Pertanyaan ini muncul dari kekhawatiran sebagian orang yang masih mengaitkan puasa dengan kemungkinan tertular Covid-19. Argumentasinya adalah adanya himbauan dari tim kesehatan di Wuhan, China, lewat buku saku yang diedit oleh Wang Zhou, MD, (Pimpinan Pusat Kesehatan Wuhan untuk Pengendalian dan Pencegahan Penyakit) dengan judul The Coronavirus Prevention Handbook; 101 Science-Based Tips That Could Save Your Life (Buku Pegangan Pencegahan Virus Corona; 101 Tips Berbasis Sains yang Bisa Menyelamatkan Hidup Anda) yang menyarankan untuk semua orang yang sehat/belum terpapar virus agar tidak berpuasa terlebih dahulu.
Mungkin asumsinya didasarkan kepada fakta bahwa berpuasa akan menyebabkan tenggorokan seseorang menjadi kering dan hal ini menurut analisa sebagian ahli kesehatan dapat memicu yang bersangkutan rentan tertular virus. Kekhawatiran ini sebenarnya sudah terbantahkan dengan beberapa argumentasi yang telah penulis kutipkan pada tulisan sebelumnya. Di antaranya riset yang bersumber dari para peneliti di University of Sounthern, California, yang menyimpulkan bahwa berpuasa berpotensi besar menambah daya imun seseorang dan aturan PSBB pemerintah yang membuat seseorang akan lebih banyak berada di rumah daripada di luar yang akan membuat potensi penyebaran virus akan berkurang.
Namun meskipun demikian, pertanyaan ini tetap akan kita bahas untuk memunculkan pandangan agama di dalamnya. Seperti yang diketahui bahwa dalam Ilmu Filsafat Hukum Islam (sebut Ushul Fikih), hukum itu dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, Hukum Taklifi yang mengatur hubungan seseorang dengan aturan syariat yang baku, apakah nanti berhukum wajib, haram, sunah, makruh ataukah jaiz (boleh). Kedua, Hukum Wadh’i, yaitu hubungan sebab akibat yang akan melatari munculnya hukum-hukum taklifi di atas. Hukum yang terakhir ini dibagi lagi menjadi tiga kategori. Yaitu pertama, sabab, kedua, syarat, dan ketiga, mani’. Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita akan fokus kepada pembahasan sabab.
Istilah sabab dimaknai oleh ulama Ushul Fikih sebagai hubungan antara adanya sesuatu dengan sebab adanya sesuatu yang lain dan tidak adanya dengan ketiadaan yang lain. Salah satu contoh yang sering disebutkan dalam kitab-kitab para ulama adalah kewajiban shalat dzuhur dengan sebab tergelincirnya matahari. Seseorang tidak diperkenankan melakukan shalat dzuhur jika sabab yang mewajibkannya belum muncul, apabila seseorang memaksakan maka ibadah shalat dzuhurnya dianggap tidak sah dan ia wajib mengulanginya setelah sabab-nya muncul. Demikian pula halnya dengan kewajiban puasa pada Bulan Ramadhan. Kewajiban berpuasa ini muncul dengan sabab terlihatnya hilal Ramadhan sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S. Al-Baqarah : 185.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah mungkin sabab itu bisa diubah atau dipindahkan ke waktu atau kondisi yang lain? Jawabannya adalah tidak mungkin, karena sabab merupakan syariat yang baku dan berupa azimah (sebuah ketetapan) dalam agama. Berbeda halnya dengan fikih yang bersifat kondisional. Sehingga dengan demikian menurut penulis, ranah yang bisa diubah itu hanyalah ranah pelaksanaannya saja, bukan ranah aturannya yang sudah menjadi syariat baku dalam Islam.
Andaipun puasanya nanti dipindahkan ke bulan lain, bukan berarti kewajiban berpuasa berpindah bulan, namun status ibadah itu yang berubah dari status ada’ (dilakukan di waktunya) menjadi qadha (dilakukan di luar waktunya). Maksudnya, kewajiban puasa tetap dilakukan di bulan Ramadhan, tidak bisa diundur atau dipindahkan ke bulan lain, tetapi kalau ada orang yang sakit parah dan ahli medis merekomendasikan untuk tidak melakukan puasa, mereka boleh tidak puasa di bulan Ramadhan, tetapi wajib menggantinya di bulan lain.
Namun, seperti yang penulis jelaskan di atas, belum ditemukan relasi yang pasti antara penularan virus dengan pelaksanaan ibadah puasa. Sehingga opsi untuk memindahkan atau meliburkan puasa pada bulan Ramadhan tahun ini tidak didukung oleh dalil-dalil ataupun argumentasi yang mumpuni. Hal senada dalam persoalan lain juga pernah diusulkan oleh Pak Masdar Farid Mas’udi. Beliau mengusulkan untuk merubah sistem manasik haji yang hanya fokus di tanggal 9 – 13 Zulhijjah agar diperpanjang waktunya menjadi 3 bulan (selama musim haji). Sehingga pelaksanaan ibadah haji bisa lebih longgar (3 trip/bulan) dan antrian waiting list calon jamaah dapat dipangkas, namun usulan tersebut mentok di tahapan syariat sabab haji di bulan Zulhijjah itu, sehingga sampai sekarang belum dapat diterapkan.