ada di tanah air. Penting bagi semua pihak untuk mengedepankan dialog, toleransi, dan penghormatan terhadap perbedaan guna menciptakan masyarakat yang harmonis dan inklusif. Dengan pendekatan yang tepat, Indonesia dapat menjadi contoh negara yang menghargai keberagaman dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kerangka kebebasan beragama.
Pendidikan memainkan peran yang sangat penting dan berkelanjutan dalam membentuk persepsi publik tentang Ahmadiyah. Kurangnya pemahaman dan pengetahuan yang benar mengenai ajaran Ahmadiyah sering kali menimbulkan stereotip negatif dan prasangka. Oleh karena itu, upaya dialog dan rekonsiliasi antara Ahmadiyah dan kelompok Muslim lainnya menjadi kunci untuk menciptakan toleransi dan kerukunan.
Berbagai inisiatif telah dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk organisasi keagamaan dan lembaga swadaya masyarakat, untuk membangun jembatan komunikasi dan pemahaman antar kelompok. Inisiatif-inisiatif ini bertujuan untuk mengurangi ketegangan dan meningkatkan saling pengertian melalui program pendidikan, seminar, dan kegiatan bersama yang mendorong interaksi positif.
Namun, upaya-upaya ini masih menghadapi banyak tantangan, terutama dari sikap intoleran dan penolakan yang mendalam. Stereotip yang sudah mengakar dan ketidakmampuan untuk menerima perbedaan sering kali menjadi hambatan utama dalam mencapai tujuan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan memerlukan waktu dan komitmen yang konsisten dari semua pihak terkait.
Dalam situasi ini, peran pemerintah sebagai penengah sangat diperlukan. Pemerintah harus aktif mendukung dan memfasilitasi program-program pendidikan serta dialog antar kelompok agama. Dengan demikian, pemerintah dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan harmonis, bukan malah menambah ketegangan yang tidak berkesudahan.
Kesimpulannya, pendidikan adalah kunci utama untuk membangun toleransi dan kerukunan antara Ahmadiyah danm kelompok Muslim lainnya. Dengan dukungan pemerintah dan partisipasi aktif dari berbagai pihak, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih memahami dan menghargai perbedaan, sehingga hidup berdampingan dalam damai dan harmonis menjadi mungkin.