Seluruh ulama sepakat bahwa perintah berpuasa telah ada jauh sebelum kedatangan Islam. Namun, yang masih menjadi persoalan adalah, perintah puasa semua umat terdahulu atau tidak, termasuk, apakah nabi Adam AS pernah berpuasa?
Persoalan ini berawal dari perbedaan penafsiran redaksi alladzina min qablikum dalam Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 183. Menurut seorang ulama dari Mesir bernama Dr. Ali Ahmad al-Khatib, dalam karyanya yang telah dialihbahasakan berjudul Sejarah Puasa: Dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, terdapat dua perbedaan penafsiran terkait redaksi tersebut.
Pertama, sebagian ulama menganggap bahwa redaksi tersebut bersifat umum, artinya tidak terdapat batasan terkait umat mana saja yang pernah menerima perintah puasa. Dengan demikian, pendapat ini mengatakan bahwa seluruh umat manusia, mulai dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad pernah menerima perintah puasa, terlepas bagaimana tata cara puasa yang mereka laksanakan.
Kedua, sebagian ulama menganggap bahwa redaksi tersebut dimaksudkan khusus kepada umat Nabi Isa As. Argumennya, redaksi alladzina min qablikum perlu dibedakan dengan kullu al-ladzina min qablikum. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa redaksi tersebut dikhususkan kepada umat terdahulu sebelum Islam secara langsung dalam sejarah, dalam hal ini umat Nabi Isa As.
Riwayat Tentang Nabi Adam AS Pernah Berpuasa
Dalam Islam, berita-berita tentang sesuatu yang gaib, seperti kehidupan setelah kematian, berita tentang kehidupan umat terdahulu, dan semacamnya, hanya bisa diperoleh melalu dalil-dalil naqli, baik itu Al-Quran maupun Sunnah. Terkait pertanyaan,”Apakah Nabi Adam As. berpuasa?” terdapat beberapa riwayat yang mengabarkan tentang puasa Nabi Adam dinukil oleh Dr. Ali Ahmad dalam bukunya.
Pertama, riwayat yang ditulis oleh Abu Ishaq al-Tsa’labi dalam Ara`is fī Qasas al-Anbiya`, yaitu:
“Adam dan Hawa menangis karena keduanya tidak mendapatkan kesenangan surga selama kurang lebih 200 tahun. Keduanya tidak makan dan tidak minum selama 40 tahun, dan Adam tidak mendekati Hawa selama 100 tahun.”
Kedua, riwayat yang disandarkan kepada Musa bin Nasr al-Baghdadi, ia menuturkan: “Allah SWT mewajibkan atas umatku (Nabi Muhammad) berpuasa selama 30 hari (Ramadhan), dan atas umat lainnya dengan jumlah yang lebih atau kurang (dari jumlah tersebut), karena ketika Adam AS memakan buah Khuldi dan tersangkut di kerongkongannya selama 30 hari. Setelah Allah mengampuni dosanya, Dia memerintahnya untuk berpuasa selama 30 hari siang dan malam. Allah mewajibkan atasku dan umatku pada siang hari saja, dan (meski demikian) kami tidak makan di malam hari, itu merupakan karunia dari Allah SWT.”
Riwayat ini juga dapat dibaca dalam kitab Tanzih al-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Akhbar al-Syari’ah al-Maudhu’ah karya Abu al-Hasan al-Kannani.
Ketiga, riwayat yang disandarkan kepada sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Ra. yang cukup panjang tentang pertanyaan Ibn Mas’ud kepada Nabi Muhammad terkait puasa ayyamul bidh. Nabi menjawab bahwa dahulu puasa itu merupakan perintah Allah SWT kepada Nabi Adam AS setelah ia diturunkan ke bumi dalam keadaan kulit menghitam. Agar kulitnya kembali putih seperti sediakala, Allah memerintahkannya untuk berpuasa di hari ke-13. Sepertiga kulitnya pun menjadi putih, dilanjutkan puasa di hari ke-14 dan le-15 hingga seluruh kulitnya memutih kembali. Oleh karena itu, tanggal 13, 14, dan 15 pada setiap bulan disebut ayyamul bidh (hari-hari putih).
Menurut Dr. Ali Ahmad al-Khatib, rwayat tersebut merupakan riwayat yang dikarang oleh sebagian ahli cerita yang kemudian disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sanad periwayatannya pun dinilai tidak dapat diterima karena terdapat dua perawi yang tidak dikenali. Orang yang diduga memalsukan hadis tersebut adalah Muhammad bin Tamim al-Firyabi.
Di akhir penjelasannya, Dr. Ali Ahmad al-Khatib menegaskan bahwa ia tidak menafikan adanya kemungkinan puasa yang dikerjakan oleh Nabi Adam As., karena di dalam Alquran pun tidak terdapat penjelasan terkait hal itu.
Terlepas dari penilaian yang dikemukakan oleh Dr. Ali Ahmad al-Khatib, para pelajar muslim harus tetap kritis atas apapun, khususnya bagi mereka yang fokus dalam kajian hadis. Mengingat praktek puasa ayyamul bidh telah menjadi puasa rutin yang dikerjakan oleh sebagian umat Islam setiap bulannya. (AN)
Wallahu A’lam.